"Thank you for patiently putting up with my moods, and being mature as you remind me to be the same. I know that I'm not easy to understand, and as complex as they come. I act childishly and immaturely when I don't get what I want, and it get unbearable. Yet, you choose to gently and patiently chastise me and correct me. And even when I fight you and get mad at you, you take it with no offense, both gradually and maturely."
~Celia
Pertemuan Celia dan Elvan awalnya hanya kebetulan, tapi lambat laun semakin dekat dan menyukai satu sama lain. Disaat keduanya sepakat untuk menjalin hubungan. Tiba-tiba keduanya dihadapkan dengan perjodohan yang telah diatur oleh keluarga mereka masing-masing.
Kira-kira bagaimana akhir kisah mereka? Apakah mereka akan berakhir bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yanahn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. It's Hurts
..."The truth hurts, but lies hurt more." ~Celia...
Setelah Kakek meninggalkan restoran, mereka duduk kembali di meja mereka. Celia menatap lekat wajah Elvan.
“Aku minta maaf atas sikap kakek. Terkadang dia memang bersikap over protektif," ucap Celia.
Elvan tersenyum dan meraih tangan Celia. "Tidak apa-apa, aku mengerti. Dia hanya menginginkan yang terbaik untukmu," ujar Elvan.
Celia mengangguk, "Ya, aku tahu, tetapi terkadang aku ingin kakek memercayaiku untuk mengambil keputusan sendiri."
Elvan menggenggam tangan Celia. "Aku yakin, kelak, kakek akan merestui kita. Dia hanya perlu sedikit waktu," ujar Elvan.
Celia tersenyum, dan berkata "Ya, mungkin, semoga itu benar."
Mereka duduk, berpegangan tangan dan saling menatap satu sama lain. Celia merasakan kebahagiaan menyelimuti dirinya. Dia tahu bahwa dia dan Elvan masih memiliki kendala yang harus dihadapi, namun dia akan berjuang untuk mendapatkan restu dari kakek.
"Hei, mau keluar dari sini?" Elvan bertanya, memecah kesunyian.
Celia mengangguk sambil tersenyum. "Yes, let's go," ucap Celia.
Mereka bangkit dari meja dan berjalan keluar restoran sambil bergandengan tangan. Mereka melangkah keluar, menuju udara malam yang sejuk. Celia merasakan kebebasan dan kegembiraan. Dia tahu bahwa dia dan Elvan masih harus menghadapi banyak hal, tetapi dia siap untuk apa pun yang akan terjadi selanjutnya.
Setelah mereka meninggalkan restoran, Celia menghentikan langkahnya, ekspresi Celia berubah serius. "Elvan, aku sudah memikirkannya, ini tentang kakekku," ucap Celia.
Hati Elvan mencelos, mengingat raut wajah Kakek yang tidak setuju. "Bagaimana dengan dia?" Elvan bertanya, berusaha terdengar netral.
Celia menghela nafas. "Aku tahu kakek tidak akan benar-benar merestui hubungan kita. Tetapi aku ingin kamu tahu, bahwa aku tidak peduli dengan apa yang kakek pikirkan. Aku hanya peduli dengan apa yang aku rasakan. Dan yang aku rasakan adalah aku memang ditakdirkan untuk bersamamu," jelas Celia.
Hati Elvan membuncah karena haru mendengarkan perkataan Celia. Elvan tahu bahwa Celia keras kepala dan mandiri, tetapi itu sangat berarti bagi Elvan. Melihat Celia bersedia menentang kakeknya demi hubungan mereka.
"Celia, aku juga merasakan hal yang sama," ucap Elvan sambil menggenggam tangan Celia.
"Aku juga tidak peduli dengan apa yang kakekmu pikirkan. Yang penting adalah apa yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan."
Mata Celia berbinar bahagia saat menatap Elvan. Keduanya berpegangan tangan dan saling menatap satu sama lain, Celia tahu bahwa cinta mereka cukup kuat untuk mengatasi segala rintangan, termasuk untuk menghadapi Kakeknya.
Beberapa saat kemudian, sopir datang menjemput mereka. Elvan membuka pintu mobil untuk Celia, dan meminta Celia untuk masuk. Tiga puluh menit kemudian, mereka sampai di rumah Celia. Celia meminta sopir untuk meninggalkan mereka berdua.
Celia masuk dan menekan lift ke lantai tiga. Elvan hendak menekan ke lantai dua, tapi Celia menggeleng.
"Sleep with me tonight," ucap Celia.
Elvan membeku dalam ketidakpastian, Elvan tiba-tiba merasakan dorongan untuk memeluk Celia. Elvan menarik Celia ke dalam pelukannya, dan Celia tidak melawan. Bibir mereka bertemu, mereka memulai ciuman penuh gairah, seolah berusaha melupakan kenyataan yang ada.
