Megha Anantasya, gadis ceria yang terjebak dalam cinta sepihak pada Bima Dirgantara, berjuang melawan penolakan dan dinginnya hati pria yang dicintainya. Meskipun usaha dan harapannya tak pernah padam, semua usaha Megha selalu berakhir dengan patah hati. Namun, saat mereka kembali bertemu di kampus, Megha menyimpan rahasia kelam yang mengancam untuk merusak segalanya. Ketika perasaan Bima mulai beralih, kegelapan dari masa lalu Megha muncul, mengguncang fondasi hubungan mereka. Di tengah ketidakpastian, Megha menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan Bima harus berjuang melawan penyesalan yang datang terlambat. Ketika semua harapan tampak sirna, cinta mereka terjebak dalam tragedi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban: Apakah cinta cukup untuk mengalahkan takdir yang kejam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siscaatann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TEMAN YANG BERHARGA
Hari-hari setelah pertemuan itu bikin aku merasa lebih optimis, tapi di sisi lain, tetap ada rasa ragu yang menggelayuti pikiran. Rina dan temen-temenku, yang udah tahu tentang situasi antara aku dan Bima, selalu siap sedia buat dukung aku. Merekalah yang bikin aku tetap semangat meskipun kadang aku masih merasa bingung dan cemas.
Hari itu, aku lagi nongkrong di kafe kampus bareng Rina, Kiki, dan Dika. Suasana kafe yang cozy bikin kita semua jadi santai. “Meg, lo harus cerita sama kita tentang Bima! Gimana kabarnya? Apa lo udah jadian?” tanya Kiki, yang selalu penuh semangat. Rina langsung nyeletuk, “Hah? Belum juga, Ki. Meg masih meraba-raba, kan?”
“Iya, bener. Masih kayak perahu di lautan yang belum punya arah,” jawabku sambil ngelirik Bima yang lagi duduk di meja sebelah. Bima masih terlihat serius sama temen-temennya, bikin aku makin bingung. Kenapa dia bisa segitu dinginnya?
Dika, yang biasanya lebih kalem, tiba-tiba nyambung. “Gini, Meg. Lo harus percaya diri. Lo tuh punya banyak yang bagus, dan Bima juga harus bisa ngeliat itu. Jangan biarin dia ngerasa bisa menjauh gitu aja.”
“Bener juga, Di. Tapi lo tau sendiri, dia kayaknya susah buat ngungkapin perasaannya,” jawabku sambil meratapi minuman es kopi yang udah hampir habis.
Rina, dengan nada penuh semangat, bilang, “Lo inget kan saat kita masih SMA? Kita berempat selalu saling dukung. Nah, sekarang pun gitu. Kita harus ingat sama kekuatan kita sebagai teman. Jadi, jangan ragu buat nyampein perasaan lo!”
Kata-kata Rina bikin aku teringat semua momen seru kita bareng. Dari ngerjain tugas bareng, nonton film, sampai curhat panjang lebar tentang kehidupan cinta yang rumit. “Iya, Rin. Kita selalu berjuang bareng. Mungkin aku cuma butuh dorongan dari kalian buat ngomong sama Bima lagi,” kataku, mulai merasakan semangat baru.
“Yuk, kita bikin rencana! Besok kita bawa makanan enak, dan ajak Bima hangout bareng. Mungkin itu bisa bikin suasana lebih santai,” saran Kiki. “Jadi, lo bisa ngomong sama dia tanpa ada tekanan.”
“Eh, itu ide bagus! Kita bisa bikin piknik kecil di taman kampus. Suasananya pasti bikin nyaman,” Dika menambahkan. Mereka semua setuju, dan rencananya jadi makin seru.
Hari berikutnya, kami berkumpul di taman kampus dengan membawa makanan kesukaan kita. Cuacanya cerah banget, dan itu bikin mood jadi makin baik. Aku liat Bima duduk di bangku dekat situ bareng temen-temennya. Dia terlihat lebih santai dari biasanya, dan entah kenapa, aku merasa ini adalah kesempatan yang tepat.
“Eh, Bima! Gabung sama kita yuk!” teriakku sambil melambai. Dia menoleh dan terlihat ragu sebentar. Tapi kemudian, dia bangkit dan berjalan menghampiri kami. “Oke, makasih, Meg. Apa yang kalian bawa?” tanyanya sambil melirik ke arah makanan yang kami siapkan.
Setelah dia duduk, suasana langsung terasa lebih ceria. Kami mulai bercanda, dan Bima terlihat lebih terbuka. “Lo masih suka mie pedas, kan?” tanyaku sambil mengarahkan perhatian ke Bima. Dia tersenyum. “Iya, sangat. Apalagi kalo bareng lo,” jawabnya, dan hatiku berbunga-bunga.
Kiki langsung nyerang dengan pertanyaan. “Gimana, Bima? Lo ada rencana seru di akhir pekan ini?” Dia tersenyum, tapi tampak berpikir. “Belum ada sih. Kenapa emangnya?”
“Gimana kalo kita semua nonton bareng? Kita bisa seru-seruan, dan lo bisa lebih kenal sama Megha!” Rina menyisipkan ide briliannya. “Ya, emang bisa sih. Kalo bisa nonton film seru, kenapa enggak?” jawab Bima sambil melirikku.
Keringat dingin mulai mengalir. “Gue sih oke aja. Kalo lo mau, kita bisa bikin rencana,” kataku, berusaha tetap tenang. “Oke, kita bicarakan nanti. Yang penting, sekarang kita enjoy aja,” Bima bilang dengan senyuman yang bikin aku merasa lebih tenang.
Setelah makan, kami bermain games dan bercanda. Momen itu bikin aku ngerasa, betapa berartinya teman-temanku. Mereka adalah penyemangat yang selalu ada buatku. Terima kasih, Tuhan, udah kasih aku sahabat-sahabat yang luar biasa ini.
Tapi di dalam hati, masih ada pertanyaan yang mengganggu. Apakah Bima benar-benar membuka hati untukku? Atau apakah ini hanya suasana santai yang bakal hilang setelah hari ini? Aku berharap bisa mendapatkan jawabannya segera.
Malam itu, saat aku pulang, aku merasa semangat baru. Teman-temanku selalu bisa mengangkat semangatku. Mereka adalah teman yang berharga, yang terus mendukungku dalam setiap langkah. Dengan dukungan mereka, aku merasa lebih berani untuk menghadapi tantangan selanjutnya—apapun itu.