Di sebuah SMA ternama di kota kecil, siswa-siswi kelas 12 tengah bersiap menghadapi ujian akhir. Namun, rencana mereka terganggu ketika sekolah mengumumkan program perjodohan untuk menciptakan ikatan antar siswa. Setiap siswa akan dipasangkan dengan teman sekelasnya berdasarkan kesamaan minat dan nilai akademis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AYANOKOUJI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 15
Mereka terdiam, memandang kota Jakarta yang tak pernah tidur, menyadari bahwa keputusan yang akan mereka ambil akan sangat mempengaruhi masa depan keluarga mereka.
Keesokan harinya, mereka memutuskan untuk berbicara dengan Amira. Dengan hati-hati, mereka menjelaskan situasinya kepada putri mereka yang kini berusia 9 tahun.
"Sayang, ada hal penting yang ingin Papa dan Mama bicarakan denganmu," Andi memulai percakapan.
Amira menatap kedua orangtuanya dengan penuh perhatian.
Putri melanjutkan, "Papa mendapat tawaran pekerjaan yang bagus di Berlin. Tapi itu berarti kita mungkin harus kembali ke sana."
Amira terdiam sejenak, wajahnya menunjukkan kebingungan. "Tapi bagaimana dengan Nenek dan Kakek? Dan teman-temanku di sini?"
Andi memeluk Amira. "Kami tahu ini sulit, sayang. Tapi kami ingin mendengar pendapatmu juga. Bagaimana perasaanmu tentang ini?"
Amira berpikir sejenak sebelum menjawab, "Aku suka di sini. Tapi aku juga kangen rumah kita di Berlin. Bisakah kita tetap sering mengunjungi Nenek dan Kakek?"
Putri tersenyum, terharu dengan kedewasaan putrinya. "Tentu saja, sayang. Kita akan sering mengunjungi mereka."
Setelah pembicaraan panjang dengan Amira, Andi dan Putri memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan di Berlin. Namun, mereka juga berjanji akan mengatur kunjungan rutin ke Jakarta dan memastikan Amira tetap terhubung dengan budaya Indonesia.
Minggu-minggu terakhir mereka di Jakarta dipenuhi dengan persiapan kepindahan dan momen-momen berharga bersama keluarga besar. Andi dan Putri juga mengatur agar orangtua Andi bisa mengunjungi mereka di Berlin secara rutin.
Hari keberangkatan pun tiba. Di bandara, air mata mengalir saat mereka berpamitan dengan keluarga besar. Nenek Amira memeluknya erat, berbisik, "Jangan lupa bahasa Indonesiamu ya, sayang."
Amira mengangguk, "Pasti, Nek. Aku janji."
Dalam perjalanan kembali ke Berlin, mereka merenungkan pengalaman setahun terakhir di Jakarta. Meskipun ada tantangan, mereka merasa pengalaman ini telah memperkuat ikatan keluarga mereka dan memberi Amira pemahaman yang lebih dalam tentang akar budayanya.
Setibanya di apartemen mereka di Berlin, mereka disambut oleh pemandangan familiar yang mereka rindukan. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Di dinding ruang keluarga, terpajang foto-foto kenangan mereka di Jakarta.
Andi merangkul Putri dan Amira. "Ini adalah awal dari babak baru kita. Kita akan terus menjaga hubungan dengan keluarga di Jakarta, dan membawa sedikit Indonesia ke rumah kita di sini."
Putri mengangguk setuju. "Ya, dan kita akan memastikan Amira tumbuh dengan menghargai kedua budayanya."
Amira tersenyum lebar, "Aku senang kita bisa punya dua rumah, di Berlin dan di Jakarta."
Malam itu, keluarga kecil ini tidur dengan perasaan optimis.
Malam itu, keluarga kecil ini tidur dengan perasaan optimis. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, namun mereka siap menghadapinya bersama-sama.
Minggu-minggu pertama kembali di Berlin dipenuhi dengan penyesuaian. Andi mulai bekerja di proyek barunya, sementara Putri kembali ke rutinitas lamanya di kantor. Amira pun memulai kembali sekolahnya, bertemu dengan teman-teman lamanya.
Namun, ada yang berbeda kali ini. Amira sering bercerita tentang pengalamannya di Jakarta, membagikan kisah-kisah tentang neneknya, makanan Indonesia, dan budaya yang ia pelajari. Teman-temannya terlihat antusias, dan bahkan gurunya meminta Amira untuk membuat presentasi tentang Indonesia di kelas.
Satu malam, saat makan malam, Amira tiba-tiba bertanya, "Papa, Mama, bisakah kita membuat acara Indonesia di rumah? Aku ingin mengundang teman-temanku dan mengenalkan mereka pada budaya kita."
Andi dan Putri saling berpandangan, tersenyum bangga. "Tentu saja, sayang. Itu ide yang bagus," jawab Putri.
Mereka pun mulai merencanakan acara kecil di apartemen mereka. Putri mengajarkan Amira cara membuat beberapa makanan Indonesia sederhana, sementara Andi membantu mendekorasi ruangan dengan ornamen-ornamen khas Indonesia yang mereka bawa dari Jakarta.
Hari acara pun tiba. Teman-teman Amira dan beberapa tetangga datang, terlihat penasaran dengan aroma rempah yang menguar dari dapur. Amira, mengenakan kebaya kecil pemberian neneknya, dengan bangga memperkenalkan makanan dan budaya Indonesia.
Melihat putrinya yang begitu percaya diri dan bangga akan identitas gandanya, Andi dan Putri merasa bahwa keputusan mereka untuk tinggal sementara di Jakarta telah memberikan dampak positif yang luar biasa.
Beberapa bulan berlalu, dan kehidupan di Berlin mulai terasa normal kembali. Namun, ada satu ritual baru dalam keluarga mereka. Setiap minggu, mereka melakukan panggilan video dengan keluarga di Jakarta. Amira selalu menantikan momen ini, bercerita dengan semangat tentang minggunyadi sekolah dalam bahasa Indonesia yang masih fasih.
Suatu malam, setelah panggilan video mingguan mereka, Andi berkata, "Aku punya ide. Bagaimana kalau tahun depan kita mengajak Nenek dan Kakek berlibur bersama ke suatu tempat? Mungkin ke Bali atau tempat lain di Indonesia yang belum pernah kita kunjungi?"
Mata Amira langsung berbinar-binar. "Iya, iya! Aku mau!"
Putri tersenyum lebar. "Itu ide yang brilian, Andi. Kita bisa merencanakannyadari sekarang."
Saat mereka mulai membicarakan rencana liburan ini dengan penuh semangat, Andi dan Putri menyadari bahwa mereka telah berhasil menciptakan keseimbangan yang indah. Mereka telah membangun jembatan antara dua dunia - Berlin dan Jakarta, Jerman dan Indonesia - dan dalam prosesnya, mereka telah memperkuat ikatan keluarga mereka.
Malam itu, saat Amira sudah tertidur, Andi dan Putri duduk di balkon apartemen mereka, memandang kerlap-kerlip lampu kota Berlin.