Riska tak pernah menyangka hidupnya yang sederhana akan terbalik begitu saja setelah pertemuannya dengan Aldo Pratama, CEO muda yang tampan dan penuh ambisi. Sebuah malam yang tak terduga mengubah takdirnya—ia hamil di luar nikah dari pria yang hampir tak dikenalnya. Dalam sekejap, Riska terjebak dalam lingkaran kehidupan Aldo yang penuh kemewahan, ketenaran, dan rahasia gelap.
Namun, Aldo bukanlah pria biasa. Di balik pesonanya, ada dendam yang membara terhadap keluarga dan masa lalu yang membuat hatinya dingin. Baginya, Riska adalah bagian dari rencana besar untuk membalas luka lama. Ia menawarkan pernikahan, tetapi bukan untuk cinta—melainkan untuk balas dendam. Riska terpaksa menerima, demi masa depan anaknya.
Dalam perjalanan mereka, Riska mulai menyadari bahwa hidup bersama Aldo adalah perang tanpa akhir antara cinta dan kebencian. Ia harus menghadapi manipulasi, kesalahpahaman, dan keputusan-keputusan sulit yang menguji kekuatannya sebagai seorang ibu dan wanita. Namun, di bal
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Terperangkap dalam Strategi
Riska duduk di kamar kerjanya, memandangi dokumen yang ia ambil dengan penuh risiko. Berbagai skema yang tersusun rapi dalam pikiran Aldo kini ada di tangannya. Transaksi gelap, perjanjian rahasia, dan permainan kekuasaan yang licik terpampang di atas kertas. Dengan ini, Riska tahu bahwa dirinya memiliki senjata untuk melawan Aldo, namun risikonya terlalu besar—terutama dengan pesan ancaman dari Aldo tadi malam yang membuatnya gelisah.
---
Riska menatap bayangannya di cermin, wajahnya yang tampak lelah namun penuh tekad. “Aku tidak akan tinggal diam lagi. Jika Aldo pikir dia bisa mempermainkanku, dia salah besar.”
Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuat Riska tersentak. Aldo berdiri di sana, memandang Riska dengan tatapan dingin. Ia masuk tanpa izin, langkahnya perlahan namun mengancam.
“Apa yang kau lakukan, Riska?” tanyanya, suaranya datar namun menusuk.
Riska mencoba menyembunyikan ketegangannya. “Tidak ada yang perlu kau khawatirkan, Aldo.”
Aldo mendekat, menatap Riska dengan pandangan tajam. “Jangan coba-coba bermain api denganku. Kau mungkin berpikir bisa mengalahkanku, tapi kau lupa siapa aku, Riska.”
Riska berusaha menahan diri, namun kemarahan dalam dirinya tak bisa lagi dibendung. “Aku tidak peduli lagi, Aldo! Kau sudah membuatku menderita cukup lama. Aku berhak tahu kebenarannya!”
Aldo menyeringai sinis. “Kebenaran? Kau takkan bisa menangani kebenaran yang sesungguhnya. Kau hanya alat dalam rencanaku.”
---
Percakapan tersebut mengguncang Riska. Ia mulai menyadari bahwa Aldo benar-benar tanpa belas kasihan, bahkan terhadap dirinya yang kini mengandung anaknya. Namun, Riska tak ingin menyerah. Ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk melepaskan diri adalah dengan melawan balik.
Malam itu, Riska menghubungi Reza dan memutuskan untuk berkolaborasi lebih dalam. Reza memandu Riska tentang cara mengakses informasi rahasia di komputer Aldo tanpa terdeteksi. Semakin Riska mendalami rencana ini, semakin kuat pula tekadnya untuk melepaskan diri dari kekuasaan Aldo.
Namun, Aldo tidak tinggal diam. Beberapa hari setelah percakapan mereka, Aldo memasang perangkat pengintai di sekitar rumah, seolah mengetahui bahwa Riska mulai merencanakan sesuatu di belakangnya. Suatu malam, ia tiba-tiba muncul di belakang Riska saat ia sedang berkomunikasi dengan Reza lewat pesan.
“Kau menyembunyikan sesuatu dariku, bukan?” Aldo menatapnya dengan curiga, matanya berkilat tajam. “Siapa yang kau hubungi tadi?”
Riska merasakan napasnya tertahan, tetapi ia mencoba tetap tenang. “Itu hanya teman lama.”
Aldo mendekat, menatap Riska dengan intensitas yang menakutkan. “Aku tidak butuh kebohongan, Riska. Jika aku menemukan sesuatu yang kau sembunyikan, kau tahu apa akibatnya.”
