"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"
Gue berusaha ngontrol napas gue. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"
"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu beneran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"
Gue ngangguk pelan.
"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Andai Dia Tahu
Gue merem, menikmati momen ini, karena gue tahu mungkin ini terakhir kalinya gue bisa bareng dia.
Ellaine tiba-tiba naruh tangannya di atas tangan gue. Hangat.
Nyaman.
Gue buka mata, ngelihat dia.
“Gue…” suaranya nyangkut, tapi gue bisa baca semuanya dari ekspresinya. Untuk pertama kalinya, dia nggak nutupin perasaannya, dan itu benaran bikin gue kehabisan napas.
Gue senyum, terus membalik tangan gue buat menggenggam tangannya.
“Gue juga kangen, seksi”
Tapi momen itu langsung hancur pas suara pintu terbuka.
Ellaine buru-buru melepas tangan gue. Dada gue rasanya sesak, karena gue tahu momen ini udah berakhir.
Ellaine langsung noleh ke pintu.
Maurice masuk dengan ciri khasnya yang elegan, menenteng kantong makanan di satu tangan. Dari awal, gue tahu dia bakal kembali kapan saja. Gue nggak lupa. Tapi gue juga nggak mau menjelaskan apa pun ke Ellaine.
Biar dia yang nebak sendiri.
Biar dia benci gue.
Biar dia menjauh.
Biar dia nutup dirinya lagi dari gue.
Gue pengecut, gue tahu.
Gue nggak pinter merangkai kata, dan jujur aja, gue nggak yakin bisa bilang langsung ke Ellaine kalau gue balikan sama Maurice.
Maurice senyum ramah ke Ellaine.
“Oh, hai. Kayaknya gue telat, ya? Lo udah makan?”
Gue lihat perubahan di wajah Ellaine. Sakit itu menyebar di ekspresinya, dan gue sama sekali nggak siap buat melihat itu. Rasanya kayak ada yang nusuk gue dari dalam.
Maurice nunduk buat kasih gue ciuman singkat. Gue nggak ngelihat Ellaine lagi. Gue nggak bisa. Gue nggak sanggup lihat betapa sakit hatinya.
Maurice lalu noleh ke dia.
“Lo pasti Ellaine, ya? Senang kenalan sama lo. Gue Maurice, tunangannya.”
Maurice tahu siapa Ellaine. Nyokap gue sering nyebut namanya pas ngomongin orang-orang di rumah.
“Lo nggak apa-apa?” Maurice nanya dengan nada ramah.
Itu bikin gue refleks melirik Ellaine, dan gue langsung nyesel. Mukanya… dia benar-benar lagi berusaha keras buat tetep tenang. Tapi gue bisa lihat, dia hancur.
Gue sampah banget.
Saat itu juga, gue sadar kalau gue menangani ini dengan cara yang paling brengsek.
Ellaine langsung berdiri. Gue bisa ngerasain dia memperhatikan gue, tapi gue tetep nggak bisa balas tatapannya.
Gue nggak bisa lihat lo kayak gini, Ellaine.
Tolong, jangan biarin gue masuk lagi ke dalam hidup lo.
“Semoga sore kalian menyenangkan, permisi.” Dia pergi, bikin napas gue berat.
Ini yang terbaik, Antari.
Gue ulang-ulang di kepala, berharap bisa menghapus bayangan wajah Ellaine yang penuh luka.
Gue mau dia benci gue.
Gue mau dia menjauh.
Karena gue nggak punya cukup keberanian buat ninggalin dia sendiri.
Maurice memperhatikan gue.
“Itu tadi apa?”
Gue berdiri, jalan ke meja gue. “Nggak ada apa-apa.”
Dia menyilangkan tangan di dadanya.
“Nggak kelihatan kalau nggak ada apa-apa.” Suaranya datar, cuma rasa penasaran. “Gue kira kita bakal jujur kalo ada orang lain di hidup kita.”
“Gue nggak ada hubungan apa-apa sama dia. Setidaknya, sekarang udah nggak.”
Maurice ngerti maksud gue. “Dia alasan lo mutusin gue dulu?”
Gue nggak kaget dia bisa nebak. Maurice selalu pinter baca orang. Nggak ada gunanya bohong.
“Iya.”
Maurice ketawa kecil. "Lo punya dendam apa sama cewek berambut merah?
Gue diam aja.
"Dia cantik banget." Dia rebahan di sofa. "Ellaine lebih dari sekadar cantik."
"Gak ada adegan cemburu nih?" tatap gue baik-baik.
"Cemburu gak ada di kontrak hubungan kita."
"Oh ya? Hubungan kita ini hubungan yang kayak gimana?"
Maurice angkat bahu. "Hubungan seks-bisnis."
"Sejak kapan lo jadi segitu dingin dan perhitungannya?"
"Sejak lo juga begitu." Dia duduk tegak. "Cuma itu satu-satunya cara buat survive di dunia kita, Antari."
"Padahal gue pikir lo tuh tergila-gila sama gue."
Dia mendengus. "Lo mimpi kali."
Beberapa menit berlalu dalam hening.
Gue masih berusaha nahan diri buat gak nyari Ellaine dan ngejelasin semuanya, kalau gue gak manfaatin dia, kalau gue udah putus sama Maurice pas gue nyium dia, kalau gue enggak segoblok itu buat menjebak dia dalam kebohongan ini cuma demi dapatin apa yang gue mau.
Sayangnya, gue gak bisa. Gue punya peran yang harus gue jalani di keluarga ini dan di perusahaan ini. Gue bagian dari dunia yang rusak dan busuk, dunia yang sama sekali bukan tempatnya Ellaine.
setelah antari beneran selesay sama maurice,tetap aja masih sulit buat bersatu dgn ellaine,blm lagi masalah restu dari orangtua antari
btw yg ngerasain perawannya ella natius kah 🤔🤔
senang nih antari bakal ada ellaine di kantornya 🥰 thanks elnaro
kayaknya bener,antari bukan batari,tapi emang karna jadi seorang batari lah antari jadi pengecut
akhirnya jadi tau asal luka di tangan antari dan memar di wajah asta
penasaran dgn part yg antari mukulin asta 🤔