"3 tahun! Aku janji 3 tahun! Aku balik lagi ke sini! Kamu mau kan nunggu aku?" Dia yang pergi di semester pertama SMP.
***
Hari ini adalah tahun ke 3 yang Dani janjikan. Bodohnya aku, malah masih tetap menunggu.
"Dani sekolah di SMK UNIVERSAL."
3 tahun yang Dani janjikan, tidak ditepatinya. Dia memintaku untuk menunggu lagi hingga 8 tahun lamanya. Namun, saat pertemuan itu terjadi.
"Geheugenopname."
"Bahasa apa? Aku ga ngerti," tanyaku.
"Bahasa Belanda." Dia pergi setelah mengucapkan dua kata tersebut.
"Artinya apa?!" tanyaku lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BellaBiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
"Clarissa itu sekelas sama gue dulu! Keluarga dia tuh deket banget sama keluarga Dani," jelas Liu Xian Zhing.
Kami sedang berkumpul di dalam tenda Rina.
"Untung gue ga nyebut nama!" ucapku penuh rasa syukur.
"Di sekolah dulu juga dia tuh kayak yang paling deket gitu sama Dani. Apa-apa dia maunya sama Dani. Di sekolah heboh Dani punya pacar namanya Arlita juga gegara dia. Dia bilang pacaran sama Dani, besoknya Dani bikin mading ada first love, Arlita. Makanya gue tau nama lo!" Liu Xian Zhing membuat kami melongok.
Aku tak menyangka bahwa Dani akan melakukan hal sekeren itu untukku.
***
Pagi ini, kami mendapat berita bahwa Dani terpaksa dibawa pulang karena alasan kesehatan. Setelah apel pagi, kami dibagi menjadi beberapa kelompok untuk mengerjakan beberapa tugas. Kelompok kami yang tentunya terdiri dari Arzio, Rina, Xia dan aku, ditugaskan untuk mencari kayu bakar.
"Lo masih demam?" tanyaku pada Arzio yang berjalan paling depan menuju hutan.
Dia malah tersenyum. "Kenapa? Lo takut gue pulang juga? Tenang aja. Gue ga bakal bikin lo kangen kayak yang Dani lakuin ke lo," ucapnya.
Aku langsung mendahuluinya. Rasa mual menjadi-jadi jika melihat Arzio bertingkah seperti itu.
Kami semua mengumpulkan kayu bakar untuk kegiatan masak memasak.
"Gue bawa ke camp dulu ya? Bantuin gue Xia!" tegas Rina.
Aku tau itu hanya akal-akalannya agar aku berdua saja dengan Arzio.
Arzio memotong beberapa kayu dan menaruhnya di sembarang tempat. Aku lah yang bertugas untuk mengambil dan menyusunnya agar lebih mudah untuk dibawa.
Tiba-tiba ....
"Heeeegh!" Suara tangisan perempuan menyelimuti sekitaran kami.
Aku langsung berlari menghampiri Arzio. Aku yakin dia juga mendengarnya. Itu sebab Arzio langsung memegangi tanganku.
"Suara apa?" tanyaku panik.
"Heeeeegh!" Tangisan itu semakin kencang. Membuat bulu kudukku merinding dan merapatkan diri pada Arzio.
"Suara orang nangis ga sih?!" pekikku.
"Diem!" tegas Arzio membuatku semakin berlindung di balik tubuhnya.
"Heeeeeghh!" Masih terdengar.
"Rina! Xia! Jangan main-main lah! Ga lucu!" teriakku.
"Heeeeeeeeeeeeeeeeeeeghh!" Tangisan itu semakin melengking.
"Aaarghhhh!!" teriakku yang kurasa kini ingin menangis.
Arzio memutar tubuhnya menghadap ke arahku.
"Itu bunyi apaan?" tanyaku sambil menangis.
"Kalo takut peluk aja, ga apa-apa," ucap Arzio membuatku berhenti menangis dan mendorongnya menjauh.
Dia malah tertawa. Sial!
Kuambil sebilah kayu dan mencari dari mana sumber suara tangisan itu. Satu sisi, aku takut itu hantu. Tapi di sisi yang lain, aku yakin itu Rina atau Xia.
Hampir kulempar wanita yang menangis itu dari balik semak. Ternyata dia bukan hantu ataupun Rina atau juga Xia. Wanita yang tidak aku kenali, menangis di sana.
"Lo kenapa?" tanyaku.
