Yasmina Salsabilla atau yang akrab dengan sapaan Billa ini mengalami ketertinggalan dari teman-temannya yang sudah lebih dulu lulus kuliah disebabkan keterbatasan ekonomi dan membuatnya mengambil kuliah sambil bekerja. Akhirnya Billa dibantu oleh pamannya yang merupakan adik kandung dari almarhum ayahnya.
Dikarenakan mempunyai hutang budi, sang paman pun berniat menjodohkan Billa dengan anak salah satu temannya. Dan tanpa sepengetahuan sang paman, ternyata Billa sudah lebih dulu dilamar oleh Aiman Al Faruq yang tak lain adalah dosen pembimbingnya. Bukan tanpa alasan dosen yang terkenal dingin bak es kutub itu ingin menikahi Billa. Namun karena ia tidak mau mempunyai hubungan dengan sepupunya yang ternyata menaruh hati padanya. Aiman pun memutuskan untuk menikahi Billa agar sepupunya tidak mengganggunya lagi.
Bagaimana kisahnya, apakah Billa menerima lamaran dosennya ataukah menerima perjodohan dari pamannya?
Cerita ini 100% fiksi. Skip bila tidak suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daisy Faya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Monyet Ragunan
Billa dan Aiman masih sama-sama terdiam setelah Billa mengutarakan hal yang selama ini mengganjal di hatinya. Ia akhirnya paham dengan rasa tidak nyaman nya selama ini, ia seolah ragu dengan ajakan menikah dari Aiman bukan karena ia tidak memiliki rasa pada laki-laki itu, namun karena memang mentalnya yang belum siap untuk diajak menikah.
Masih banyak hal yang ingin dilakukan oleh Billa, masih banyak keinginan yang belum dicapainya. Billa masih ingin untuk menikmati masa sendirinya sebelum ia terikat dengan yang namanya ikatan pernikahan. Usia 24 tahun memang sudah layak untuk menikah, mengingat sudah begitu banyak temannya yang sudah memiliki anak di usia tersebut. Namun bagi Billa, ia ingin menikah mungkin satu atau dua tahun kedepan.
Billa kembali mengingat percakapannya dengan Ocha beberapa waktu yang lalu, ketika Billa menceritakan tentang Aiman yang mengajaknya menikah. Ocha berpendapat, Aiman melakukan itu karena mengingat umurnya yang memang sudah sepantasnya untuk menikah. Haruskah Billa mengalah dengan semua keinginan yang sudah di simpannya.
“Maaf, kalau saya kesannya terlalu memaksa kamu.” Suara bariton Aiman membuyarkan lamunan Billa.
Billa menoleh ke arah Aiman, entah mengapa wajah tampan itu kini terlihat sendu. Apakah Aiman mengartikan jawaban Billa itu sebagai sebuah penolakan. Billa seolah tidak sanggup melihat ke arah Aiman, muncul rasa bersalah di hatinya.
“Bapak benar-benar serius sama saya?” Walaupun ia sudah mempertanyakan hal itu berulang kali, dan Aiman pun sudah menjawab akan keseriusannya untuk membawa Billa ke jenjang yang lebih serius, namun Billa tetap saja masih meragukan hal itu.
“Mau sampai kapan kamu mempertanyakan keseriusan saya Billa?” Tanya Aiman menatap ke arah Billa. Namun orang yang ditatap lebih memilih untuk menunduk daripada harus beradu pandangan dengan Aiman.
“Beri saya waktu untuk berpikir dan meyakinkan diri pak, saya benar-benar belum memikirkan sedikitpun ke arah pernikahan, tapi,,” Ucap Billa yang entah mengapa merasakan sesak di dadanya, matanya memanas dan dipastikan pasti sebentar lagi bulir bening dari matanya itu akan jatuh.
“Tapi apa Bil?” Aiman penasaran dengan kalimat setengah-setengah Billa.
“Tapi jika seandainya bapak tidak sanggup menunggu, saya tidak keberatan jika bapak meninggalkan saya dan menemukan yang lain.” Ucap Billa dengan tenang. Namun hatinya sakit mendengar ucapannya sendiri.
“Kenapa kamu menyuruh saya mencari yang lain, ketika yang saya inginkan cuma kamu Billa.” Ucapan Aiman terdengar begitu datar, ia tidak menyangka jika Billa seolah dengan tega memaksanya untuk menyerah.
“Saya bingung banget pak, saya bingung sama diri saya sendiri, saya seolah gak ngerti apa yang saya mau. Saya masih punya banyak impian yang belum saya wujudkan, saya masih ingin membahagiakan Bunda saya pak, saya takut jika sudah menikah nanti saya tidak dapat mewujudkan semua yang sudah saya rancang pak.” Ucapan Billa yang begitu menggebu di awal, semakin mengecil di akhir kalimatnya.
“kenapa kamu berpikir jika sudah menikah maka semuanya akan terhambat?” Tanya Aiman penasaran dengan pikiran Billa yang seolah memiliki pandangan buruk tentang sebuah pernikahan.
