Alan adalah CEO tampan dan kaya, karena trauma dia membenci wanita. Untuk mendapati penerus, dia memilih nikah kontrak dengan Azalea, dan begitu ia melahirkan, pernikahan mereka berakhir.
Patah hati karena pria dingin itu, Azalea melahirkan anak kembar dan membawa salah satu anak jauh dari Alan tanpa sepengetahuannya.
Lima tahun kemudian, kedua putra Azalea secara tidak sengaja bertemu di rumah sakit. Saat itu, satu anak dalam keadaan sehat dan satu lagi sakit parah. Azalea yang malang diam-diam menukar identitas kedua putranya agar putranya yang sakit dapat diselamatkan.
Akankah rahasia identitas itu terungkap?
Akankah ia terjerat lagi dengan Alan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara mimpi dan kenyataan
Alan berdiam diri di sebuah ruangan, ruangan yang selalu menjadi tempatnya menyendiri. Posisinya, dia tengah duduk di sebuah kursi sembari memandangi sebuah foto besar yang ada di hadapannya.
"Aku tidak mencintaimu, tapi kenapa ... kenapa kamu terus menghantui hari-hariku Lea. Aku membenci wanita, tapi kenapa ... aku tidak bisa membencimu." Lirih Alan.
Foto tersebut adalah foto Azalea ketika hamil si kembar, tampak wanita itu sangat cantik mengenakan dress merah yang menampakkan perut besarnya. Wajah cantik dan lembut wanita itu, dengan mahkota bunga di kepalanya membuat auranya terpancar.
"Azalea ...." Alan memejamkan matanya, menyandarkan tubuhnya pada kursi besar yang ia duduki. Mengistirahatkan pikiran dan tubuhnya sejenak.
Selang beberapa detik, Alan mengerutkan keningnya kala merasa sebuah tangan halus dan dingin menyentuh kedua pelipisnya. Dengan perlahan, Alan membuka matanya. Tangannya langsung menangkap tangan yang sudah menyentuhnya, tangan tersebut sangatlah halus dia rasa. Kepalanya menengadah, dia mendapati seorang wanita yang tengah memijat kepalanya.
"Azalea, kau!!" Alan menarik kepalanya, dan menegakkan lehernya. Matanya menatap gerak-gerik wanita itu tanpa melepas pandangannya sama sekali.
Azalea, wanita itu berjalan ke hadapannya. Membuat Alan hanya bisa menatap wanita itu dengan kebingungan.
"Mas Alan, apa kau merasa pusing? Aku akan memijat mu." Ujar Azalea sembari tersenyum.
"Kenapa kau bisa masuk? Siapa yang mengizinkanmu!" Seru Alan.
Azalea tersenyum, dia justru mendekat ke arah Alan dan duduk di pangkuan pria itu. satu hal yang baru Alan sadari, perut Azalea besar seperti sebelum melahirkan. Tangan Azalea menarik tangan kekar Alan, dan menaruhnya di atas perutnya.
Dugh!
Raut wajah Alan berubah pias, jantungnya berdetak tak karuan. Keringat dingin membasahi keningnya, kala tangannya merasakan tendangan dan juga gerakan di dalam sana. Alan pun mengangkat wajahnya, matanya kini bertemu dengan manik mata indah milik Azalea.
"Kau merasakan tendangan mereka? Dulu aku diam-diam menaruh tangan mu seperti ini ketika anak kita tidak menendang seharian. Setelah kamu memegangnya seperti ini, mereka pasti akan kembali menendang."
"Mereka?" Serunya, dalam hatinya. Entah mengapa, suara Alan seperti tercekat. Dia tidak bisa membuka suaranya sama sekali.
"Aku ingin sekali mengetahui bagaimana kabar mereka di dalam sini, tapi kamu melarangku keluar. Kenapa? Apa kau malu memperkenalkanku pada publik?" Alan kembali menatap wajah wanita itu, perubahan raut wajah Azalea sangat cepat sekali. Tadi wanita itu menatapnya dengan sorot penuh kelembutan, dan berubah menjadi sorot penuh kebencian.
Perlahan, Azalea bangkit. Dia menepis tangan Alan begitu saja dari atas perutnya. Kakinya melangkah mundur dengan perlahan, tanpa melepas tatapannya dari Alan. Tangannya mencengkram kuat perutnya, hingga Alan bisa melihat perut itu di remas sangat kencang oleh Azalea.
"Kenapa kamu membenciku? Sedangkan yang salah adalah masa lalu dan ibumu! Apa salahku?! Apa salah mereka?! Sebab kau, anakku harus sakit! Sebab kau, mereka harus menderita! Sebab kau, mereka harus berada di posisi yang sulit! Aku membencimu!! Aku membencimu!! aku membencimu Alan Annovraaa!!"
Netra Alan membulat kala melihat kaki Azalea mengalir sebuah darah, kepalanya tiba-tiba terasa pening. Tak lama, pandangan Alan meredup dan dirinya tak ingat apapun lagi.
.
.
.
"Terima kasih dok, kalau gitu mari saya antar."
Samar-samar, Alan mendengar seseorang berbicara. Perlahan, dia mengerjapkan matanya. Matanya, menatap langit-langit kamarnya dengan mata menyipit. Dengan sedikit memaksa, Alan bergegas duduk. Namun, dia langsung memegang kepalanya saat rasa pusing menderanya.