Arzio berlari menghampiri.
"Woi! Cunyuk!" teriakan itu membuat kami menoleh. Dua orang wanita yang seragamnya sama dengan wanita itu datang dengan membawa sebuah gunting.
Wanita yang menangis itu langsung bersembunyi di belakangku.
"Minggir! Ini bukan urusan kalian!" bentak mereka.
Arzio berdiri melindungiku. Dia menarik lengan salah satu dari gadis itu dan melihat logo sekolahnya. "SMK NEGERI 23?" tanya Arzio.
Dia menepis tangan Arzio dengan kasar dan memberi gerak-gerik yang mengisyaratkan temannya untuk pergi. Setelah mereka pergi, wanita itu menangis lagi.
"Lo dibuli mereka?!" tanyaku.
Wanita itu mengangguk sambil menangis. Kulihat kakinya berdarah.
"Lo bisa jalan? Kita ke pos kesehatan," ucapku.
Wanita itu menggeleng.
"Gendong dia!" perintahku pada Arzio.
"Ga mau! Lo bakal cemburu kalo gue gendong cewek lain," balasnya.
Aduh! Di saat-saat seperti ini, dia masih bisa bertingkah gila.
"Gue ga cemburu! Gendong dia ke pos kesehatan sekarang!" tegasku.
"Yakin? Yakin lo ga cemburu?" Arzio sangat mengesalkan jika seperti ini.
"Buruan lah Arzio! Kakinya banyak banget ngeluarin darah!" omelku.
"Iya iya. Bilang Sayang dulu."
Isshhhhh!!
"Kalo lo ga bilang gue Sayang, gue ga mau bantuin."
Ya ampun! Seandainya aku kuat menggendong wanita ini, aku akan menggendongnya sendiri ke pos kesehatan. Tapi ....
"Iya ...," ucapku terhenti. Kutatap wajah Arzio yang tersenyum penuh kemenangan.
"Apa?" tanyanya.
"Sayang," lanjutku pelan sambil ingin menangis. Tak percaya aku mengucapkan kata terkutuk itu.
"Oke, Sayang," sahutnya dan menggendong wanita tersebut menuju pos kesehatan.
Di perjalanan, kami bertemu dengan Rina dan Liu Xian Zhing.
"Eh! Siapa tuh? Mau ke mana?" tanya Rina.
"Kayunya masih ada di tempat yang tadi, udah gue susun. Kalian ambil aja. Gue mau ke pos kesehatan!" ucapku dan kembali mengejar Arzio.
"Eh bentar! Itu Arzio gendong siapa?" tanya Liu Xian Zhing.
"Orang! Kakinya berdarah!" teriakku.
***
Sesampainya kami di pos kesehatan. Semua orang langsung mengerumuni.
"Kenapa? Kakinya kenapa?"
Aku langsung mencari petugas kesehatan. Namun tak kutemui beliau di tempatnya.
"Gimana?" tanya yang lain padaku.
"Bawa masuk aja, Arzio!" Arzio menuruti perintahku dan membaringkan gadis itu di matras.
Kubuka botol air mineral yang ternyata tidak terbuka sama sekali. Malah tanganku yang jadi merah akibat gesekan dengan gerigi tutupnya.
"Sini." Arzio yang membukanya.
Sementara semua petugas pos kesehatan alias para PMR hanya melihat saja. TIDAK BERGUNA!
Kubuka sepatu dan kaos kaki busuk yang melekat di kaki gadis itu dan membasuh lukanya dengan air mineral dengan cara dialiri. Beginilah cara ibu mengobati lukaku. Mungkin ini akan melanggar ketentuan kesehatan pada pertolongan pertama, tapi hanya ini yang kuketahui.
Setelah dibasuh air, luka sobek tampak di mata kakinya. Kubuka kotak P3K. Lalu aku bingung melihat begitu banyak isi dari kotak tersebut.
"Alkohol yang mana?" tanyaku.
Arzio mengambilkan satu botol kecil cairan bening. Aku mengedusnya dan benar itu aroma alkohol. Kubasahi kapas dengan alkohol.
"Tahan dikit ya, ini kayaknya bakalan perih dikit," ucapku dan langsung mentotol-totol kapas itu pada lukanya.
"Aarghh heeegh!" gadis itu menangis lagi.
Waduh! Gue ngelakuin kesalahan lagi ya?
"Maaf," ucapku mematung.
Arzio menatapku. Aku menjadi panik mendengar tangisan gadis itu.
