Bagaimana perasaanmu jika teman kecilmu yang dahulunya cupu, kini menjadi pria tampan, terlebih lagi ia adalah seorang CEO di tempatmu bekerja?
Zanya andrea adalah seorang karyawan kontrak, ia terpilih menjadi asisten Marlon, sang CEO, yang belum pernah ia lihat wajahnya.
Betapa terkejutnya Zanya, karena ternyata Marlon adalah Hendika, teman kecilnya semasa SMP. Kenyataan bahwa Marlon tidak mengingatnya, membuat Zanya bertanya-tanya, apa yang terjadi sehingga Hendika berganti nama, dan kehilangan kenangannya semasa SMP.
Bekerja dengan Marlon membuat Zanya bertemu ayah yang telah meninggalkan dirinya sejak kecil.
Di perusahaan itu Zanya juga bertemu dengan Razka, mantan kekasihnya yang ternyata juga bekerja di sana dan merupakan karyawan favorit Marlon.
Pertemuannya dengan Marlon yang cukup intens, membuat benih-benih rasa suka mulai bertebaran dan perlahan berubah jadi cinta.
Mampukah Zanya mengendalikan perasaannya?
Yuk, ikuti kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velvet Alyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malang Tak Dapat Ditolak, Mujur Tak Dapat Diraih
Zanya segera memalingkan wajahnya, kembali memperhatikan pembicaraan Dwi. Hari itu Dwi memberi arahan kepada kedua asisten Marlon, agar mereka siap ketika Dwi melepas mereka berdua.
Pukul 17:00 Zanya dan Radit kembali ke wisma tanpa Marlon, karena Marlon masih ada hal yang harus dibahas bersama Dwi. Radit membuka lift menggunakan kartu akses miliknya, kemudian mereka masuk bersama-sama.
Zanya dan Radit saling membisu, mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing, mereka mencoba menghafal semua yang tadi Dwi arahkan kepada mereka.
Sampai di lantai 20, Zanya langsung menuju kamarnya.
"Dit! Aku masuk, ya!" Zanya berpamitan pada Radit, dan Radit menjawab dengan anggukan.
Zanya memasuki wismanya, melepas sepatu dan menyimpan sepatunya di rak yang sudah tersedia. Kemudian ia langsung menuju kamarnya, dan merebahkan diri di kasur. Tiba-tiba ia kembali terpikirkan tentang Marlon, Zanya pun bangkit, lalu menyalakan laptopnya.
Zanya mencari foto-foto lamanya, berusaha menemukan salah satu foto Hendika. Itu dia! Zanya memperbesar fotonya bersama Hendika, kemudian Zanya memperhatikan detail wajah Hendika di foto itu. Ya, itu adalah Marlon versi remaja, tidak ada yang berubah selain tinggi badannya, serta bentuk wajah yang semakin tegas.
Zanya terkejut oleh dering ponselnya, Zanya buru-buru melihat siapa yang menelepon. Ternyata Marlon meneleponnya.
"Temui aku di kafetaria sekarang!" Perintah Marlon.
"Siap, Pak!" jawab Zanya, lalu ia berlari keluar kamarnya setelah mengambil tablet dari atas meja.
Sampai di kafetaria kantor yang berada di lantai 1, Zanya celingukan mencari Marlon, ia mengedarkan pandangannya, kemudian melihat Marlon duduk di dekat jendela, Zanya segera menghampirinya.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Tanya Zanya.
Marlon menatap Zanya dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Memang kamu pikir kamu mau kemana dengan alas kaki seperti itu?" Tunjuk marlon ke arah kaki Zanya.
Zanya menunduk mengikuti arah telunjuk Marlon, lalu mendapati kakinya yang masih memakai sendal kamar berbulu dengan bentuk kelinci hadiah dari Khaifa. Zanya meringis, dalam hati ia merutuki diri sendiri, mengapa ia bisa lupa mengganti alas kakinya.
"Maaf, Pak..." Hanya itu yang Zanya ucapkan.
Marlon berdiri, mengambil tasnya dari atas meja, kemudian berjalan melewati Zanya yang masih menunduk karena malu.
"Ayo, ikut aku!" Perintah Marlon.
Zanya berjalan mengikuti Marlon sambil menghindar dari pandangan orang di sekitarnya. Pantas saja tadi banyak orang yang tersenyum saat menatapnya, ternyata sendal bentuk kelinci berwarna pink itulah penyebabnya.
Zanya menyusul Marlon, dan berjalan di sampingnya.
"Pak, tolong beri saya waktu 5 menit untuk mengganti alas kaki saya." Pintanya.
"Aku sudah tidak ada waktu untuk hal remeh seperti itu. Salah kamu sendiri ceroboh. Seharusnya kamu lebih teliti!" Ujar Marlon dingin.
"Kalau boleh tau, kita mau kemana ya, Pak? Saya lihat di agenda Bapak tidak ada janji temu atau acara apapun hari ini." Zanya berusaha mengimbangi langkah kaki Marlon yang ia rasa terlalu cepat, padahal kaki marlon yang panjang, membuat langkahnya menjadi lebar-lebar.
"Kamu ikutin aja. Ini urusan di luar Great Corps, maka dari itu kamu yang aku bawa ikut serta. Dan kedepannya, akan ada banyak acara atau janji temu yang tidak terdaftar di jadwal harianku." Jawab Marlon sambil terus berjalan. Dan Zanya mengikutinya dengan wajah nelangsa.
***
Zanya membuka kunci pintu mobil dengan smart key dari jarak jauh. Namun belum sempat ia memegang gagang pintu mobil, Marlon sudah mendahuluinya membuka pintu kursi supir kemudian langsung masuk dan menutup pintu. Zanya yang kebingungan menjadi serba salah. Kemudian Marlon membuka kaca jendela.