"Awsshh!!" Alan merasakan pusing yang sangat. Matanya mendapati Bi Sari yang duduk di ujung ranjangnya sembari memangku Elouise. Keduanya menatap Alan dengan raut wajah yang khawatir.
"Papa." Lirih Elouise.
Alan mengingat apa yang terjadi sebelumnya, dia terlihat bingung. Matanya segera menatap sekeliling ruangan yang ia tempati saat ini.
"Ini bukan di kamar khusus, ini kamar tidurku. Kenapa aku bisa ada disini? Terakhir kali, aku bertemu dengan ...,"
"Azalea! kemana wanita itu?!" Seru Alan dalam hatinya.
Tanpa berbicara, Alan turun dari ranjangnya Membuat Bi Sari bergegas bangkit dan menahan majikannya itu. Elouise yang masih berada di gendongan Bi Sari pun terlihat ketakutan.
"Tuan, anda mau kemana?! Anda baru saja sadar, tolong istirahat dulu!" Seru Bi Sari sembari memegangi lengan Alan.
Alan menepis tangan Bi Sari, dia melanjutkan langkahnya keluar kamar dengan jalan tertatih-tatih. Sesampainya di luar kamar, langkahnya terhenti ketika lagi-lagi seseorang menghalanginya.
"Alan! Kau mau kemana hah?! Dokter tidak mengizinkanmu berjalan-jalan dulu, kepalamu pasti sakit kan?!" Pekik Brandon, menghalangi Alan yang akan pergi entah kemana.
"Jangan menghalangiku Brandon! Azalea ada disini, dia menyusup ke rumahku! Dia ada di ruangan khusus milikku! Dia ada di sana, aku harus mencarinya! Dia mungkin masih ada di sana."
Brandon terdiam dengan kening mengerut, dia tak lagi menghalangi Alan yang akan pergi mencari Azalea. Satu hal yang ada dalam pikirannya saat ini, mengapa bisa Alan berkata demikian?
"Azalea?" Gumam Brandon. Tak lama, Brandon tersadar dari keterdiamannya. Dia bergegas menyusul Alan yang sudah pergi menjauh.
"Alan! Hei tunggu!" Pekik Brandon.
Cklek!
Brak!
Alan membuka pintu itu dengan kasar, dia mendekati kursi yang terakhir kali ia duduki sebelum pandangannya gelap. Matanya langsung mencari sekelilingnya, dimana dia bisa menemukan keberadaan Azalea.
"Alan! Ada apa denganmu hah?! Saat malam tadi, sebelum aku pulang. Kau ku temukan pingsan di kursi ini, bagaimana bisa kau bertemu dengan Azalea?!" Pekik Brandon, berusaha menyadarkan Alan.
Alan menghiraukannya, dia justru menarik bingkai foto besar berisi foto Azalea hingga terjatuh dan menyebabkan kaca bingkai pecah. Bahkan, membuat serpihan kaca berhamburan kemana-mana.
Dengan gerakan cepat, Brandon langsung memeluk Elouise yang berada di gendongan Bi Sari agar anak itu tak terkena serpihan kaca tersebut.
"Bi, tolong bawa Lexi keluar. Biar aku yang menangani Alan." Pinta Brandon. Dia khawatir Elouise terkena dampak perbuatan Alan saat ini.
Setelah memastikan Bi Sari pergi, Brandon bergegas menutup pintu. Dia mendekati Alan yang sedang berjongkok sembari berusaha membalikkan bingkai yang terbalik itu.
"ALAN! SADARLAH!! KAU KENAPA HAH!!" Pekik Brandon sembari mengguncang bahu Alan dengan kuat.
Gerakan Alan terhenti, dia seakan seperti tersadar atas apa yang dirinya buat. Perlahan, Alan bangkit dan menatap nanar barang yang ia rusak.
"Apa kau sudah tidak waras hah?!" Sentak Brandon, sembari mengguncang kuat bahu Alan. Berharap, sahabatnya itu tersadar akan perbuatannya.
Alan tak menghiraukan perkataan Brandon, dia malah menepis tangan Brandon dari bahunya. "Apa tadi hanya mimpi?" Gumam Alan.
Brandon memijat pelipisnya, dia tidak tahu apa yang sudah terjadi pada sahabatnya hingga seperti ini?
"Oke, lupakan. Ayo, ku antar kembali ke kamar." Kali ini Alan menurut, Brandon menuntun Alan kembali ke kamarnya.
"Oh Astaga ... apa hidupku akan selalu mengurus masalah sahabatku? Ayolah, aku juga ingin mencari cinta. Alan ... Alan ... kenapa kau suka sekali mencari masalah dan aku pun yang harus membantu menyelesaikannya. Semoga kau cepat dapat hidayah dan aku pun segera menikah." Brandon membatin selama dirinya menuntun Alan kembali ke kamar sahabatnya itu.
"Kalau kau tidak ikhlas membantuku, tidak usah!" Sentak Alan sambil menepis tangan Brandon yang menuntunnya. Lalu, bergegas memasuki kamarnya tanpa bantuan Brandon.
"Eh?! Apa dia punya mata batin?!" Seru Brandon dalam hatinya.
____