“Bang*sat! Aku tak sudi seperti ini!” Teriakan seorang wanita menggema dalam sebuah rungan sunyi yang lembab.
Kedua bola matanya nampak mengeluarkan darah, bau amis menyengat sebagai bumbu pelengkap bertapa mengerikannya tempat tersebut.
Sang Bintang Fajar kini nampak berlumuran darah, dialah Iris. Seorang Putri dari keluarga Kaisar yang saat ini menjabat.
Dia menikah atas dasar cinta, namun cintanya tak semanis dongeng. Kini ‘cinta’ itu telah merampas segala yang dia miliki di dunia ini. Seluruh tubuhnya di pemuhi luka, tanpa mata, dengan lidah terpotong dan anak yang baru dia lahirkan, kini akan di bunuh.
Bagaimana jadinya bila Iris kembali ke masa dia masih bersama keluarganya? Simak kisah lengkapnya sekarang juga!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
“Mengapa anda memiliki ide seperti ini untuk keluar dari Istana?” Tanya Iris bingung, dia tak pernah melihat seseorang berpakaian seaneh itu dalam buku yang sering dia baca.
“Ehem, begini. Alasannya sangat mudah, para pembunuh biasanya akan waspada pada seseorang yang misterius. Sehingga mereka akan waspada saat melihat kita Yang Mulia.” Jelas Black.
“Waspada?” Tanya Iris sedikit bingung, dia sebenarnya tidak khawatir bila ada orang yang mengikuti mereka. Dia hanya kagum akan Black yang mengetahui kenyamanan yang sesungguhnya saat berpakaian.
“Ah, hanya persiapan saja. Lagi pula hanya orang yang cari mati saja yang ingin bertemu malaikat pencabut nyawa bukan?” Kekeh Black, Iris juga ikut terkekeh.
“Tempat apa saja yang ingin anda datangi?” Tanya black, Iris membuka sebuah catatan kecil. Di dalamnya dia telah menulis beberapa nama tempat rekomendasi dari sang ibunda, Kakak dan beberapa pelayannya.
“Yang pertama kita ke toko buku dulu, menurut Kak Aslan di sana banyak buku menarik.” Tunjuk Iris pada salah satu toko buku tua di jajaran pertokoan Ibu kota.
“Pilihan yang bijak, mari.” Ajak Black, keduanya masuk ke dalam toko itu. Suara bel berbunyi pertanda bila mereka telah membuka pintu.
“Selamat datang pengunjung yang terhormat, ada yang dapat saya bantu?” Tanya seorang pria tua dari arah lobi.
Black memberikan isyarat pada Iris, Iris mengangguk dan mulai berjalan masuk ke dalam toko buku tersebut.
“Sepertinya kekasih anda sangat tertarik dengan buku Tuan, bagaimana dengan anda?” Tanya penjaga toko tersebut pada Black yang hanya memperhatikan Iris yang nampak girang.
“Aku memang tertarik dengan tempat ini Pak Tua, apa anda mau menjualnya?” Tanya Black tanpa basa basi lagi.
“Hahah, maafkan saya atas kelancangan saya. Namun sepertinya anda harus menjaga ucapan anda di wilayah ini, jajaran toko ini adalah milik Duke Latvan. Bila anda di dengar oleh salah satu penjaganya anda dapat masuk penjara.” Ucap penjaga toko buku tersebut, Black mengangkat sudut bibirnya.
“Aku juga pernah mendengar mengenai pria itu, dia juga sedang menjadi pembicaraan panas di Ibu Kota hari ini. Tapi, bukankah dia kejam?” Tanya Black, padahal dia tengah mengutarakan dirinya sendiri kala itu.
“Kejam? Hahaha, kejam itu hanya rumor palsu saja Tuan. Dia adalah sosok yang baik hati pada orang tua seperti ku, dia juga sosok yang melindungi kami semua dengan menempatkan para penjaganya di sekitar kami.” Jujur penjual buku tersebut, Black mengangguk.
“Terima kasih atas kejujuran anda, rahasiakan kedatangan ku ya?” Pinta Black mengeluarkan sebuah tanda pengenal berupa segel Duke Latvan.
“T-Tuan Duke!” Pekik Penjaga toko tersebut, Black tersenyum dan meminta penjaga toko itu untuk menjaga rahasia tersebut.
“Suatu hari, bila ada seseorang yang datang ke tempat ini dan memperlihatkan segel Latvan, maka perlakukan dia dengan baik.” Ucap Black, penjaga toko buku mengangguk beberapa kali.
“Tentu saja Tuan, saya akan melayani anda dengan baik.” Ucapnya patuh, Black hanya tersenyum dan mendekati Iris yang nampak termenung menatap sebuah buku.
“Ada apa?” Tanya Black, tanpa sengaja dia melihat sebuah buku sihir yang mengatakan mengenai ramalan sang manusia abadi.
“Yang Mulia, itu sihir hitam.” Bisik Black menjelaskan di bagian buku tersebut. Meski tidak di jelaskan secara rinci, karena yang berada di tangan Iris adalah buku sejarah mengenai sihir hitam hingga tak di jelaskan rinci, seperti proses pembangkitan dan mantranya.
