Genap 31 tahun usianya, Rafardhan Faaz Imtiyaz belum kembali memiliki keinginan untuk menikah. Kegagalan beberapa tahun lalu membuat Faaz trauma untuk menjalin kedekatan apalagi sampai mengkhitbah seorang wanita.
Hingga, di suatu malam semesta mempertemukannya dengan Ganeeta, gadis pembuat onar yang membuat Faaz terperangkap dalam masalah besar.
Niat hati hanya sekadar mengantar gadis itu kepada orang tuanya dalam keadaan mabuk berat dan pengaruh obat-obatan terlarang, Faaz justru diminta untuk menikahi Ganeeta dengan harapan bisa mendidiknya.
Faaz yang tahu seberapa nakal dan brutal gadis itu sontak menolak lantaran tidak ingin sakit kepala. Namun, penolakan Faaz dibalas ancaman dari Cakra hingga mau tidak mau pria itu patuh demi menyelamatkan pondok pesantren yang didirikan abinya.
.
.
"Astaghfirullah, apa tidak ada cara lain untuk mendidik gadis itu selain menikahinya?" Rafardhan Faaz Imtiyaz
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 - Lagi-Lagi Papi
Betapa bahagianya Ganeeta tatkala permintaannya di-ACC tanpa banyak bicara. Semua ini berawal dari cerita Laura tentang Mauren yang tengah menghabiskan waktu berbulan madu di Bali.
Tak ayal, Ganeeta yang sejatinya agak fomo akan hal ini-itu hanya dengan mendengar atau melihat orang lain ikut tergiur.
Ditambah lagi, Faaz mengatakan dia seperti tidak ada kegiatan lain jika di rumah, jelas tekad Ganeeta untuk berbulan madu kian bulat saja.
Tak butuh waktu lama untuknya berkemas, Ganeeta sudah siap dengan segala perlengkapan di dalam kopernya.
"Sudah siap?" tanya Faaz agak sedikit terkejut tatkala melihat dua koper besar yang sudah siap untuk diangkat.
"Tentu ... ayo, Mas!!" ajak Ganeeta tampak sebahagia itu.
Sementara Faaz yang di sampingnya hanya menggeleng pelan. Mengingat tadi pagi wajah Ganeeta sekusut pakaian belum disetrika, sekarang begitu sumringah.
Bayangan indahnya Pulau Dewata sudah terngiang, hal itulah yang menjadi alasan Ganeeta sama sekali tidak sabar untuk tiba di sana.
Kendati begitu, sebelum pergi sudah tentu Faaz harus pamit dulu kepada Papi Cakra. Hendak bagaimanapun, mereka tinggal di satu rumah dan tidak akan sopan jika asal pergi saja.
"Aduh, Mas, tidak perlu izin ... lagian Papi sama Mami tu belum pulang, kita telepon saja nanti 'kan bisa," protes Ganeeta agak sedikit tidak setuju andai harus izin dulu.
Berbeda pendapat dengan Ganeeta, Faaz tetap pada pendirian bahkan rela menunggu beberapa saat sebelum mertuanya pulang.
"Nah, itu Papi pulang ... Mas izin dulu ya, khawatirnya tidak diperbolehkan, Net."
"Tidak ada ceritanya tidak boleh, pasti boleh."
"Belum tentu, makanya Mas harus izin dulu agar tidak jadi penyesalan di akhir."
"Ya sudah sana, ngapain sih harus izin segala ... padahal sudah menikah," gerutu Ganeeta yang hanya Faaz tanggapi dengan senyum hangat di sana.
Tanpa kemarahan, Faaz mengerti bahwa istrinya masih murka perkara motornya dijual kiloan.
Terbukti sewaktu pamit kali ini, Ganeeta enggan ikut dan meminta Faaz saja yang bertindak.
"Tunggu sebentar, Mas tidak akan lama."
"Harus, kalau kelamaan ketinggalan pesawat yang ada," ketus Ganeeta kini menjauh dan memilih menunggu di tepian tempat tidur lebih dulu.
Sewaktu Faaz berlalu, Ganeeta memanfaatkan waktu untuk melihat-lihat destinasi yang akan mereka kunjungi ketika tiba di sana.
Sudah tentu banyak sekali tempat yang ingin dia kunjungi, seolah tidak mau kalah saing dengan Mauren, Ganeeta mencari inspirasi bulan madu di berbagai artikel.
"Eum cantik sih, tapi mubazir ... pakai bunga-bunga ginian, mending beli yang lain saja, Mas Faaz 'kan bukan Papi," gumam Ganeeta dan beralih melihat foto yang lain.
"Nah ini sepertinya manis, makan malam di tepi pantai setelahnya aku yang dimakan arrrrgghh_ eh, aku ngapain sih."
Dia yang heboh, dia juga yang menyadarkan diri sendiri bahkan tak segan menepuk pipi sebelum kemudian tertawa geli.
