“Namamu ada di daftar eksekusi,” suara berat Carter menggema di saluran komunikasi.
Aiden membeku, matanya terpaku pada layar yang menampilkan foto dirinya dengan tulisan besar: TARGET: TERMINATE.
“Ini lelucon, kan?” Aiden berbisik, tapi tangannya sudah menggenggam pistol di pinggangnya.
“Bukan, Aiden. Mereka tahu segalanya. Operasi ini… ini dirancang untuk menghabisimu.”
“Siapa dalangnya?” Aiden bertanya, napasnya berat.
Carter terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Seseorang yang kau percaya. Lebih baik kau lari sekarang.”
Aiden mendengar suara langkah mendekat dari lorong. Ia segera mematikan komunikasi, melangkah mundur ke bayangan, dan mengarahkan pistolnya ke pintu.
Siapa pengkhianat itu, dan apa yang akan Aiden lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Bertemu Drake
Perjalanan yang mereka tempuh terasa begitu panjang dan melelahkan. Perahu kecil yang membawa Aksara dan pria bertubuh tambun itu terombang-ambing di tengah lautan. Suasana sepi dan sunyi, hanya suara deburan ombak yang menemani mereka. Aksara duduk dengan tenang, meski pikirannya terus dipenuhi berbagai kemungkinan buruk. Ini bukan pertama kalinya ia terlibat dalam situasi berbahaya seperti ini, tetapi kali ini berbeda—taruhannya adalah hidup dan mati, bukan hanya bagi dirinya, tapi juga Aliyah dan Oberoi yang kini berada di daratan, menunggu dengan penuh kecemasan.
Di kejauhan, pulau kecil itu mulai tampak. Tidak ada apa pun di sana selain pepohonan lebat dan sebuah bangunan tua di tengahnya. Pulau ini jelas bukan tempat yang terdaftar di peta mana pun, sebuah lokasi yang sempurna untuk pertemuan rahasia.
“Sudah hampir sampai,” ujar pria tambun itu dengan suara rendah. Aksara hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia tahu, saat tiba di pulau itu, setiap gerakan yang dilakukannya harus sangat hati-hati.
***
Sementara itu, di tepi pantai, Aliyah berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Matanya terus menatap ke arah lautan, berharap melihat tanda-tanda kembalinya Aksara. Namun sejauh ini, hanya kesunyian yang menemani mereka.
“Kau yakin ini aman, Oberoi?” tanya Aliyah dengan suara bergetar.
Oberoi menghela napas panjang. “Aku tidak bisa menjanjikan apa pun, Aliyah. Tapi aku sudah menyiapkan rencana cadangan. Jika ada hal buruk yang terjadi, kita akan bertindak.”
Aliyah terdiam sejenak, mencoba menenangkan dirinya. “Aku hanya tidak ingin kehilangan dia lagi. Aksara sudah melalui terlalu banyak hal. Jika kali ini gagal, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padanya.”
“Dia tahu risikonya. Dan dia memilih jalan ini karena dia yakin bisa menang. Percayalah padanya,” ujar Oberoi, mencoba memberikan semangat meski dalam hatinya sendiri masih ada keraguan besar.
“Baiklah, jika itu memang seharusnya. Aku akan berusaha percaya penuh padanya,” ujar Aliyah. Walau di dalam hatinya ia terus berdoa semoga saja Aksara bisa segera kembali dengan selamat dan bisa menemukan apa yang Aksara cari.
Diamnya Aliyah hanya memanjatkan doa terus menerus untuk Aksara bisa menemukan jawaban dan selamat.
***
Setibanya di pulau, Aksara turun dari perahu dengan hati-hati. Pria tambun itu berjalan di depannya, memandu jalan melalui hutan kecil yang mengelilingi bangunan tua di tengah pulau. Sepanjang perjalanan, Aksara terus mencari celah untuk menyelipkan alat intai kecil yang dibawanya, tetapi tempat ini tampak terlalu terbuka.
Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di depan sebuah rumah kayu sederhana. Pria tambun itu mengetuk pintu tiga kali, memberi kode tertentu. Tak lama, pintu terbuka, dan seorang pria tinggi berambut hitam pekat muncul. Matanya tajam, penuh kewaspadaan.
“Aiden…” kata pria itu pelan, seolah mengenali Aksara meski penampilannya sudah sangat berbeda.
Aksara menahan napas sejenak sebelum akhirnya berkata, “Aku bukan Aiden lagi. Kau bisa memanggilku Aksara sekarang.”
