Agnes menjalani kehidupan yang amat menyiksa batinnya sejak kelas tiga SD. Hal itu terus berlanjut. Lingkungannya selalu membuat Agnes babak belur baik secara Fisik maupun Psikis. Namun dia tetap kuat. Dia punya Tuhan di sisinya. Tapi seolah belum cukup, hidupnya terus ditimpa badai.
"Bagaimana bisa..? Kenapa Kau masih dapat tersenyum setelah semua hal yang mengacaukan Fisik dan Psikis Mu ?" Michael Leclair
"Apa yang telah Dia kehendaki, akan terjadi. Ku telan pahit-pahit fakta ini saat Dia mengambil seseorang yang menjadi kekuatanku. Juga, Aku tetap percaya bahwa Tuhan punya rencana yang lebih baik untukku, Michael." Agnes Roosevelt
Rencana Tuhan seperti apa yang malah membuat Nya terbaring di rumah sakit ? Agnes Roosevelt, ending seperti apa yang ditetapkan Tuhan untuk Mu ?
Penasaran ? Silakan langsung di baca~ Only di Noveltoon dengan judul "Rencana Tuhan Untuk Si Pemilik Luka"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ATPM_Writer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Zaman semakin berubah. Telah muncul berbagai macam hal di muka bumi ini yang melatarbelakangi karakter seseorang. Sikapnya seperti apapun, pasti memiliki alasan.
Kebanyakan orang hidup dengan Trauma di masa lalu. Dan sebagian besar orang memilih percaya pada Sang Pencipta. Memilih untuk percaya bahwa hal yang terjadi dalam hidup atas kehendak Nya. Hal yang akan terjadi dimasa mendatang, menjadi Rahasianya. Tidak perlu gelisah pada hal yang belum terjadi, Kepercayaan mereka mengiringi setiap langkah. Tidak perlu tenggelam dalam rasa penasaran. Dia akan memperbaiki yang rusak dengan berbagai cara. Seperti mempertemukan satu insan dengan yang lain, dan menjadi perantara untuk mengobati luka yang tak tersentuh medis. Rencana Nya tidak pernah mengecewakan. Namun selalu tidak tertebak.
...***...
Jarum jam panjang dan pendek kini mengarah di angka yang sama, yaitu angka empat. Layar pipih di atas nakas mulai bergetar dan mengalunkan instrumen yang lembut. Gendang telinga yang menangkap alunan itu membuat sang penyetel alaram membuka iris mata yang masih terasa berat.
Suhu yang diciptakan pada jam-jam ini sangat pandai menggoda orang untuk semakin mengeratkan pelukan pada bantal guling, memperbaiki posisi tidur, atau membenarkan selimut. Apalagi hari ini berisikan tanggal berwarna merah.
Namun tidak dengan Agnes Roosevelt. Dia tidak boleh tergoda oleh suhu yang tercipta. Wanita pemilik surai hitam panjang itu mulai bergerak. Kini Dia sudah dalam posisi duduk dan sudah mematikan alaram yang beralun.
Sesuai rutinitasnya, Dia berdoa sebelum turun ke lantai bawah untuk melakukan pekerjaan rumah. Tangan pun tergenggam saat mengucap terimakasih kepada Sang Pencipta, karena di bangunkan dihari yang baru dan diijinkan untuk bernafas lagi. Usai melantunkan semua yang Dia harapkan dihari ini, Wanita itu kembali membuka mata. Sorotan matanya tertuju pada tempat kayu yang kosong di atas nakas. Ada barang yang seharusnya tersimpan di sana, namun sudah satu bulan berlalu dan tempat itu masih kosong.
Setelah menjepit rambut, Agnes pun turun ke lantai bawah. Dua jam penuh Dia bergelut di dapur, membersihkan peralatan makan yang di gunakan semalam dan mengepel rumah yang amat besar itu, sendirian. Pekerjaan yang paling memakan waktu terbanyak adalah mengepel, kerena benar-benar memakan waktu satu jam penuh.
Walaupun badannya sakit, Agnes lanjut membuatkan sarapan. Sederhana, hanya roti panggang. Dia tata di atas meja dengan baik. Tak lupa beserta berbagai macam rasa selai yang di sukai oleh Ibu, Kakak dan Adiknya. Dia juga sudah menata buah-buahan yang telah dicuci, karena memang itu yang akan di makan oleh Sang Ayah.
