novel fantsy tentang 3 sahabat yang igin menjadi petualang lalu masuk ke akademi petualang dan ternyata salah satu dari mereka adalah reinkarnasi dewa naga kehancuran yang mengamuk akbiat rasnya di bantai oleh para dewa dan diapun bertekad mengungkap semua rahasia kelam di masa lalu dan berniat membalas para dewa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Albertus Seran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Memori yang Terbangun
Hening menyelimuti dataran itu, seolah-olah dunia menahan napas, menunggu keputusan yang akan diambil oleh tiga sahabat ini. Aric berdiri di depan Batu Aether, tubuhnya kaku, tangannya sedikit gemetar. Suara bisikan dari batu itu semakin keras di dalam pikirannya, menyebut nama yang terasa akrab meskipun ia tak pernah mendengarnya sebelumnya.
"Aric..." Lyria memanggilnya dengan lembut, tetapi penuh kekhawatiran. Ia bisa melihat ketegangan yang luar biasa di wajah sahabatnya. "Apa yang kau rasakan? Kau terlihat... berbeda."
Aric menoleh ke arahnya, matanya berkabut sejenak sebelum ia kembali ke dirinya. "Aku... aku baik-baik saja," jawabnya, meskipun suaranya terdengar tak yakin. Ia memaksakan senyum, tapi di dalam hatinya, badai berkecamuk. Kenapa suara itu terasa begitu nyata, begitu dekat?
Kael melangkah ke depan, merasakan keringat dingin mengalir di tengkuknya. "Kita di sini untuk menyelesaikan misi," katanya tegas, mencoba mengembalikan fokus mereka. "Batu Aether itu harus diambil, kan? Ini ujian kita."
Eldric, pria tua yang mengamati mereka, menghela napas dalam-dalam. "Kalian tidak memahami sepenuhnya," katanya. "Batu ini tidak hanya akan menguji keberanian kalian, tetapi juga akan membangkitkan kebenaran yang tersembunyi dalam diri kalian." Ia menatap Aric dengan mata penuh arti. "Dan untukmu, Aric... ini lebih dari sekadar ujian biasa."
Aric merasa seolah-olah dunia di sekitarnya berputar. Ia menguatkan diri, menggenggam pedangnya dengan lebih erat. "Apa yang sebenarnya kau bicarakan?" tanyanya dengan nada yang hampir putus asa. "Aku hanya seorang petualang yang ingin membuktikan dirinya... tidak lebih dari itu."
Eldric menggelengkan kepalanya perlahan, senyum samar terukir di wajahnya. "Kau lebih dari itu," katanya pelan. "Kenangan yang telah lama terkunci akan segera terbangun. Kebenaran yang selama ini kau abaikan akan muncul kembali."
Aric ingin membantah, tetapi tiba-tiba rasa sakit yang tajam menyambar kepalanya. Ia jatuh berlutut, menggigit bibir untuk menahan erangan. Dalam sekejap, bayangan-bayangan masa lalu melintas di pikirannya, adegan-adegan yang tidak pernah ia alami, tetapi terasa sangat nyata.
Kilatan pertama: Seorang pemuda berdiri di depan sebuah kota yang terbakar, matanya merah menyala, amarah yang luar biasa menyelimuti dirinya. "Mereka harus membayar," bisik pemuda itu, dan sayap besar berkilauan muncul di punggungnya.
Kilatan kedua: Ras naga agung, makhluk-makhluk perkasa yang melayang di langit, dihancurkan oleh kekuatan para dewa. Jeritan mereka bergema di udara, dan satu suara memekakkan telinga Aric. "Kami akan membalas! Dewa-dewa itu akan menyesal telah memusnahkan kami!"
"Aric!" teriak Lyria, berlari menghampirinya. Ia berlutut di sampingnya, panik melihat sahabatnya menggeliat kesakitan. "Apa yang terjadi padamu?"
Kael bergegas mendekat, menyiapkan busurnya seolah-olah mengharapkan musuh yang tak terlihat. "Aric! Kau harus kuat!" serunya, suaranya penuh dengan kecemasan. "Kita tidak bisa kalah di sini!"
