Dijual oleh ibu tiri ke pada seorang duda kaya berumur 40 tahun tidak serta merta membuat Citara bahagia.
Kekejaman pria beranak dua itu menjadikan Citara sebagai pelampiasan hasratnya.
Sampai sebuah fakta mengejutkan diketahui oleh Citara. Jika, pria yang dinikahinya bukan pria biasa.
Sisi gelap dari pria itu membuat Citara menjulukinya dengan sebutan Monster Salju. Pemarah, dingin, misterius dan mengerikan.
Akankah Citara mampu meluluhkah hati ayah dan anak itu? Simak kisahnya hanya di "Pelampiasan Hasrat Suami Kejam "
Author : Kacan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kacan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PHSK 13
Di mansion milik Varen, Citara sedang duduk termenung di atas kasurnya. Ia merasa kesepian, maid yang bernama Rani itu sudah keluar untuk melanjutkan pekerjaannya. Jadi, tinggal lah ia seorang diri.
Tok! Tok!
"Ma, ini Enzi. Boleh Enzi masuk?"
"Masuk saja, Enzi. Pintunya tidak dikunci dari dalam," sahut Citara dengan sedikit berteriak.
Anak laki-laki berusia 10 tahun itu, melirik ke arah pria berpakaian serba hitam di sebelahnya. "Mana kuncinya?" tanya Enzi dengan tangan menengadah.
"Tapi, Tuan muda—"
"Aku ingin bertemu dengan Mama!" sela Enzi dengan wajah datar.
Mau tidak mau pria yang berjaga di lorong kamar Citara pun memberikan kunci itu ke pada Enzi.
Anak laki-laki berusia 10 tahun itu masuk menemui Citara begitu ia berhasil membuka pintu kamar mama-nya yang dikunci dari luar.
Enzi berbalik, ia lupa mengembalikan kunci ke pada pria yang berdiri bagai patung di samping pintu kamar mama-nya. "Nih!" Enzi menyodorkan tangan yang di atasnya terdapat kunci yang tadi ia pinjam.
"Terima kasih, Tuan muda." Pria itu sedikit membungkukkan tubuhnya setelah menerima uluran kunci dari putra Varen.
Enzi tidak menyahuti ucapan pria itu, ia melenggang pergi masuk ke dalam kamar Citara. "Hai, Ma."
"Enzi, Mama senang kamu di sini," ucap Citara dengan riang.
Wanita berlesung pipi itu mengusap kepala anak sambungnya. "Kamu mirip sekali dengan daddy-mu. Wajah dan ekspresi yang sama persis hihihi." Citara terkikik geli.
"Ya karena Enzi anak daddy," sahut anak laki-laki berusia 10 tahun itu dengan wajah datar.
"Semoga kamu tidak kejam seperti Daddy mu," ucap Citara dalam hati sembari memandangi wajah putra sambungnya.
"Mama sudah makan?" tanya bocah berusia 10 tahun itu, ia duduk di pinggir ranjang dengan menatap wajah sang mama.
Kepala Citara mengangguk serata tersenyum. "Sudah dong," jawab Citara.
Wajah Enzi sedikit menekuk, anak laki-laki itu seolah sedang berpikir. "Sudah? Tapi ... kenapa Enzi tidak pernah melihat Mama di meja makan?"
Citara menggaruk sudut alisnya, wanita berlesung pipi itu bingung harus menjawab apa. Anak sambungnya terlalu pintar untuk dibohongi.
"Apa Daddy akan mengurung Mama di sini selamanya?" Enzi kembali bertanya.
Belum selesai Citara mencari jawaban, ia sudah harus kembali berpikir. Terdengar helaan napas berat. Akan tetapi, bukan berasal dari Citara. Suara itu berasal dari bocah berusia 10 tahun.
Mata Citara mengerjap, ia terheran-heran. Enzi seperti orang dewasa yang terperangkap di tubuh anak kecil.
"Mama tidak perlu menjawabnya," ucap Enzi dengan bersedekap dada. Gaya bocah itu persis seperti seorang bos.
Bibir wanita berlesung pipi itu melengkung ke atas. Sungguh ia merasa lega karena tidak harus menjawab pertanyaan Enzi. Akan tetapi, wanita itu merasa kasihan pada putra sambungnya.
"Kenapa anak seusia Enzi sudah berlaku layaknya orang dewasa? Apa Enzi kehilangan masa kecilnya?" ucap Citara bermonolog dalam hati.
"Ma?" panggil Enzi.
"Ah iya?" Citara tersadar dari lamunannya.
Wanita itu mencoba lebih dekat dengan putra sambungnya yaitu dengan cara menanyakan bagaimana keseruan ketika di sekolah tadi. Namun, lagi-lagi Citara dibuat ternganga oleh jawaban Enzi.
"Biasa saja, pelajarannya terlalu mudah dan teman-teman Enzi sangat membosankan. Mereka selalu membahas tentang keluarga dan juga video games," ujar bocah berusia 10 tahun itu.
