Jihan yang polos dan baik hati perlu mengumpulkan uang dalam jumlah yang besar untuk membayar tagihan medis ibunya yang sakit parah. Terpaksa oleh situasi, dia menandatangani kontrak pernikahan dengan CEO perusahaan, Shaka. Mereka menjadi suami istri kontrak.
Menghadapi ibu mertua yang tulus dan ramah, Jihan merasa bersalah, sedangkan hubungannya dengan Shaka juga semakin asmara.
Disaat dia bingung harus bagaimana mempertahankan pernikahan palsu ini, mantan pacar yang membuat Shaka terluka tiba-tiba muncul...
Bagaimana kisah perjalanan Jihan selama menjalani pernikahan kontrak tersebut.?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Sepertinya baru kali ini Shaka dibuat sangat jengkel oleh seorang wanita. Dalam kamus hidupnya, tak ada seorang wanita pun yang berani memerintah apalagi menentang perkataannya. Tapi tidak dengan Jihan, wanita yang beberapa minggu lalu dia ajak untuk menikah. Kalau diberi kesempatan untuk mengulang waktu, Shaka pasti lebih memilih salah satu pengagumnya, alih-alih memberikan tawarkan menguntungkan pada Jihan. Dikira penurut, tidak taunya banyak nuntut.
Seperti saat ini, ketika dalam perjalanan menuju kediaman mertuanya. Entah sudah berapa kali Jihan memerintah Shaka agar mampir ke toko buah, toko kue dan minimarket. Shaka jadi greget sendiri. Lama-lama Shaka merasa jadi supir taksi dengan membawa seorang penumpang.
"Habis ini mau minta mampir kemana lagi.? Atau mau keliling Jakarta dulu.?" Sindiran dengan nada datar itu membuat Jihan cemberut.
Dia meletakkan paper bag berisi kue ke jok belakang, lalu memakai seatbelt.
"Pak Shaka kenapa sih marah-marah terus.? Kan tidak lucu masih muda sudah sakit jantung." Gerutu Jihan. 24 jam bersama Shaka selama 3 hari, rasanya sekalipun tidak pernah melihat Shaka tidak marah-marah ataupun ketus.
Shaka melirik tajam.
"Maksud kamu apa.? Kamu berani do'ain saya sakit jantung.?" Ada kekesalan dalam nada bicaranya.
Jihan hanya meringis, menunjukkan deretan giginya tanpa rasa bersalah.
"Saya cuma ngasih tau Pak, bukan,,,_
"Stop.! Kepala saya pusing denger kamu bicara, Jihan. Lebih baik kamu diam." Tegas Shaka memotong ucapan Jihan.
Bibir Jihan mencebik, dia mengalihkan pandangan ke luar jendela dan tidak bicara lagi sesuai perintah Shaka.
...******...
Kedatangan pengantin baru itu di sambut bahagia oleh Mama Dewi dan Juna. Sudah 3 hari ini mereka merasa kehilangan, meski tak pernah putus komunikasi. Rumah mendadak sepi tanpa ada Jihan. Biasanya Jihan akan berdebat dengan Juna, tak jarang sampai berantem karna keisengan Juna. Namun hanya sekedar adu mulut saja, setelah itu kembali akur. Kakak beradik memang kerap seperti itu. Kadang kala mirip Tom and Jerry, tapi gampang rindu kalau berjauhan.
"Dihh,, kamu apa-apaan sih Dek, malu tau." Jihan berusaha melepaskan pelukan Juna.
"Ck, Mba Jihan nggak peka banget. Aku tuh kangen tau nggak." Juna melengos kesal, lalu beralih pada Shaka untuk bersalaman.
"Kangen sama Mba apa kangen uang jajan.?!" Cetus Jihan sembari menaruh barang bawaannya di atas meja ruang tamu.
Juna terkekeh geli, lalu mengangguk.
"Tabungan Juna habis Mba, kemarin buat benerin motor. Mogok lagi motornya." Keluh Juna. Penyakit motor butut ada saja. Tapi masih bersyukur punya kendaraan, hitung-hitung irit ongkos ke kampus yang jaraknya lumayan jauh.
"Ayo duduk Bang." Ajak Juna pada Kakak iparnya.
Shaka dan Jihan kompak menatap Juna karna panggilan untuk Shaka berubah.
"Lebih enak panggil Bang. Kalau Mas, nanti aku dikira istrinya Bang Shaka." Nada mengejek terdengar jelas di telinga Jihan, apalagi tatapan Juna mengarah padanya.
Jihan jadi melotot tajam. Alhasil, Juna mengatupkan kedua tangannya di depan wajah sebagai isyarat minta ampun.
Sementara itu, Gunung es dari kutub urata hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Juna.
"Nggak lucu ya Bang.?" Tanya Juna dengan senyum kikuk. Kalau di beri tugas untuk membuat Shaka tersenyum, rasanya Juna angkat tangan sekaligus angkat kaki.
"Aku ke kamar dulu Mba, lupa belum save tugas." Juna buru-buru kabur dari suasana dingin dan kaku di ruang tamu.