“Saya tidak tahu ini bentuk dari sebuah trauma atau hanya sebuah ketakutan dalam diri saya. Terlalu banyak saya menyaksikan pernikahan yang tidak sehat di sekeliling saya pak, dimana seorang istri tidak dapat melakukan apapun yang dia mau dan seolah dikekang oleh suaminya pak, bahkan ketika dia ketahuan membantu keluarganya sendiri, membuat suaminya marah besar,” Billa menghela nafas sejenak.
“Saya belum membahagiakan Bunda saya pak, saya takut jika sudah menikah nanti maka impian saya itu tidak akan pernah bisa saya wujudkan, makanya saya berjanji pada diri saya untuk membahagiakan Bunda saya dulu baru setelah itu saya akan memikirkan untuk menikah.” Billa mengucapkan rentetan kata-kata itu dengan perasaan yang tidak enak, takut akan menyinggung perasaan Aiman.
“Saya bukan tipe laki-laki yang suka memaksakan kehendaknya sendiri Bil, mungkin di tengah kekalutan kamu saat ini, kamu pasti akan sulit percaya dengan semua pembelaan yang saya ucapkan. Tapi saya mohon percaya pada saya, saya berjanji akan membahagiakan kamu Bil, saya juga berjanji akan memenuhi semua keinginan kamu jika saya mampu.” Ucap Aiman tulus. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk membahagiakan gadis di depan ini. Ia tidak ingin lagi melihat gadis yang mampu membuatnya jatuh sedalam-dalamnya pada sebuah rasa cinta itu menangis di depan umum karena tidak bisa menahan beban yang ia terima. Begitu sakit hati Aiman ketika beberapa kali melihat gadis itu menangis di halte bus bahkan jauh sebelum dia tahu jika Billa adalah mahasiswi bimbingannya.
“Sebelum bapak bertemu dengan bunda saya, biarkan saya dulu yang menceritakan tentang bapak ke bunda, selama ini saya belum berani menceritakan apapun tentang bapak, bahkan saya berbohong tentang uang yang saya pakai untuk membayar hutang ke paman, bunda saya tahunya kalau uang itu saya dapatkan dari Ocha.” Ucap Billa penuh penyesalan.
“Mulai saat ini saya tidak akan memaksa kamu Bil, saya akan memberikan waktu untuk kamu memikirkan semuanya. Dan satu hal yang perlu kamu tahu, saya akan tetap menunggu kamu sampai kapanpun itu.” Tukas Aiman yang sejak tadi tangannya sudah gatal ingin menghapus air mata Billa yang mengalir dengan derasnya itu.
“Terharu saya pak, gak nyangka saya bakal dilamar sama orang ganteng kayak bapak, kalau saya peluk bapak boleh gak?” Ucap Billa yang sukses membuat Aiman melebarkan matanya karena terkejut.
“Dalam situasi apapun kamu pasti akan tetap dengan pikiran aneh kamu itu.” ujar Aiman.
“Bapak belum jawab pertanyaan saya, boleh gak saya peluk bapak?” Rengek Billa dengan tidak tahu malunya.
“Nikah dulu baru peluk, mau peluk seharian pun saya izinin kalau sudah sah nanti.” Timpal Aiman cepat. Jika boleh jujur, jantungnya sudah tidak aman mendengar ucapan Billa. Bisa-bisanya Billa mengatakan hal itu dengan santainya.
“Yahh bapak gak seru.” Ledek Billa.
“Kamu sebenarnya makhluk apa, kenapa bisa sifat kamu berubah begitu cepat. Tadi saya begitu kasihan melihat kamu menangis, dan benar apa yang kamu katakan dulu kalau kamu jelek pas nangis, mirip monyet ragunan. Sepertinya kamu punya banyak kepribadian,” ujar Aiman dengan menatap heran ke arah Billa.
“Bapak suka kepribadian saya yang mana?” Tanya Billa tersenyum dengan mata yang masih basah.
“Saya suka yang versi monyet ragunan tadi.” Aiman berusaha menahan senyumnya setelah mengatakan itu.
“Oh jadi bapak sukanya saya nangis terus gitu, jadi nanti bapak mau buat saya nangis tiap hari gitu. Jadi ragu saya mau terima lamaran bapak.” Sungut Billa sambil menatap sinis ke arah Aiman.
“Serba salah memang kalau jadi laki-laki.” rutuk Aiman pada dirinya sendiri.
“Pak,” panggil Billa.
“Kenapa?” Aiman menjawab begitu lembut.
“Bapak cinta kan sama saya?” Entah pertanyaan iseng apa yang Billa ucapkan.
“Kalau gak cinta ngapain saya ajak kamu nikah.” Ketus Aiman.
“Tapi saya belum pernah dengar bapak bilang cinta ke saya.” Ujar Billa.
“Cinta itu gak mesti harus diucapkan.” Sahut Aiman tenang.
“Tapi saya pengen denger.” Balas Billa.
Aiman menatap ke arah Billa yang memang tengah menatap ke arahnya juga. Jantung Billa seolah ingin melompat keluar ketika pandangan mereka beradu, ia sudah tidak sabar menunggu kata-kata itu keluar dari mulut Aiman
“Saya pulang dulu, Assalamualaikum.” Ucap Aiman lalu bangkit dari duduknya dan meninggalkan Billa dengan mulut terbuka tidak percaya dengan apa yang Aiman ucapkan barusan.
“Dasar gila.” Teriak Billa, dan dibalas tertawa oleh Aiman