Nuka, siswa ceria yang selalu memperhatikan Aile, gadis pendiam yang mencintai hujan. Setiap kali hujan turun, Nuka menawarkan payungnya, berharap bisa melindungi Aile dari dinginnya rintik air. Suatu hari, di bawah payung itu, Aile akhirnya berbagi kenangan masa lalunya yang penuh luka, dan hujan pun menjadi awal kedekatan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aolia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perubahan
Langit sudah menunjukkan jingganya ketika Aile memutuskan untuk pergi ke rooftop, tempat di mana Nuka dan gengnya sering berkumpul. Langkahnya terasa berat, seolah setiap jejak yang ia tinggalkan di trotoar mengiringi rasa bersalah yang kian menghimpit dadanya. Angin malam menusuk, tapi dinginnya tak seberapa dibandingkan dengan apa yang Aile rasakan di hatinya.
Setelah berminggu-minggu menahan kegelisahan, akhirnya Aile memutuskan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Nuka. Ia mengira sikap dingin Nuka hanya bagian dari perubahan suasana hati yang biasa, tapi semakin hari, ia sadar ada sesuatu yang lebih dalam. Awalnya, Aile tak mau memaksa Nuka untuk bicara, tak mau mengusik masalah yang mungkin tak ingin Nuka bagi. Namun, perasaan tak enak itu semakin menggelayut, terlebih ketika ia mendengar desas-desus dari teman-teman Nuka.
Dedi—ayahnya—sudah lama menekam di penjara setelah akhirnya hukum menangkapnya atas segala kejahatannya. Ketika Aile mendengar bahwa nama ayahnya kembali menjadi topik pembicaraan, hati Aile tenggelam lebih dalam. Itulah sebabnya Nuka menjauh, sebabnya Nuka menutup diri. Meski Aile tahu kejahatan ayahnya bukan salahnya, tetap saja rasa bersalah itu menyebar di seluruh tubuhnya, seperti racun yang menyiksa tanpa henti.
Setibanya di rooftop, ia melihat Nuka duduk bersama teman-temannya. Mereka tertawa—suara mereka terdengar begitu lepas, begitu ringan, sesuatu yang sudah lama tak Aile rasakan. Namun, di tengah tawa itu, ada Nuka yang duduk dalam diam. Pandangannya kosong, menatap ke langit seolah mencari jawaban yang tak kunjung ia temukan. Ketika mata mereka bertemu, Nuka tak langsung bereaksi, hanya ekspresi datar pada aile.
Nuka memberi isyarat pada teman-temannya, dan mereka langsung mengerti. Satu per satu dari mereka berdiri, meninggalkan tempat itu dengan senyum simpul yang samar. Mereka tahu ada sesuatu yang lebih penting yang harus dibicarakan.
Aile berdiri kaku di sana, sejenak membiarkan keheningan menguasai mereka. Nuka masih menatap langit, sementara Aile menggenggam ujung jaketnya dengan gugup. Akhirnya, dengan napas yang berat, Aile memulai pembicaraan yang sudah lama ia hindari.
"Aku udah tahu... tentang semuanya." Suaranya pelan, hampir hilang tertiup angin. Nuka menurunkan pandangannya, menatapnya dengan mata yang dalam dan penuh beban, namun tetap diam, membiarkan Aile melanjutkan. "Tentang ayahku. Tentang kenapa kamu berubah."
Aile menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. "M-maaf, ka. maaf karna bungkam, maaf karna ga langsung nolongin nenek kamu waktu itu, maaf atas kesalahan ayah, kamu orang baik yang seharusnya ga ngerasain kehilangan secepat itu ka"
Nuka masih diam, namun dari caranya memandang, Aile tahu Nuka mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibirnya.
"Dan... Makasi ya ka" lanjut Aile, suaranya sedikit bergetar. "Kamu ngasi perubahan besar dihidupku, aku ini penakut ka, tapi kamu ngebuat aku jadi berani, aku jadi mencintai bakatku karna kamu selalu kasih apresiasi, hal-hal yang menurut kamu mungkin sederhana, tapi itu berdampak besar untuk aku, sapaan hai waktu itu ngebuat aku merasa kalau ternyata aku yang suram ini terlihat di mata orang lain, makasi ka..."