Cukup banyak referensi yang Ganeeta lihat. Sebagaimana wanita dewasa, Ganeeta benar-benar niat untuk berbulan madu meski dadakan sebenarnya.
Tak hanya sekadar referensi mandiri, tapi Ganeeta juga bertanya pada pihak yang lebih berpengalaman terutama tentang Bali, Haura.
Dari sana juga Ganeeta mendapat tawaran menarik, villa gratis selama di sana hingga membuat semangatnya semakin membara.
"Serius, Kak?" tanya Ganeeta memastikan sekali lagi, barangkali telinganya salah dengar.
"Serius, Mas Vano yang bilang barusan."
"Ehm, thanks deh ... tapi, ini bohongan bukan? Ntar dikasih gudang," ungkap Ganeeta dengan segala kecurigaan dalam dirinya.
"Astaga, Ganeeta, suamiku tidak setega itu, kamu kenapa mikir jelek melulu tentang dia Kakak tanya?"
Ganeeta mengembuskan napas kasar. Sulit untuk diungkapkan, tapi memang hingga detik ini sulit sekali untuk Ganeeta bisa berpikir positif tentang musuh bebuyutannya itu.
"Ehm gimana ya? Kan Kakak tahu sendiri suami Kakak gimana orangnya? Bisa jadi dia justru ngerjain, orang pendendam gitu mana bisa dipercaya."
"Untuk kali ini tenang, percaya sama Kakak ... dugaan kamu salah, Mas Ervano sangat menghormati suamimu, mana mungkin dia berani bercanda sama anak Kiyai, Ganeeta."
Haura sudah memberikan penjelasan, tapi Ganeeta masih tetap pada pendiriannya. "Yang anak Kiyai itu Mas Faaz, kalau aku bukan ... jelas saja hal itu tidak bisa menjamin posisiku aman, Kak."
"Aduh, susah banget jelasinnya. Ini hadiah pernikahan kalian, Mas Vano kasih sponsor supaya Faaz tidak perlu mengeluarkan uang untuk penginapan dan lain-lain ... tuh, suamiku punya niat baik loh, Net, kenapa diraguin?"
Ganeeta menarik napas dalam-dalam, sejenak berpikir dan dia memperkirakan pengeluaran di sana.
Sejak terbiasa menerima uang saku senilai 50 ribu perhari dari Faaz, Ganeeta menarik kesimpulan bahwa hanya segitu kemampuan sang suami.
Tak sedikit pun terbesit bahwa uang jajan yang Faaz berikan berdasarkan batas maksimal dari Papi Cakra sendiri. Namun, Ganeeta yang salah paham justru menimbulkan dampak positif, dia tidak menuntut banyak dan mengerti bahwa Faaz tidak sekaya orang tuanya.
Atas pertimbangan itu, dia pada akhirnya menerima tawaran Haura dengan senang hati. "Oke deh, aku terima kalau gitu."
"Akhirnya mau juga ... Mas, Anet mau katanya."
"Oke, Ganeeta, tapi bilang sama Faaz jangan terlalu semangat, khawatir ranjangnya patah."
Mata Ganeeta seketika membulat tatkala sadar bahwa Haura tidak sendirian, melainkan tengah bersama Ervano yang membuat Ganeeta segera mengakhiri panggilan telepon tersebut.
.
.
"Mau diterima gengsi, tapi kalau tidak ... ah biarinlah, anggap saja rezeki, kan lumayan Mas Faaz bisa hemat," ucapnya kemudian tidak ambil pusing.
Sejenak Ganeeta melupakan siapa yang memberi, tapi fokus pada manfaat yang diberi.
Tak lama, Faaz yang tadi katanya pamit pada Papi Cakra sudah kembali dengan wajah tenang seperti biasa.
"Gimana, Mas? Diizinin, 'kan?"
"Hem, diizinin," jawab Faaz terdengar lesu.
Begitu mendapat lampu hijau, Ganeeta bergegas mengajak sang suami segera berangkat ke Bandara.
Semakin tak sabar Ganeeta, dia sudah mengirimkan foto ke grup chat bersama kedua sahabatnya dalam rangka pamer akan bulan madu ke Bali juga.
Awalnya semua berjalan dengan lancar, Ganeeta juga tidak merasakan ada keanehan. Akan tetapi, begitu tiba di Bandara, Ganeeta mendadak tak enak hati.
"Mas bentar ...."
"Apa?"
"Kita beneran jadi bulan madunya, 'kan?" tanya Ganeeta memastikan sekali lagi.
"Betul, tapi bukan ke Bali," jawab Faaz seketika membuat langkah Ganeeta terhenti.
"Terus kemana?"
"Yogya." Sembari mengulas senyum tipis, Faaz menjawab dengan begitu santai dan berakhir membuat mata Ganeeta membulat sempurna.
"A-apa kamu bilang?"
.
.
- To Be Continued -
Gimana Net? mau tetwp peluk Om Pras?siap unbixing?
tak sobek² kamu pras