Tapi Aric tidak bisa mendengar mereka. Ia tenggelam dalam kenangan yang seakan merobek jiwanya, memperlihatkan sesuatu yang mengerikan dan tidak dapat dipahami. Tiba-tiba, suara yang sangat dalam dan penuh kuasa menggema di dalam pikirannya.
"Kau adalah aku, dan aku adalah kau," suara itu berkata. "Bangkitlah, pewaris dari Dewa Naga Kehancuran. Dunia ini harus dihukum, dan kau akan menjadi alat penghancurnya."
Aric merasakan kekuatan mengerikan yang mulai mengalir dalam tubuhnya. Api biru menyala di sekelilingnya, membakar tanah dan membuat udara bergetar. Matanya, yang sebelumnya berwarna cokelat, kini berubah menjadi merah menyala, seperti bara api yang menyala di malam gelap.
Lyria terkejut, wajahnya dipenuhi rasa takut dan kebingungan. "Aric...?" bisiknya, nyaris tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. "Apa yang terjadi padamu?"
Kael menarik Lyria menjauh, melindunginya dari semburan api biru yang semakin intens. "Kita harus menjauh!" katanya dengan tegas. "Dia... dia bukan Aric yang kita kenal lagi."
Tapi di dalam tubuh Aric, pertempuran besar sedang terjadi. Ia berusaha melawan suara itu, menahan kekuatan yang ingin menguasainya. "Tidak!" Aric berteriak, menggenggam pedangnya erat-erat. "Aku... tidak akan... menjadi alat penghancur!"
Suara itu tertawa, dingin dan penuh kesombongan. "Kau tidak bisa melawan takdirmu," katanya. "Kau adalah reinkarnasi dari aku. Kebencian kita adalah satu. Ras naga kita telah musnah, dan para dewa harus membayar."
Aric berjuang melawan rasa amarah dan kekuatan yang terus mengalir. Ia memikirkan Lyria dan Kael, sahabat-sahabatnya yang kini menatapnya dengan ketakutan. Ia memikirkan mimpi mereka untuk menjadi petualang, untuk melindungi orang-orang yang mereka sayangi. "Aku... tidak... akan... menyerah!" serunya, memaksa dirinya kembali ke kesadaran.
Api biru itu mulai meredup, dan mata Aric perlahan-lahan kembali ke warna aslinya. Ia terengah-engah, tubuhnya lelah, tetapi ia berhasil mengendalikan kekuatan itu—untuk saat ini.
Lyria dan Kael memandangnya dengan perasaan campur aduk: kelegaan, ketakutan, dan kebingungan. Eldric mengangguk pelan, seolah-olah ia sudah memperkirakan hal ini. "Kau berhasil menahan kekuatan itu," katanya, suaranya penuh dengan penghargaan. "Tapi kau harus ingat, ini baru awal. Perjuanganmu masih panjang, dan kebenaran tentang dirimu belum sepenuhnya terungkap."
Aric bangkit dengan susah payah, menatap Batu Aether yang masih bersinar di depannya. Kini, ia tahu bahwa takdirnya jauh lebih besar dari sekadar menjadi seorang petualang. Tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak akan membiarkan kekuatan gelap itu menguasainya.
"Kita akan melanjutkan," katanya, menatap Lyria dan Kael dengan tekad yang membara. "Aku tidak akan menyerah pada kegelapan ini. Kita akan menyelesaikan misi kita, dan aku akan menemukan cara untuk mengendalikan kekuatan ini."
Lyria dan Kael saling pandang, lalu mengangguk. Mereka tahu, apa pun yang terjadi, mereka akan tetap berdiri bersama, menghadapi semua ancaman yang ada. Dengan langkah yang lebih mantap, mereka bertiga melanjutkan perjalanan mereka, menyadari bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang menjadi petualang, tetapi juga tentang menghadapi takdir yang jauh lebih rumit dari yang pernah mereka bayangkan.