Aile terdiam, membiarkan kata-katanya melayang di antara mereka. Suasana terasa begitu berat, dan perasaan bersalah yang selama ini menghantui Aile semakin menekan.
"Ka, aku gak akan ganggu kamu lagi." Kalimat terakhir itu keluar lebih lirih, lebih perih daripada yang Aile bayangkan. Ia merasa dirinya tak pantas untuk Nuka, tak layak berada di sisinya setelah apa yang ayahnya lakukan.
Setelah berkata demikian, Aile perlahan berbalik, berniat meninggalkan rooftop itu. Namun, langkahnya terhenti sejenak. Ia menunggu—seolah berharap Nuka akan mengatakan sesuatu, apapun itu—tapi tak ada suara yang terdengar selain angin yang berhembus lembut di antara mereka.
Nuka duduk di tempatnya, tubuhnya seperti membeku. Ia ingin mengejar Aile, ingin menghentikannya dan mengatakan bahwa semua ini bukan salah Aile, bahwa apa yang dilakukan ayahnya tidak ada hubungannya dengan mereka. Namun, tubuhnya terasa kelu, seolah beban yang menghimpit perasaannya menahan setiap gerakan yang ingin ia buat.
Aile pun terus berjalan menjauh, meninggalkan rooftop dengan langkah yang perlahan namun pasti. Nuka menatap punggungnya yang semakin mengecil di kejauhan, hati dan pikirannya kacau balau. Bagian dari dirinya ingin berlari mengejar Aile, menariknya kembali, dan mengatakan bahwa ia tak perlu pergi, bahwa ia tak pernah menganggap Aile bersalah. Namun, bagian lain dari dirinya masih bergulat dengan rasa sakit yang sudah lama ia pendam.
***
Sejak Dedi dipenjara, Nuka merasa terjebak dalam konflik batin yang sulit ia jelaskan. Di satu sisi, ia sangat peduli pada Aile—sudah terlalu banyak waktu yang mereka habiskan bersama, terlalu banyak kenangan yang mereka ciptakan. Aile adalah orang yang pertama kali membuka matanya tentang arti kebersamaan, yang membuatnya melihat dunia dengan cara yang berbeda. Tapi di sisi lain, setiap kali nama Dedi muncul, ingatan tentang masa lalu yang kelam kembali menghantamnya, membawa luka yang dulu ia kira sudah tertutup.
Nuka tahu Aile tidak bersalah, tapi rasa itu tetap menyakitinya, seolah kejahatan ayah Aile membayangi setiap interaksi mereka. Itu sebabnya, tanpa sadar, ia mulai menjauh, mulai membiarkan dinding emosional yang pernah ia bangun kembali menghalangi perasaannya. Dan kini, dengan Aile yang pergi, Nuka merasa kekosongan itu semakin nyata.
Di tengah kekacauan pikirannya, Nuka tiba-tiba teringat saat-saat pertama kali mereka berbicara, saat hujan deras yang membuat mereka terjebak di halte bersama. Betapa Aile, meskipun pendiam dan tertutup, tetap memberikan kehangatan yang tak pernah ia temukan pada orang lain. Betapa senyuman kecil Aile mampu menghilangkan segala kekacauan di pikirannya, meski hanya untuk sesaat.
Kini, senyuman itu menjauh, dan Nuka tahu, jika ia tidak bertindak sekarang, ia mungkin akan kehilangan Aile selamanya.
***
Nuka akhirnya berdiri, meski lututnya terasa lemas dan perasaannya belum sepenuhnya pulih. Ia menguatkan dirinya, menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah dengan mantap menuju pintu keluar rooftop. Masih ada waktu untuk mengejar Aile. Masih ada kesempatan untuk memperbaiki semuanya, untuk memberitahunya bahwa ia tidak sendiri, bahwa mereka bisa menghadapi ini bersama.
Namun, saat kakinya bergerak, bayangan masa lalu tetap membayangi, menyisakan pertanyaan besar di hatinya: Apakah ia benar-benar siap menghadapi perasaan ini, ataukah ia akan terjebak dalam konflik yang sama lagi?