Malam itu, kabut tebal menyelimuti sebuah desa terpencil di lereng gunung.
Suara angin berdesir membawa hawa dingin yang menusuk tulang.
Di tengah sunyi, langkah empat orang terlihat menuju sebuah bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan.
Nur, seorang editor sekaligus kameraman, mengangkat kameranya, siap menangkap setiap detik keangkeran yang tersembunyi di balik bayang-bayang.
Di sampingnya, Pujo, pria dengan kemampuan supranatural, merasakan getaran aneh sejak pertama kali mereka menjejakkan kaki di tempat itu.
"Ini bukan tempat biasa," gumamnya dengan nada serius.
Ustad Eddy, seorang religius dan spiritualis, melangkah mantap dengan tasbih di tangannya, siap mengusir kegelapan dengan doa-doanya.
Sementara Tri, yang dikenal sebagai mediator, berdiri di antara mereka, mempersiapkan dirinya untuk berhadapan dengan entitas dari dunia lain.
Mereka bukan sekadar pemburu tempat angker, tetapi penjelajah alam gaib yang menyuguhkan kisah-kisah misteri dan horor yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F3rdy 25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENGUNGKAP TABIR PESUGIHAN BUTO IJO
**Bab 21: Mengungkap Tabir Pesugihan Buto Ijo**
Malam itu, angin berhembus kencang di lereng bukit, seakan-akan memperingatkan Nur dan timnya bahwa apa yang akan mereka hadapi adalah sesuatu yang jauh lebih gelap dari sebelumnya. Langit tampak berwarna merah samar, pertanda bahwa malam ini bukan malam yang biasa. Setelah pertarungan sengit dengan Leak, mereka menerima petunjuk baru dari kuntilanak merah tentang makhluk lain yang menguasai desa ini, makhluk yang berhubungan dengan ilmu hitam pesugihan.
"Buto Ijo," bisik Ustad Eddy dengan mata terpejam, mencoba merasakan energi yang ada di sekitar mereka. "Ini bukan hanya legenda. Kita sedang berhadapan dengan kekuatan yang digunakan oleh manusia untuk mendapatkan kekayaan dengan cara terlarang."
Nur dan timnya sudah mendengar desas-desus tentang pesugihan Buto Ijo sejak lama. Di Jawa, Buto Ijo dikenal sebagai makhluk gaib bertubuh raksasa dengan kulit hijau yang menakutkan. Orang-orang yang haus akan kekayaan sering kali melakukan perjanjian dengan makhluk ini, memberikan persembahan tertentu sebagai imbalan untuk kekayaan duniawi yang cepat. Namun, seperti halnya perjanjian dengan makhluk gaib lainnya, selalu ada harga yang harus dibayar, dan harga itu sering kali jauh lebih tinggi daripada yang diharapkan.
Mereka memutuskan untuk pergi ke desa terpencil di kaki gunung, tempat di mana pesugihan Buto Ijo dilaporkan sering terjadi. Desa itu, menurut cerita yang mereka dengar, dulunya adalah desa makmur, tetapi dalam beberapa dekade terakhir, banyak warganya yang mendadak kaya, sementara yang lain menderita dalam kemiskinan dan ketakutan. Beberapa penduduk hilang secara misterius, dan desas-desus mulai beredar bahwa mereka menjadi korban pesugihan.
Setibanya di desa itu, suasana terasa mencekam. Rumah-rumah berdiri dengan arsitektur kuno, tetapi di beberapa sudut desa, tampak jelas perbedaan mencolok. Ada rumah yang mewah, dengan gerbang besar dan hiasan emas, sementara di sisi lain, rumah-rumah reyot berdiri kumuh, tak terawat. Ketimpangan itu begitu nyata.
“Ini seperti dua dunia yang berbeda dalam satu desa,” kata Tri sambil memperhatikan sekeliling.
“Kau bisa mencium bau ketamakan di sini,” Pujo bergumam dengan suara pelan, seolah bisa merasakan kehadiran kekuatan jahat yang menguasai desa tersebut.
Seorang penduduk lokal mendekati mereka dengan tatapan waspada. “Apa yang kalian lakukan di sini? Desa ini bukan tempat yang aman bagi orang luar,” katanya dengan nada memperingatkan.
“Kami datang untuk mencari kebenaran,” jawab Ustad Eddy dengan tenang. “Kami mendengar tentang pesugihan Buto Ijo yang menghantui desa ini. Kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Pria itu terdiam sejenak sebelum menolehkan pandangannya ke rumah-rumah megah di ujung desa. “Kalian harus berhati-hati. Mereka yang kaya di sini bukan hanya kaya karena kerja keras. Mereka telah menjual jiwa mereka kepada Buto Ijo, dan sekarang desa ini terkutuk. Setiap malam, terdengar suara tangisan di hutan. Banyak yang hilang, dan mereka yang tidak hilang hidup dalam ketakutan.”
Nur merasa getaran dingin menjalar di punggungnya. “Di mana kami bisa menemukan Buto Ijo?” tanyanya.
Pria itu menatap mereka tajam. “Buto Ijo bersembunyi di balik hutan larangan, di sebuah gua yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang memiliki niat jahat. Jika kalian pergi ke sana, bersiaplah. Banyak yang pergi dan tidak pernah kembali.”
Mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka ke hutan larangan, meskipun hati mereka penuh dengan keraguan. Perjalanan menuju gua terasa semakin berat seiring dengan kabut tebal yang mulai turun. Suara-suara aneh mulai terdengar dari pepohonan, seakan-akan hutan itu sendiri hidup dan mencoba menghalangi langkah mereka.
Sesampainya di gua, mereka disambut oleh pemandangan yang menyeramkan. Pintu gua dihiasi oleh patung-patung kecil yang menyerupai raksasa dengan wajah bengis. Nur merasa ngeri membayangkan bagaimana orang-orang bisa begitu putus asa hingga rela melakukan perjanjian dengan makhluk jahat hanya untuk mendapatkan kekayaan.
Mereka melangkah masuk ke dalam gua dengan hati-hati. Di dalam, cahaya obor mereka memantulkan bayangan mengerikan di dinding gua yang penuh dengan ukiran-ukiran kuno. Ukiran-ukiran itu menggambarkan makhluk besar dengan tubuh hijau, menggenggam manusia kecil di tangannya, seolah-olah menggambarkan dominasi Buto Ijo terhadap manusia.
Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar dari dalam gua. Mereka berhenti, saling bertukar pandang dengan rasa waspada. Dari kegelapan, muncul sosok Buto Ijo, persis seperti yang digambarkan dalam legenda. Tubuhnya besar dan berotot, kulitnya berwarna hijau tua, dan matanya bersinar merah menyala.
“Siapa yang berani masuk ke tempatku?” suara Buto Ijo menggema di seluruh gua, menciptakan getaran di tanah di bawah kaki mereka.
“Kami datang untuk menghentikanmu,” Ustad Eddy berbicara dengan tegas, meskipun ketakutan jelas terlihat di wajahnya. “Kau telah merusak desa ini dan mengambil jiwa-jiwa tak berdosa. Sudah waktunya kau pergi.”
Buto Ijo tertawa keras, suara tawanya menggema di seluruh ruangan gua. “Kalian manusia bodoh! Kalian pikir bisa menghentikanku? Aku sudah ada sejak ratusan tahun, dan kekayaanku tidak bisa dihentikan begitu saja.”
Nur dan timnya bersiap untuk melawan, tetapi mereka tahu bahwa Buto Ijo bukanlah musuh yang mudah. Pujo mulai membaca mantra, mencoba memusatkan energi spiritual untuk melawan kekuatan jahat itu. Ustad Eddy merapal doa-doa suci, sementara Tri mengambil posisi untuk melindungi yang lain jika terjadi serangan.
Pertarungan berlangsung sengit. Buto Ijo mengayunkan lengannya yang besar, menciptakan angin kencang yang hampir membuat mereka terlempar. Namun, Pujo dan Ustad Eddy bekerja sama, menggunakan kekuatan spiritual mereka untuk melindungi tim. Setiap kali Buto Ijo mencoba menyerang, mereka berhasil memblokirnya dengan perisai energi yang mereka ciptakan.
Namun, semakin lama, Buto Ijo semakin kuat. Nur menyadari bahwa mereka tidak bisa terus bertahan seperti ini. “Kita harus menemukan cara untuk menghentikannya,” kata Nur dengan napas terengah-engah.
“Tunggu!” Tri berteriak. “Pesugihan! Mereka yang melakukan perjanjian dengan Buto Ijo pasti meninggalkan sesuatu di sini sebagai persembahan. Kita harus menemukan benda-benda itu dan menghancurkannya!”
Mereka segera berpencar, mencari di sekitar gua benda-benda yang mungkin menjadi pusat kekuatan Buto Ijo. Tidak lama kemudian, Nur menemukan sebuah peti kecil yang tersembunyi di sudut gua. Di dalamnya, terdapat beberapa benda aneh: boneka, uang kertas, dan perhiasan yang tampak sangat kuno.
“Ini dia!” teriak Nur. “Ini adalah persembahan yang mereka buat untuk pesugihan. Kita harus menghancurkannya!”
Ustad Eddy mengambil alih. Dengan doa yang kuat dan penuh khusyuk, dia mulai merapalkan mantra untuk menghancurkan persembahan itu. Seketika, Buto Ijo mengerang kesakitan, tubuhnya mulai gemetar dan melemah. Setiap kali doa itu diucapkan, tubuh Buto Ijo tampak semakin lemah, hingga akhirnya, dengan teriakan keras, dia menghilang menjadi debu, tersapu oleh angin kencang.
Suasana gua tiba-tiba menjadi tenang, seolah-olah energi jahat yang ada di tempat itu telah menghilang. Nur dan timnya berdiri terdiam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Mereka telah berhasil menghancurkan Buto Ijo dan memutuskan rantai pesugihan yang mengikat desa tersebut.
Namun, mereka tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai. Pesugihan Buto Ijo hanyalah salah satu dari banyak rahasia gelap yang masih tersembunyi di berbagai desa di Indonesia. Masih banyak makhluk gaib dan kekuatan jahat lainnya yang menunggu untuk diungkap.
“Ini baru permulaan,” kata Nur sambil menatap jauh ke depan. “Masih banyak yang harus kita pelajari dan lawan.”
Mereka meninggalkan gua dengan perasaan lega, tetapi juga dengan kewaspadaan yang lebih besar. Dunia gaib selalu penuh misteri, dan mereka tahu bahwa setiap langkah mereka membawa mereka semakin dekat dengan kebenaran, tetapi juga semakin dalam ke dalam kegelapan.