Begitu pintu lift terbuka, Celia mengalungkan tangannya dileher Elvan, dan melompat, melingkarkan kakinya di pinggang Elvan. Elvan semakin memperdalam ciumannya dan menggendong tubuh Celia dan membawanya ke kamar. Mereka jatuh di atas tempat tidur bersama-sama, dan mencari kenyamanan dalam pelukan satu sama lain. Bibir Elvan menelusuri leher Celia, meninggalkan jejak ciuman disana.
Tangan Elvan menjelajahi tubuh Celia, menelusuri lekuk pinggang dan pinggulnya. Dia menangkup payudara Celia, merasakan puting Celia mengeras karena sentuhannya. Tangan Celia juga tak kalah sibuk menelusuri dada bidang dan perut Elvan. Dia menyelipkan tangannya ke pinggul pria itu, merasakan gairah pria itu di bawah sentuhannya.
"Baby," Elvan mendesah dan kembali mencium bibir Celia. Saat mereka berciuman, tangan Elvan mulai menaikkan dress yang Celia kenakan, Celia perlahan membuka kancing dan melepaskan dressnya. Setelah itu, Celia membuka resleting celana Elvan dan menurunkannya ke pinggul.
Melihat tubuh telanjang Celia, tatapan mata Elvan membara penuh hasrat. Elvan merasakan hubungan dengan Celia adalah hubungan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Elvan sadar bahwa dia tidak bisa kehilangan Celia, tidak sekarang, dan tidak selamanya. Percintaan mereka intens dan penuh gairah. Ini adalah salah satu upaya mereka untuk melupakan kenyataan yang sedang mereka hadapi.
Keduanya berbaring di tempat tidur, saling berpelukan. Celia merasakan perasaan puas menyelimuti dirinya. Dia tahu bahwa dia telah menemukan belahan jiwanya dalam diri Elvan, dan dia bersyukur atas setiap momen yang mereka habiskan bersama.
"I love you," bisik Celia, suaranya nyaris tak terdengar.
Elvan tersenyum, matanya bersinar penuh cinta. "I love you too," ucap Elvan, suaranya lirih dan serak.
Celia tahu bahwa dia telah mengambil keputusan yang tepat dengan memilih bersama Elvan. Dia tidak peduli apa yang kakeknya atau orang lain pikirkan.
Keesokan paginya, Celia dan Elvan terbangun karena ponsel Elvan berdering. Elvan bergegas menjawab panggilannya, mendengarkan sejenak, dan menjawab, "Ya, aku akan pulang," ucap Elvan.
Celia duduk, menatap Elvan dengan rasa ingin tahu. "Siapa yang telfon?" Celia bertanya.
Wajah Elvan mendadak pucat setelah dia menerima telepon.
"Nenek tidak mungkin serius," gumam Elvan sambil mengacak-acak rambutnya.
Mata Celia membelalak kaget melihat tingkah Elvan.
"What's wrong?" Celia bertanya, suaranya terdengar samar.
Elvan menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.
“Nenekku telah menjodohkanku, dengan seorang dokter bernama Nadira," jawab Elvan.
Mendengar itu, Celia membolakan matanya.
“Dijodohkan? Sejak kapan?” tanya Celia dengan suara bergetar.
Elvan mengangguk. Nenek memberitahuku sebelum aku pergi ke Jakarta untuk menemuimu.
"Kenapa kamu tidak memberitahuku sejak saat itu?"
"Maaf," lirih Elvan, suaranya nyaris tak terdengar.
"Aku takut kehilanganmu. Aku tidak ingin kamu berpikir bahwa aku berkomitmen pada orang lain," jelas Elvan.
"Seharusnya kamu jujur. Bagaimana aku bisa mempercayaimu sekarang?" ucap Celia. Ekspresi Celia berubah dingin.
"Aku minta maaf, aku memang salah, harusnya aku tidak menyembunyikannya darimu," ucap Elvan. Elvan menundukkan kepalanya, rasa malu tertulis di seluruh wajahnya.
Hati Celia penuh dengan kekecewaan. Dia mengira Elvan bisa jujur padanya, dan memercayainya untuk berbagi rahasia. Tapi sekarang, Celia merasa dikhianati, dan terluka karena Elvan menyembunyikan rahasia sebesar itu darinya. Celia tidak tahu apakah dia bisa mempercayai Elvan lagi.
"Aku perlu waktu untuk berpikir," ucap Celia, suaranya nyaris berbisik.
Wajah Elvan menunduk, tapi dia mengangguk. "Aku mengerti, aku akan menunggumu, tapi tolong jangan menyerah padaku, Celia. Aku mencintaimu."
Hati Celia sakit mendengar kata-katanya, tapi dia tidak sanggup menanggapinya. Celia beranjak dari tempat tidur dan berjalan pergi, meninggalkan Elvan.
semangat yaaa kak nulisnya ✨
Mampir juga di karya aku “two times one love”