Aksara paham, tidak akan ada lagi yang harus di tutupi, kemunginan buruk sudah ia persiapkan semuanya. Jadi ia sungguh bertaruh untuk dirinya sendiri yang berani melangkah maju. Mencari dalang dan mencari kebenaran dari semuanya.
Drake tersenyum tipis, tetapi bukan senyum yang ramah. “Nama mungkin berubah, tapi orangnya tetap sama. Masuklah. Kita punya banyak hal untuk dibicarakan.”
Aksara mengikuti Drake masuk ke dalam rumah. Di dalam, suasananya terasa dingin dan sunyi. Tidak ada satu pun perabot yang mencolok, hanya meja dan dua kursi di tengah ruangan. Drake duduk terlebih dahulu, memberi isyarat agar Aksara melakukan hal yang sama.
“Kau datang jauh-jauh ke sini. Jadi, apa yang sebenarnya kau cari?” tanya Drake dengan nada santai, tetapi sorot matanya tetap tajam, penuh kewaspadaan.
Aksara menatap Drake tanpa gentar. “Aku ingin tahu siapa sebenarnya dalang di balik semua ini. Dan aku ingin tahu kenapa aku dijadikan target oleh organisasiku sendiri. Kenapa aku?”
Drake tertawa kecil. “Kau masih sama keras kepalanya seperti dulu. Tidak semua jawaban bisa kau dapatkan dengan mudah, Aiden… atau Aksara, apa pun nama yang kau gunakan sekarang.”
“Aku tidak butuh jawaban yang mudah. Aku hanya butuh kebenaran,” jawab Aksara tegas.
Drake terdiam sejenak, menatap Aksara dengan penuh minat. “Baiklah. Aku akan memberitahumu satu hal. Ada seseorang di dalam organisasi kita yang menginginkanmu mati. Tapi dia bukanlah pemimpin. Dia hanya boneka dari seseorang yang lebih besar, seseorang yang jauh lebih berbahaya daripada yang bisa kau bayangkan.”
“Siapa?” desak Aksara.
Drake tersenyum samar. “Itulah yang harus kau cari tahu sendiri. Aku hanya bisa memberi tahu satu nama Miska. Dia adalah kunci dari semua ini.”
Mendengar nama itu lagi, Aksara merasakan dadanya berdegup kencang. Nama yang sama, yang terus disebut-sebut sejak awal pencariannya. Tapi siapa sebenarnya Miska? Dan apa hubungannya dengan pengkhianatan yang dialaminya?
“Kenapa Miska menjadi kunci? Kenapa tidak kau saja yang menjelaskannya. Kenapa nama Miska?” tanya Aksara, mencoba mencari penjelasan lebih jauh.
“Itu bukan pertanyaan yang bisa kujawab sekarang. Yang jelas, jika kau ingin bertahan hidup, kau harus menemukan Miska sebelum mereka menemukanmu,” jawab Drake sambil berdiri dari kursinya. “Dan satu lagi, berhati-hatilah. Tidak semua orang yang terlihat bisa dipercaya. Kau tentu sudah paham betul bukan, siapa lawan dan kawanmu. ”
Aksara mengangguk pelan, menyimpan semua informasi yang didapatnya. Ia tahu, jalan yang akan ditempuhnya ke depan akan semakin sulit dan berbahaya.
***
Setelah pertemuan itu, Aksara kembali ke pantai, di mana Aliyah dan Oberoi menunggunya dengan cemas. Begitu melihatnya kembali, Aliyah langsung berlari dan memeluknya erat.
“Kau baik-baik saja?” tanya Aliyah dengan suara bergetar.
Aksara tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja. Dan aku mendapat sesuatu yang penting.”
Oberoi yang mendekat menatap Aksara dengan serius. “Apa yang kau dapat?”
“Satu nama. Miska. Dia adalah kunci dari semua ini,” jawab Aksara tegas. “Dan aku akan menemukannya, apa pun yang terjadi.”
Malam itu, mereka kembali ke persembunyian mereka dengan hati yang penuh tekad. Namun di balik tekad itu, tersimpan pula perasaan was-was. Perjalanan mereka baru saja dimulai, dan mereka tahu, setiap langkah yang diambil akan membawa mereka lebih dekat pada bahaya yang tidak terduga.
Aksara menatap langit malam yang gelap tanpa bintang, mengingat pertemuannya dengan Drake dan semua hal yang dikatakan pria itu. Kini ia tahu, waktunya tidak banyak. Jika ia ingin bertahan hidup dan mengungkap kebenaran, ia harus bergerak cepat.
Dan satu hal yang pasti: ia tidak akan berhenti sebelum semua pertanyaan terjawab.
“Miska dimana kamu?”
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa like dan komentarnya ya.
Terima kasih.