---
Malam itu, Riska terjaga dengan perasaan cemas. Ketakutan dan rasa frustrasi menyelimuti pikirannya. Ia tahu bahwa setiap langkahnya diawasi, dan kesalahan sekecil apapun bisa membawa bencana baginya. Namun, ia juga sadar bahwa semakin besar tantangan yang ia hadapi, semakin besar pula keberaniannya untuk melawan.
Riska akhirnya memutuskan untuk menyusun rencana akhir. Ia tahu bahwa untuk benar-benar membuat Aldo merasakan sakit yang sama, ia harus menyerang titik terlemahnya. Melalui informasi yang diperolehnya dari Reza, Riska mengetahui tentang proyek terbesar Aldo yang sangat rentan terhadap skandal jika bocor ke publik.
Di tengah malam, Riska menyelinap keluar dan menuju kantor Aldo yang kosong. Ia memasukkan dokumen-dokumen penting ke dalam tasnya, berharap ini cukup untuk menghancurkan citra Aldo yang sempurna di depan dunia.
Namun, ketika ia hendak meninggalkan kantor, suara langkah kaki terdengar dari belakang. Riska merasa jantungnya berhenti berdetak saat melihat Aldo berdiri di sana, wajahnya penuh kemarahan.
“Kau benar-benar sudah keterlaluan, Riska.” Suaranya dingin, seolah mengandung ancaman yang tak terelakkan. “Aku sudah memberimu peringatan, tapi kau tetap saja tidak mau mendengarkan.”
---
Aldo melangkah mendekat, mengunci Riska di sudut ruangan. Ia menatapnya dengan tajam, seolah ingin menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkannya lolos begitu saja.
“Aku memberimu kesempatan untuk hidup dengan tenang, Riska,” kata Aldo, suaranya rendah namun penuh kekuatan. “Tapi jika kau memilih untuk mengkhianatiku, maka bersiaplah menanggung akibatnya.”
Riska menatapnya, menahan air mata yang mulai mengalir. Ia tahu bahwa pilihannya semakin terbatas, namun di hatinya ia tidak akan pernah menyerah.
Riska yang tertangkap basah oleh Aldo, memunculkan pertanyaan besar: Apakah Riska akan menyerah pada tekanan Aldo, atau ia akan menemukan cara lain untuk membalaskan dendamnya?
Di dalam kamar gelap, Riska berusaha mengatur napas. Pikirannya berkecamuk, mengulang kembali setiap langkah yang diambil hingga detik ini. Dia sadar bahwa permainan yang dimainkannya semakin berbahaya. Setiap keputusan yang salah bisa menghancurkan segalanya. Tapi ia sudah terlanjur masuk terlalu dalam. Dalam benaknya, ini bukan hanya tentang melawan Aldo tetapi juga tentang merebut kembali hidupnya yang direnggut.
---
Dialog yang Dinamis dan Emosional
Riska menggenggam ponsel dengan erat, menekan nomor Reza sambil menahan keraguan. Sebelum menelepon, ia menatap bayangannya di cermin.
"Apakah aku sanggup?" bisiknya pada dirinya sendiri.
Telepon berdering beberapa kali sebelum akhirnya diangkat.
“Riska, ada apa? Apa semua baik-baik saja?” Reza bertanya, nadanya terdengar waspada.
Riska berusaha menahan kegugupan. “Reza, aku... aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aldo tahu lebih banyak dari yang kukira. Dia seperti selalu berada di belakangku, mengawasi setiap langkah.”
Reza terdiam sejenak. “Riska, kau tahu ini tidak akan mudah. Aldo bukan orang biasa. Jika kau ingin keluar dari jebakannya, kau harus lebih kuat daripada rasa takutmu.”
Riska menarik napas dalam-dalam, merasakan keberanian yang perlahan timbul kembali. “Kau benar, Reza. Aku tidak akan membiarkan Aldo menghancurkan hidupku lagi. Aku akan melakukan apa pun.”
“Aku akan membantumu,” jawab Reza dengan suara yang tegas. “Tapi kau harus berhati-hati. Satu kesalahan kecil saja, dan Aldo tidak akan ragu untuk membuatmu membayar mahal.”
---
Permainan Psikologis dan Ketegangan
Malam itu, setelah telepon dengan Reza, Riska mencoba tenang, tetapi perasaan waspada tetap menguasainya. Aldo tidak pernah sepenuhnya mengungkapkan rencananya, tapi dia cukup cerdas untuk menyadari bahwa Riska bukan wanita yang mudah dikendalikan. Dia tahu Riska mencoba melawan, namun dia menikmati permainannya—membiarkan Riska berpikir bahwa ia masih memiliki kendali.