"Lo bisa," ucap Arzio.
Rasanya aku juga ingin ikut menangis. Sialan!
Padahal di sini terdapat banyak PMR! Tapi mereka tidak membantu sama sekali! Malah menonton! Ini bukan pertunjukkan! Dan aku bukan kelinci percobaan!
Aku tidak tahu soal hal-hal seperti ini! Aku tidak bisa! Aku tidak membantu gadis itu! Aku malah membuatnya semakin kesakitan!
Aku menitikkan air mata karena rasa kesal ini tak bisa aku tahan lagi. Aku benci perasaan bersalah ini.
"Lo bisa, jangan nangis," ucap Arzio lagi.
"Gue ga bisa," ucapku sambil menangis.
Arzio menghela napas dan mengambil alih kapas basah dari tanganku. Dia yang membersihkan luka itu dengan alkohol. Wanita itu semakin menjerit kesakitan dan aku ikut menangis di depan semua orang.
Meski menangis, aku mengambil kapas baru dan memotong kain kasa. Aku buat kotak seperti yang biasa ibu lakukan di waktu luangnya.
"Udah," ucap Arzio membuatku terkejut dan menghentikan tangisan tidak jelas itu.
Kuteteskan sedikit obat luka pada kain tadi dan menempelkannya pada luka gadis tadi. Kuambil kain kasa baru untuk membalutnya agar tetap berada di sana. Tak lupa sedikit perekat berwarna cokelat yang aku tidak tahu namanya apa.
Tiba-tiba semua orang bertepuk tangan.
Aku mengusap air mata yang sudah membuat wajahku jelek. kutatap luka itu terobati dengan sempurna. Menghela napas lega. Aku bisa mengatasi rasa bersalah itu
"Ada apa ini?!" petugas kesehatan datang di waktu yang sangat terlambat.
"Bapak ke mana aja?!" teriakku kesal. Semua orang terdiam termasuk petugas tersebut. "Ini ada murid luka kakinya sobek! Darah keluar banyak banget! Saya udah keliling-keliling nyariin bapak! Bapak ke mana?! Ini kan masih waktunya tugas! Kalo murid itu ngeluarin banyak darah sampe habis, gimana?! Bapak mau donor darah sampe habis?!"
Rasanya aku ingin menangis lagi.
Beliau menghampiri murid tersebut dan mengecek lukanya. Beliau juga melihat sampah bekasku mengobati tadi.
"Siapa yang ngobatinnya?" tanya beliau.
Semua orang menunjukku.
"Kalo dia mati kehabisan darah gimana? Bapak mau tanggung jawab?" tanyaku. Entahlah mengapa tiba-tiba rahangku rasanya menerik dan membuat suaraku menjadi aneh.
"Terus kenapa dia yang nangis?" tanya petugas tersebut.
"Dia sering ngerasa bersalah, Pak. Soalnya tadi murid ini teriak sambil nangis pas lukanya kena alkohol. Mungkin dia ngerasa dia nambahin sakit," jawab Arzio tersenyum-senyum. Mungkin dia mengejekku. Tapi jawabannya dangat tepat.
Langsung kuhapus air mata yang hampir menetes.
Sialnya, petugas kesehatan tersebut malah ikut tersenyum. Mereka mengesalkan!
"Kamu PMR?" tanya beliau.
"Iya! Dipaksa kepala sekolah! Saya ga ngerti soal kesehatan! Ini aja saya ngobatinnya ngasal. Makanya saya butuh Bapak buat bantuin!" jelasku.
***
Aku kembali ke tenda bersama Arzio. Dia terus tersenyum ketika melihatku. Aku sudah memalingkan wajah ke arah lain, tapi dia masih terus tersenyum.
"Lo kenapa sih?! Mau ngejekin gue nangis?!" bentakku.
"Ga! Gue bangga aja ngeliat lo," jawabnya.
Kupicingkan mata. Apa maksud bangga dalam kalimatnya itu.
"Mata lo bengkak!" ejeknya sambil tertawa.
"Namanya juga abis nangis. Ya wajar kalo bengkak matanya! Kalo yang bengkak muka gue, itu baru aneh!" bantahku.
"Coba bilang sayang kayak tadi," godanya semakin tertawa.
"Apaan sih?! Itu kan gue terpaksa!" tegasku.
"Coba gimana tadi bilang sayangnya?"
Iiissshhhh!! Semua makhluk bumi mengesalkan hari ini!