“Iya, saya tahu. Bila ada wanita suci, apa anda akan memilih untuk jadi abadi Black?” Tanya Iris, Black sadar arah mana yang kini tangah di bicarakan Putri Iris.
“Hidup singkat atau panjang tak akan ada bedanya bila tidak berarti, menurut saya hidup singkat akan lebih berharga saat menikmatinya dengan baik hingga tak ada akhir untuk penyesalan.” Ucap Black, Iris terdiam sejenak.
“Seandainya, ada wanita suci di dekat anda. Apa yang akan anda lakukan?” Iris kini ingin mengetahui pandangan Black mengenai manusia suci itu.
“Saya akan bersyukur, karena saat anda terluka saya akan meminta bantuan wanita suci itu untuk mengobati anda. Anda juga tidak pandai menutupi sesuatu Yang Mulia, jangan berbicara hal sensitif seperti ini di hadapan orang lain.” Ucap Black, Iris terperanjat kaget mendapat teguran itu.
“Ah, maaf Black. Apa anda juga sudah tahu?” Tanya Iris tersenyum kikuk, Black terkekeh.
“Menurut anda?” Tanya balik Black, Iris kini nampak bertanya-tanya sendiri.
Iris dalam tanda tanya besarnya mulai membaca beberapa buku dan membeli beberapa yang menurutnya menarik, hingga berbelanja buku usai dan selanjutnya mereka berencana membeli bekal untuk Black.
Pada awalnya Iris meminta Black agar meminta bantuan dirinya untuk persiapan para kesatria lainnya, namun Black menolak. Karena dari mulai senjata sampai dengan makanan telah di atur oleh Putra Mahkota.
“Apa makanan yang anda sukai Black?” Tanya Iris, Black terdiam mulai memikirkan.
“Saya suka Bakso.” Jawab Black jujur, meski di dunia ini tak ada Bakso namun Black saat kecil pernah berusaha membuatnya dan berhasil. Jadi saat ini makanan yang di sukainya tetaplah Bakso.
“Bakso? Makanan apa itu?” Tanya Iris bingung, Black mulai berfikir untuk menjelaskan.
“Bakso adalah makanan yang terbuat dari daging ayam atau sapi yang di giling bersama dengan tepung dan bumbu, lalu di rebus.” Jawab Black, Iris hanya ber oh ria kala itu.
Iris tak tau harus mempersiapkan apa untuk Black, alhasil mereka hanya berjalan-jalan di sekitaran ibu kota tanpa tahu arah. Black yang sudah mulai menyadari kebingungan Iris hanya tersenyum dan mengikuti langkah gadis itu. Sebenarnya meski Iris tak melakukan persiapan sekalipun, kepala pelayan di kediaman Duke Latvan pasti telah mempersiapkannya dengan baik.
“Apa anda lapar?” Tanya Black, saat waktu menunjukkan sudah siang. Iris mengangguk pelan, namun kali ini mereka telah sampai di dekat sebuah jalan yang sunyi dan seram.
“Ini tempat apa?” Bisik Iris, Black melihat sekeliling dan tersenyum pada orang-orang di sana. Semua orang ikut tersenyum dan kecanggungan yang tercipta menjadi buyar seketika.
“Orang-orang di sini sangat sensitif dengan orang asing. Beberapa bulan lalu terjadi penculikan pada para gadis, sehingga membuat orang-orang di sini menjadi waspada.” Ucap Black, Iris mengangguk faham.
Black membuka penutup kepalanya sebagai penghormatan, para warga-pun akhirnya menyambut mereka dengan baik tanpa rasa canggung seperti sebelumnya. Iris sendiri membuka penutup kepalanya namun masih mengenakan cadar.
“Selamat datang Tuan, ah maaf sebelumnya. Sebaiknya Nona ini tetap seperti sebelumnya, jangan perlihatkan identitas anda sebagai wanita di wilayah ini karena sangat berbahaya.” Tegur salah seorang warga yang sudah nampak sepuh.
“B-baiklah, sebenarnya apa yang terjadi di sini?” Tanya Iris, seorang pria yang merupakan penjaga kedai sederhana pinggir jalan itu kembali pada warung kecilnya.
“Terjadi kembali penculikan masal para gadis baru-baru ini, kami telah melaporkannya pada pihak berwajib. Namun Duke Kaiter belum melaporkannya pada pihak Istana.” Keluh orang tua tersebut, Iris terdiam sejenak.
“Kemana para gadis di sini pada akhirnya?” Tanya Iris melihat sekeliling, di mana dia tak melihat seorang gadis-pun di tempat itu. Kecuali wanita muda yang sudah bersuami saja.
“Kami harus menikahkan mereka sejak dini, atau mengirimkan mereka ke luar dari wilayah ini. Untuk beberapa orang yang tak memiliki dana yang cukup akan lebih memilih untuk mengirim anak mereka menjadi pelayan di rumah bangsawan.” Jujur pria tua itu, Iris terdiam tak sanggup berkata-kata.