Bukankah hal seperti itu wajar dibincangkan oleh anak seusia Enzi? Lantas, kenapa putra sambungnya menganggap hal itu membosankan? Citara bertanya-tanya dalam hati.
"Ah, begitu ya ... ," kata Citara sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Tiba-tiba bocah berusia 10 tahun itu mengucapkan sesuatu yang membuat Citara tertawa terbahak-bahak.
"Ha-ha-ha, Enzi ha-ha-ha." Citara memegangi perutnya yang terguncang, sudut mata wanita itu sampai berair karena tertawa berlebihan.
"Ternyata benar, lelucon mereka lucu. Buktinya mama bisa tertawa," ucap Enzi dengan wajah terlihat seperi sedang berpikir.
Citara mengatur napasnya agar kembali normal. "Hah, kamu dapat tebak-tebakkan itu dari mana?" tanya Citara. Karena setahu wanita itu, putra sambungnya tidak begitu tertarik pada hal sereceh itu.
"Tadi, ketika di sekolah. Teman-teman Enzi memberikan pertanyaan seperti itu, hanya Enzi yang tidak tertawa. Enzi pikir mereka terlalu berlebihan, ternyata mama juga ikut tertawa mendengarnya. Berarti Enzi yang salah menilai jika itu hal yang membosankan dan tidak lucu sama sekali."
Citara mengulas senyum manis dan tulus yang ia arahkan untuk putra sambungnya. Tangan wanita itu terlulur mengusap puncak kepala Enzi. "Mama tertawa bukan karena tebak-tebakannya."
"Lalu?" tanya bocah berusia 10 tahun itu mulai penasaran.
"Hewan, hewan apa yang kakinya tiga? Ini adalah tebak-tebakkan yang sering Mama dengar dulu. Jadi tidak mampu membuat Mama tertawa seperti tadi. Tetapi ... yang membuat Mama tertawa itu ekspresi kamu," kata Citara seraya mengingat ekspresi datar Enzi yang lucu.
"Terima kasih," ucap Enzi.
Citara mengulum senyumnya, ia berpikir jika Enzi benar-benar menggemaskan. Anak berusia 10 tahun itu mengira jika apa yang dikatakan dirinya adalah sebuah pujian.
"Kamu menggemaskan sekali, sini peluk Mama." Citara membentangkan kedua tangannya, berharap Enzi mau menyambut pelukannya.
Tidak disangka-sangka, bocah berusia 10 tahun itu menghambur ke dalam pelukannya.
"Enzi senang sekali, pelukan mama hangat."
Citara mengusap kepala anaknya dengan sayang, ia menatap iba pada Enzi yang kekurangan kasih sayang orang tua.
Bocah berusia 10 tahun itu kehilangan sosok ibu, dan juga kurang perhatian dari sang daddy yang sibuk akan pekerjaannya.
"Enzi mau belajar dulu," ucap Enzi. Anak itu mengurai pelukannya dari sang mama.
"Semangat!" Citara mengepalkan kedua tangannya.
Enzi mengangguk. Ia turun dari ranjang mama-nya dan memilih keluar. Mata Citara memperhatikan pintu kamarnya.
"Itu pintunya tidak dikunci dari luar? Apa penjaga berpakaian hitam itu lupa?" Citara merasakan jantungnya berdebar.
Mungkin ini adalah kesempatan baginya untuk kabur dari sangkar emas yang mengurungnya. Wanita itu turun dari ranjang, rasa nyeri di bawah pusar tidak dihiraukan Citara, ia berfokus pada aksi kaburnya.
"Tidak terkunci," ucap Citara merasa senang.
Tangan wanita itu membuka pintu dengan perlahan, ia merasa beruntung karena penjaga yang berada di lorong kamarnya sedang tidak ada di tempat.
Citara buru-buru keluar sebelum para penjaga itu datang. Ia turun menggunakan lift. Saat berada di lantai bawah, terlihat ada banyak maid yang berlalu lalang. Dan beberapa penjaga berpakaian hitam.
"Nyonya?"
"Eh, Ka— maksudku Rani." Citara memegangi dadanya karena kaget akan kemunculan Rani di belakangnya saat baru keluar dari lift.
"Nyonya kenapa bisa ada di sini? Bukannya pintu kamarnya sudah dikunci?" tanya Rani dengan wajah curiga.
"E-ee, tadi kata Tu— suamiku aku sudah boleh keluar untuk mencari udara segar agar cepat pulih," jawab Citara menahan kegugupannya.
Citara menunggu reaksi maid yang bernama Rani. Ia berharap jika hari ini adalah hari Keberuntungannya, ia tidak mau kembali disetubuhi oleh Monster Salju yang memperlakukannya dengan kasar.
Bersambung ....
Akankah Citara berhasil kabur dari mansion Varen?
Terima kasih sudah membaca cerita ini😍😍😍 lope-lope sekebon zeyeng-zeyengku.