Keesokan harinya, Aldo datang ke rumah dengan wajah dingin, seolah tidak ada yang terjadi. Namun, pandangannya terhadap Riska terlihat tajam, seolah menelanjangi setiap rahasianya. Mereka duduk di meja makan, dan suasana terasa mencekam.
"Aku merasa kita sudah cukup lama bersama, Riska," kata Aldo, sambil menatap lurus ke arah Riska. "Tapi, ada sesuatu yang terus kau sembunyikan dariku."
Riska merasakan jantungnya berdetak cepat, tetapi ia mencoba tetap tenang. “Aku tidak menyembunyikan apa pun, Aldo.”
Aldo tersenyum sinis, mengangkat alis. “Benarkah? Kalau begitu, kau takkan keberatan jika aku mulai menyelidiki lebih jauh.”
Tatapan Riska berubah tegang, namun ia berusaha menutupinya dengan senyuman tipis. “Silakan saja, kalau kau pikir aku masih ada rahasia darimu.”
Aldo tertawa kecil, seolah menikmati ketakutan Riska yang tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya. “Kau memang wanita yang tangguh, Riska. Tapi ingat, kekuatanku tak bisa kau lawan. Jika kau melawanku, kau akan kehilangan segalanya.”
---
Komplikasi yang Menarik
Dalam beberapa hari berikutnya, tekanan dari Aldo semakin terasa. Ia memasang pengawas dan kamera tersembunyi di beberapa sudut rumah, membuat Riska merasa semakin terjebak. Ia tahu bahwa gerak-geriknya kini diawasi, dan satu kesalahan saja bisa menghancurkan seluruh rencana pelariannya.
Riska mencari celah untuk bertemu Reza secara rahasia, berharap bisa mendapatkan bantuan lebih lanjut. Saat akhirnya bertemu di sebuah kafe terpencil, Riska menceritakan situasi yang semakin menjeratnya.
“Dia mengawasiku, Reza. Setiap detik, setiap langkah. Aku merasa seperti burung yang terkurung,” kata Riska dengan suara bergetar.
Reza menghela napas, menatap Riska dengan pandangan serius. “Aku punya rencana, tapi itu berisiko besar. Kau harus benar-benar siap.”
“Aku tidak punya pilihan lain,” jawab Riska, suaranya dipenuhi tekad. “Apa pun risikonya, aku akan menjalani. Asal aku bisa bebas dari Aldo.”
Reza lalu memberikan detail rencana mereka, yang melibatkan bukti-bukti yang sudah dikumpulkan Riska. Rencana itu bertujuan untuk menggulingkan Aldo dari posisi CEO dengan mengungkapkan kejahatan tersembunyinya.
Namun, Riska tahu rencana ini akan membuat Aldo semakin marah jika ia mengetahuinya. Tapi ia sudah siap. Ia siap mempertaruhkan segalanya.
---
Malam itu, saat Riska pulang ke rumah, Aldo sudah menunggu di ruang tamu, duduk sambil memperhatikan pintu masuk dengan ekspresi penuh curiga.
“Kau dari mana, Riska?” tanyanya, suaranya terdengar tajam.
Riska berhenti sejenak, berusaha mengontrol ketenangan dirinya. “Aku hanya keluar sebentar untuk menenangkan pikiran.”
Aldo memandangnya dengan tatapan tajam, seolah mampu melihat semua yang disembunyikan Riska. “Aku harap kau tidak melakukan sesuatu yang bisa merugikan kita, Riska. Ingat, aku masih memegang kendali atas hidupmu.”
Riska berusaha menahan diri untuk tidak bereaksi, hanya menatapnya dengan ekspresi kosong. Di dalam hatinya, ia bertekad untuk tidak menyerah pada permainan psikologis Aldo.
Namun, ketika ia berbalik untuk naik ke kamar, Aldo tiba-tiba meraih lengannya, menahannya dengan cengkeraman kuat.
“Kau pikir kau bisa bebas dariku, Riska?” bisik Aldo, suaranya rendah namun mengancam. “Kau salah besar jika berpikir begitu.”
Riska merasa ketakutan mencengkeram hatinya, tapi ia tidak membiarkan Aldo melihat kelemahannya. Dengan dingin, ia menatap Aldo dan berkata, “Aku tidak takut padamu, Aldo. Kau tidak bisa lagi memegang kendali atas hidupku selamanya.”
Aldo tersenyum sinis, melepaskan tangannya perlahan. “Kita lihat saja, Riska. Pertarungan ini baru dimulai.”
Bab ini berakhir dengan ketegangan yang kian memuncak antara Aldo dan Riska, dengan Riska yang semakin berani untuk melawan dominasi Aldo. Bab ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah Riska benar-benar siap menghadapi konsekuensi dari perlawanan ini? Dan sejauh mana Aldo akan pergi untuk menghentikannya?