"Ayo, cepat naik! Kita gak punya waktu banyak." Ujarnya, dan langsung menutup kaca kembali.
Zanya berlari memutar, membuka pintu belakang dan masuk.
"Kamu anggap aku supir kamu?" Marlon bicara dengan nada kesal.
Zanya segera keluar dari mobil, kemudian naik lagi melalui pintu depan dan duduk di jok penumpang di samping Marlon. "Maaf, Pak..." Ucapnya.
"Ternyata kamu ini agak lamban, ya? Tidak secerdas yang aku kira." ujar Marlon sambil menyalakan mesin mobil.
Zanya hanya diam, dalam hatinya ia sangat kesal, namun ia harus menahannya. Sabar... demi gaji dua digit, ucap Zanya dalam hati.
Apakah orang ini benar-benar Hendika? Setahu Zanya dulu Hendika adalah anak yang manis, yang selalu bicara dengan lemah lembut. Ah persetan dengan itu, mulai saat ini, Zanya memutuskan untuk tidak perduli lagi apakah orang yang ada di sampingnya ini Hendika atau bukan. Satu hal yang pasti, orang ini adalah atasan yang menyebalkan.
"Pak, kenapa tidak saya saja yang menyetir? Bukannya kata Pak Dwi, saya dan Radit akan bergantian menyetir untuk bapak?" Tanya Zanya.
Marlon menoleh kepada Zanya sekilas.
"Aku gak yakin kalau cewek yang nyetir untukku. Apalagi kamu tipe yang ceroboh, bisa-bisa nyawaku terancam." Ujarnya cuek.
Zanya menyesali pertanyaan yang keluar dari mulutnya. Lelaki satu ini memang sangat ahli dalam mengejek dan meremehkan, pikir Zanya.
Marlon memarkir mobil di depan sebuah toko sepatu, Zanya sangat tahu toko sepatu ini, ini adalah salah satu brand mahal yang pelanggannya adalah orang-orang berduit.
"Ayo, cepat turun!" Ujar Marlon, kemudian keluar dari mobil.
Zanya segera mengikuti Marlon, ia takut disebut lamban lagi, sambil berjalan ia mengunci mobil kembali. Marlon memasuki toko sepatu itu. Zanya berdecih dalam hati, Marlon memburu-buru dirinya untuk cepat hanya untuk mendatangi toko sepatu? Wah, keterlaluan sekali, pikir Zanya.
Di dalam toko, Zanya merasa seperti orang konyol, berdiri di sebuah toko sepatu, dikelilingi sepatu-sepatu cantik dan mahal, sambil memakai sendal kamar berbentuk kelinci.
"Coba ini!" suara Marlon mengejutkan Zanya. Dilihatnya Marlon memegang sepasang sepatu wanita dengan hak rendah.
"Pakai sepatu yang haknya tidak terlalu tinggi, karena kamu akan sering jalan." Ujar marlon sambil menyerahkan sepatu yang ia pegang.
Zanya menerima sepatu itu sambil terbengong-bengong.
"Ayo, cepat! atau kamu akan kemana-mana dengan sendal kelinci itu!" Marlon memaksa.
Zanya segera mencoba sepatu itu, ia agak terkejut karena ternyata sepatu itu sangat nyaman. Selama ini ia tidak pernah tahu bagaimana rasanya memakai barang mahal, ternyata memang benar yang orang bilang, ada harga ada kualitas. Zanya juga menyukai desain sepatu itu, terlihat manis menghias kakinya.
"Ukurannya udah pas kan?" Tanya Marlon.
Zanya mengangguk sambil tersipu, ia merasa seperti Cinderela yang dipakaikan sepatu oleh pangeran. Walau Marlon tidak memakaikan sepatu itu, tapi dengan memilihkan sepatu yang ukurannya pas, membuat Zanya merasa senang.
"Kalau udah cocok, cepat bayar pakai kartu kredit yang ada sama kamu. Kita gak punya waktu." Titah Marlon sambil melihat jam tangannya.
Zanya segera mengurus pembayaran di kasir, ia agak terkejut dengan harga sepatu yang Marlon pilih, sepasang sepatu itu senilai setengah gajinya sebagai asisten Marlon. Namun ia tak perduli, karena Marlon yang memberikannya, Zanya merasa beruntung karena ia lupa mengganti sepatu tadi, ia malah mendapatkan sepatu mahal secara cuma-cuma. Selesai membayar, ia segera mengganti sendalnya dengan sepatu itu, dan sendalnya ia simpan di kantong yang diberikan oleh kasir toko.
Marlon kembali menyetir, sementara Zanya terus menatap sepatu yang ia pakai, ia sangat senang sampai ingin berteriak. Bagaimana tidak? Selama ini Zanya bekerja dengan gaji yang hanya cukup untuk hidup sehari-hari, dan mencicil hutang, tiba-tiba ia memiliki sepatu dengan harga empat kali gaji sebelumnya. Zanya tersenyum-senyum sendiri sambil menatap sepatu itu.
"Oh iya, sepatu itu nantinya akan dipotong dari gaji kamu." Celetuk Marlon, membuat hilangnya senyuman di bibir Zanya.
Zanya tercengang, bagaimana mungkin ada seseorang dengan kepribadian seburuk ini yang seenaknya memotong gaji bawahannya untuk sepasang sepatu yang ia paksakan. Zanya melengos, ia kira akan mendapat atasan yang lebih baik dari Andi, namun ternyata ia justru mendapat yang lebih parah.
Kelamaan Up gua sedot Ubun² lu thor /Facepalm/