“Haahh...”
Setelah pekerjaan pagi nya selesai, Dia menghela nafas panjang sambil menaruh kedua tangan di pinggang.
Dia naik kembali ke lantai atas agar bisa bersiap-siap pergi ke gereja. Sebelum masuk ke kamar, Agnes melihat kamar Adiknya yang masih gelap. Tanda bahwa masih tertidur lelap dan berselancar dengan bebas di alam mimpi. Berbeda sekali dengan diri nya yang jika di jam ini masih memilih tidur, maka Dia tidak bisa pergi ke gereja karena harus mengerjakan pekerjaan rumah. Satu doktrin yang tertanam dan mengakar kuat pada dirinya, Agnes tidak boleh keluar ke mana-mana jika pekerjaan rumahnya belum selesai.
Pada umur 18 tahun Dia melayangkan Protes, dengan cara tidak mengerjakan beberapa hal dan menyuarakan lelah dan ketidakadilan yang Dia rasa. Dia hanya ingin pekerjaan di dalam rumah terbagi rata. Sayangkan hal itu berujung pada amarah orang tua. Wajahnya di tampar. Gendang telinganya hampir robek karena caci maki dan juga omelan bernada tinggi. Saat Dia ingin lari karena tidak tahan dengan rasa sakit, rambutnya di jambak.
Menurut kedua orang tuanya ini sangat adil. Karena Dia adalah Kakak. Dia harus mengalah, Dia yang harus mengerjakan pekerjaan rumah. Menurut Ayah dan Ibu, Adiknya masih terlalu kecil. Jarak usia mereka berdua terpaut lima tahun. Jadi menurut mereka itu wajar jika Orang tua nya tidak ingin membagikan pekerjaan rumah pada anak yang masih kecil. Namun, alasan ini selalu Mereka pertahankan sampai sekarang, saat Dia sudah berusia 25 tahun dan sang Adik berusia 20 tahun.
Ekonomi Mereka saat ini memang sudah tergolong lumayan. Seharusnya mampu menyewa pembantu rumah tangga. Sayangnya, mereka menganggap masih ada Agnes, masih ada anak yang berguna, jadi tak perlu buang-buang uang pada hal yang masih bisa di tangani.
Inilah Keluarga yang di kepalai oleh Fransiskus Roosevelt dan Sisilia Padavano. Menghadirkan tiga anak setelah pernikahan, yaitu Alexander Roosevelt, Agnes Roosevelt dan Lusia Roosevelt.
...***...
Ini adalah hari yang tanggal nya selalu merah di kalender manapun. Sebagian Orang dengan kepercayaannya sudah mulai bersiap-siap dengan tujuan pergi ke Gereja. Sebagian yang lain menunggu saat mentari hampir terbenam barulah pergi ke gereja. Dan sebagian yang lain, tetap batu dan terus melakukan pekerjaannya.
“Michael, Kau yakin masih tidak mau pergi ke Gereja ?” Suara berat khas milik Sang Ayah menerjang masuk dengan lembut ke dalam gendang telinga Anaknya yang masih setia di depan laptop.
“Iya, Ayah. Banyak pekerjaan yang harus di selesaikan hari ini.” Jawab Michael yang tidak butuh waktu untuk berpikir. Jawaban itu sudah terpola di benaknya.
“Baiklah. Masih ada waktu satu jam sebelum Misa di mulai. Kau sudah 30 tahun. Ayah harap Kau segera kembali mempercayai Sang Pencipta.”
“.....”
Suasana seketika membeku. Michael dengan ekspresi acuh, dan Sang Ayah masih dengan Tatapan penuh cinta. Tidak ada setitik amarah dan benci pada Sang Anak yang sikapnya sudah berubah semenjak kematian Nenek nya 10 tahun lalu.
Kemudian Sang Ibu datang. Mereka berdua berpamitan pada Michael dan melenggang pergi dari rumah.
Tidak ada pertengkaran dan caci maki. Michael Lecllair, Putra tunggal yang sangat beruntung lantaran terlahir di dalam keluarga Cemara dengan keadaan ekonomi yang tidak berkekurangan apapun. Keluarga yang tidak pernah menaikkan nada bicara saat bertengkar.