Bersamaan dengan Juna yang masuk ke kamarnya, Mama Dewi datang dari arah dapur, membawa nampan berisi teh hangat untuk anak dan menantunya.
"Mama jangan capek-capek, Jihan bisa ambil sendiri kalau mau minum, nggak usah dibikin." Jihan mengambil alih nampan dari tangan Mamanya.
"Nggak, nggak capek nak. Lagian kamu kan sudah ikut suami, kapan lagi Mama buatin kamu minum. Biasanya kamu yang buatin Mama." Mama Dewi lantas duduk di samping Jihan.
"Ayo diminum dulu Nak Shaka, mumpung masih anget."
"Makasih."
Shaka mengangguk singkat dan menyeruput teh buatan Mama mertuanya.
"Kalian mau langsung punya anak, atau di tunda dulu.?" Pertanyaan random Mama Dewi, nyaris membuat Shaka menyemburkan teh yang baru masuk ke mulutnya. Untungnya dia cepat-cepat menelan tehnya, meski akibatnya harus tersedak.
"Uhhukk,, uhhukk,," Shaka meraih tisu untuk mengelap mulutnya.
"Hati-hati Nak Shaka." Mama Dewi kelihatan panik, tidak seperti Jihan yang kelihatan santai. Karna sudah tau penyebab Shaka tersedak.
"Tehnya terlalu panas." Ucap Shaka beralasan.
"Sebentar, Mama ambilkan air putih dulu." Mama Dewi sudah beranjak ke dapur, padahal Jihan melarangnya.
"Kalau ada pertanyaan seperti itu lagi, kamu saja yang jawab. Saya nggak mau pusing." Seloroh Shaka seenaknya.
Jihan melotot ingin protes, tapi keburu Mamanya datang membawa air putih untuk Shaka.
Dengan terpaksa, Jihan akhirnya menjelaskan pada Mamanya kalau dia dan Shaka belum punya rencana soal memiliki anak. Untungnya Mama Dewi cukup pengertian, jadi menyerahkan semua keputusan pada anak dan menantunya yang menjalani pernikahan.
...******...
Tadinya Shaka ingin buru-buru pulang, tapi di tahan oleh Mama mertuanya. Terlebih saat melihat ibu dan anak sedang melepas rindu, seketika terbesit rasa iba di hati Shaka yang sudah lama beku.
Kini pria itu sedang rebahan di kamar Jihan. Karna tidak tau harus bersikap seperti apa dengan Mertua dan adik iparnya. Dia tidak pintar basa-basi, apalagi merespon obrolan yang menurutnya jauh dari kata penting.
"Kamu sama nak Shaka sebenarnya saling cinta atau nggak, Jihan.?" Mama Dewi berkata lirih.
Jihan terhenyak, firasat seorang Ibu tidak bisa dikalahkan oleh sandiwara, se totalitas apapun sandiwara yang dilakukan Jihan dan Shaka.
Jihan tersenyum untuk mengurai rasa gugupnya.
"Mama ini bicara apa.? Mana mungkin kami menikah kalau nggak saling cinta. Menikah itu sekali seumur hidup Mah, bukan sehari dua hari. Tentu saja aku sama Mas Shaka saling mencintai." Jihan menjelaskan dengan tenang. Berusaha keras agar Mamanya percaya.
"Syukur kalau gitu. Berarti cuma prasangka Mama saja yang buruk." Terlihat sekali Mama Dewi bernafas lega setelah mendengar penjelasan Jihan.
Walaupun hati kecilnya masih merasakan kejanggalan, namun Mama Dewi lebih mempercayai ucapan putrinya. Dan mendoakan yang terbaik untuk rumah tangga mereka.
...*******...
Jihan masuk kamar pukul 1 siang. Posisi Shaka tidak berubah sejak Jihan ingin membangunkan Shaka 1 jam yang lalu. Bahkan suara dering ponselnya tidak mengusik tidur nyenyaknya sama sekali. Jadi Jihan terpaksa menghampiri Shaka untuk membangunkannya.
"Pak,, Pak Shaka. Bangun Pak." Jihan menggoncang lengan Shaka sambil memanggil lirih, takutnya ada yang mendengar dia memanggil Pak. Bisa-bisa makin dicurigai Mamanya.
"Iish..! Tidur apa pingsan.!" Jihan mendengus jengkel.
Dia akhirnya berinisiatif menerima panggilan karna berkali-kali menelfon, takutnya ada hal penting yang harus dibicarakan dengan Shaka.
Jihan sempat ragu menjawab telfon, sebab panggilan dari nomor tidak di kenal. Tapi karna terus menelfon, Jihan tetap mengangkatnya.
"Ar,, aku akan kembali. Aku sudah siap mewujudkan mimpi kita. Tunggu aku pulang,,"
Tut.!!
Jihan mematikan sambungan telfonnya.
"Ternyata salah sambung." Gumam Jihan tanpa Shaka ada pikiran aneh-aneh. Dia meletakkan ponsel ditempat semula dan kembali membangunkan Shaka karna pria itu sudah melewatkan makan siangnya.