Doktrin yang tertanam dengan jelas di keluarga ini adalah Semua nya hanya butuh komunikasi. Semua hal selalu ada jalan keluarnya jika di bicarakan baik-baik.
...***...
Lima menit sudah berlalu semenjak kepergian Orang Tuanya. Michael tidak bergeming. Iris mata nya tetap fokus ke layar laptop, sampai handphone nya berdering. Langsung Dia angkat saat nama yang tertera di layar benda pipih itu tertulis ‘Brigida’.
“Ada apa ? Kau tidak ke Gereja ?”
“Nanti sore baru pergi bersama Ayah dan Ibu.. Kak Michael, tolong Aku.” Pinta nya dengan suara putus asa dari seberang sana.
“Katakan.” Respon Michael sambil memijit pangkal hidung. Ini masih terlalu pagi untuk mendapat masalah.
“Sebulan yang lalu, Aku meminjam Alkitab seorang Kakak cantik di Gereja yang Ku datangi berama Tante Theresia dan Om Feliks. Hari ini baru ingat bahwa Aku belum mengembalikan nya.”
“Dia orang yang tidak Kau kenal ?”
“Tepat sekali. Bahkan Aku tidak mengambil nomor handphone nya. Kulihat Alkitab itu penuh akan berbagai warna dan berbagai tulisan. Dia pasti tidak bisa kehilangan benda berharga seperti ini. Tolong bantu Aku mengembalikan nya hari ini, Kakak...” Mohon nya dengan suara lirih.
“Kau saja tidak mengenalnya, bagaimana Aku membantu Brigida ?”
“Kakak cantik itu mengatakan Dia selalu duduk di bangku gereja deretan ke tiga dari depan, sebelah Kiri dari pintu masuk.”
“Minta tolong pada Ayah dan Ibu Ku saja.”
“Aku baru saja selesai menghubungi Mereka. Hari ini Mereka pergi ke gereja lain karena ada janji dengan teman-teman Mereka.”
“Haah, apa harus hari ini ?”
“Tentu saja! Ini hari dimana Gereja di buka, Kak Michael. Jangan malas dan bantulah Adikmu yang imut ini. Kumohon...”
Lagi, Michael menghela nafas panjang. “Dasar gadis pembohong. Padahal Kau tengah menikmati liburan asyik dengan Ayah dan Ibu Mu kan ?”
“Kak Michael, Aku sangat berharap pada Mu. Dari nada bicara Mu tampak sangat keberatan, tapi Kau akan membantu Ku kan ?”
“Ku rasa tidak—“
“Ciri-ciri Kakak wanita itu berambut panjang. Pembawaan nya sangat tenang. Senyumnya lembut sekali. Dia Kakak yang cantik dan baik.”
“Hei, Brigida. Dengarkan Aku—“
“Aku tidak mau menerima penolakan. Jika Kak Michael tidak membantu, akan Ku adukan pada Ayah dan Ibu, juga pada Om Feliks dan Tante Theresia. Biarlah Mereka menceramahi Kakak sampai gendang telinga Mu sakit!”
Michael memunculkan perempatan di kening. Pekerjaannya akan tertunda karena harus mendengarkan Ocehan dari empat orang keluarganya. Membayangkan saja sudah bikin pening.
Selain itu, seperti apapun penilaian orang tentang Nya di luar sana, Michael adalah orang yang sangat peduli pada keluarga. Juga sangat sayang pada keluarga. Dia tidak bisa menolak permintaan tolong dari Keluarga yang masih tergolong taraf normal seperti Brigida saat ini.
Dengan hati yang sangat berat, Michael mengiyakan permintaan Brigida, adiknya, anak gadis dari adik kandung Sang Ibu.
...***...
Sejak mentari belum menyingsing, Michael sudah melakukan aktifitasnya. Olahraga, Mandi, Sarapan, dan berakhir di depan laptop. Hal ini membuatnya tidak perlu bersiap-siap lagi. Dia hanya perlu mengganti pakaian.
Dia memakai Celana Kain panjang dan kemeja batik berwarna gelap. Dengan tangan yang sudah memegang alkitab, Michael pergi dengan mengemudikan mobilnya.
Dengan iris mata berwarna Ocean itu, sesekali Dia melirik Alkitab yang di simpan di kursi sebelah pengemudi. Alkitab yang menyebabkan Dia harus menginjakkan Kaki ke gereja setelah sekian lama.
“Tidak di sangka, alasan Ku kembali ke Gereja karena masalah yang di sebabkan oleh Brigida. Apa ini takdir ?” Sedetik kemudian Dia terkekeh dengan pikirannya sendiri. “Sudahlah. Tidak ada yang spesial dengan hal ini. Aku hanya perlu mengembalikan alkitab punya wanita yang nama nya saja tidak Brigida ketahui. Setelah itu kehidupan Ku akan kembali seperti biasanya.” Tuntasnya dan menaikan kecepatan mobil.
...***...
Pria yang sudah 10 tahun lamanya tidak pernah ke gereja itu Kini sudah berjalan masuk ke dalam gereja. Jemarinya di celupkan pada air berkat yang tersedia di sebelah pintu masuk, dan membuat tanda salib seperti yang seharusnya.
Sisa waktu 20 menit lagi sebelum Misa di mulai. Banyak bangku yang masih kosong, namun Iris mata Michael tertuju ke depan. Sudah membidik bangku urutan ke tiga, sebelah kiri dari deretan terdepan untuk di duduki.
Suasana hati nya diselimuti ketenangan. Patung-patung yang bertahta di altar seolah menyambut kedatangan Michael. Ada kerinduan yang Michael rasakan, namun segera Dia tepis perasaan itu. Tujuan nya hari ini hanya mengembalikan Alkitab, bukan kembali menjadi Pribadi seperti dulu.
Beruntungnya, Michael duduk tepat di sebelah Wanita pemilik Alkitab itu. Michael masih belum sadar. Dia sudah selesai berdoa mempersiapkan diri. Sembari menunggu waktu, Michael membuka Alkitab yang Dia bawa. Dari lembar depan, sudah di sambut dengan tulisan nama si pemilik.
Agnes Roosevelt.
Dengan jemari tangan yang panjang, Dia membuka lembar demi lembar. Mata nya di suguhkan dengan tanda yang di torehkan oleh si pemilik. Penuh akan warna, juga penuh akan tulisan-tulisan.
“Sungguh Orang yang beriman.” Batinnya dan meletakkan kembali Alkitab pada tempat yang tersedia di depan bangku.
Agnes Roosevelt, wanita pemilik alkitab itu tersenyum dalam ketenangan. Muncul perasaan bahagia karena Alkitab yang sudah tidak bertahta di atas nakas nya selama sebulan penuh, sebentar lagi akan kembali menempati tempatnya.
Wanita dengan surai yang terurai panjang itu tidak membuka obrolan. Tidak langsung berkoar-koar bahwa itu Alkitab kepunyaannya. Sejak masuk kedalam gereja, dan setelah berdoa mempersiapkan diri, tidak boleh mengobrol. Begitulah yang di ajarkan dan di terapkan oleh Agnes.
Setelah Misa berakhir, barulah diijinkan untuk mengobrol, tapi dalam kontrol suara yang terkendali. Suasana di dalam Gereja harus tetap Khusyuk. Namun sayangnya, Sebagian Gereja tidak begitu. Banyak orang yang melupakan Etika ini, memilih bercerita dan lebih parah malah bergosip saat melihat orang yang tidak mereka sukai. Tidak semua, tapi banyak.
...***...
Misa sudah di mulai. Rangkaian Misa di ikuti seperti yang seharusnya. Waktu berlalu, satu jam tiga puluh menit sudah Misa berlangsung. Kini terdengar lagu penutup yang menggema di dalam gereja.
Misa Selesai. Orang-orang yang sudah berdoa mulai bangkit dari tempat duduk masing-masing. Sebagian bersalaman dan mengobrol ringan, Sebagian yang lain langsung pulang.
Michael sudah berdiri, diikuti oleh Agnes.
“Permisi, Tuan.” Panggil Agnes membuka obrolan.
Michael berbalik ke asal suara, “Iya. Ada apa ?” jawabnya. Michael seolah lupa dengan tujuan awal. Dia seolah lupa dengan yang dikatakan oleh Brigida. Deskripsi Brigida padahal tengah berdiri di hadapannya.
“Maaf tidak sopan. Tapi apakah Tuan adalah Kakak dari Gadis yang meminjam Alkitab ? Tidak perlu curiga, didalamnya tertera namaku, Agnes Roosevelt. Saat Anda membuka Alkitab tadi, mata ini tidak sengaja melihatnya. Dan Aku dapat mengenali barangku dalam sekali lihat. Itu Alkitab Ku, Tuan.”
Pelan tapi tegas, intonasi yang stabil dan garis senyum yang tercetak memberikan rasa nyaman bagi siapapun lawan bicara nya. Dan hal itulah yang kini di rasakan oleh Michael.
“Ah, maaf. Seharusnya Aku yang menemukan Mu terlebih dahulu.” Ujar Michael sambil memberikan Alkitab.
Agnes mengambil Alkitab dengan dua tangan. Tersenyum lebar dan bersuara, “Tidak masalah, Tuan. Toh yang bertemu dengan Ku adalah Adik Anda. Anda pasti tidak tau bagaimana Rupaku.”
“Terimakasih karena sudah berbesar hati meminjamkan Alkitab ini pada Adikku, padahal Kalian tidak saling mengenal. Juga, Aku mewakilinya untuk meminta maaf karena lupa mengembalikan Alkitab ini selama sebulan penuh.” Usai Alkitab itu kembali pada pemiliknya, Michael nampak sedikit menunduk, menyampaikan rasa bersalah mewakili Brigida.
Agnes tersenyum sambil mengangguk pelan, “Tidak apa, Tuan. Dan juga, terimakasih kembali karena sudah mengembalikan milikku.”
Usai mengutarakan rasa terimakasihnya, Agnes langsung pamit. Dia berbalik dan keluar dari sisi kiri. Bangku di dalam gereja memang di setel seperti ini. Michael yang baru tersadar dua detik setelah kepergian Agnes pun langsung berbalik dan keluar dari sisi kanan menuju ke arah pintu.
Langkah mereka sama-sama terhenti saat di dekat pintu. Michael di sisi Kanan dan Agnes di sisi Kiri. Mereka berdua kompak membasahi ujung jemari mereka dan membuat tanda salib dengan menyentuh kening, dada, serta bahu kanan dan kiri. Perbedaannya, Hazel eyes milik Agnes tegak lurus ke depan. Fokus melihat salib besar yang terpampang di altar. Sedangkan Fokus Netra Michael tertuju ke arah Wanita dengan Surai panjang di sebelahnya, Agnes Roosevelt.
Netranya terus melihat, seolah di kunci ke arah Agnes sampai sosoknya hilang usai keluar dari pintu dan menuruni tangga. Tidak ada alasan pasti. Ini hanya naluri yang ingin terpenuhi dengan melihat ke arah wanita pemilik Hazel eyes. Sosok wanita yang baru Dia jumpai ini memberinya perasaan aneh, entah apa itu. Logikanya tidak bisa menyimpulkan.
Begitulah pertemuan Michael Lecllair dan Agnes Roosevelt. Dua insan yang dipertemukan di dalam gereja, dengan latar belakang keluarga yang berbeda. Dengan masing-masing pribadi yang masih setia memeluk luka masa lalu. Entah bagaimana Mereka akan terhubung di masa mendatang, Sang takdir sudah mengikat benang merah pada keduanya.
...***...
Terimakasih yang sudah mampir. Judul novel ‘Rencana Tuhan Untuk Si Pemilik Luka’ ini dilatarbelakangi dengan Agama Katolik. Jujur, Author ada di ranah ini. Sungguh tidak ada paksaan bagi Mu untuk tetap membaca. Author hanya ingin mengeluarkan ide yang sudah bersarang lama. Sempat Author timang-timang apakah harus menyertakan unsur agama ? Dan jawabannya adalah ‘Ya’. Ini adalah salah satu hal yang menjadi latar belakang dari karakter ‘Agnes Roosevelt’.
Jujur, tidak ada paksaan untuk menyukai novel ini. Bisa Kalian lanjut baca jika tertarik, juga tolong tinggalkan like dan komen Kalian. Jika tidak sesuai dengan selera Kalian, silahkan mencari bacaan yang lain. Sekali lagi Terimakasih sudah mampir, have a nice day Darling~♡
Follow Ig Author @ATPM_Writer untuk visual dan juga editan-editan yang sesuai dengan chapter yang Author publish. Untuk Visual, bisa klik profil Author dan fokus ke sorotan dengan nama 'Rencana Tuhan'. Untuk saat ini, baru Visual Michael Lecllair dan Agnes Roosevelt yang Author unggah.