Raisa memiliki prinsip untuk tidak memiliki anak setelah menikah. Awalnya Edgar, suaminya menerima prinsip Raisa itu. Tapi setelah 6 tahun pernikahan, Edgar mendapatkan tekanan dari keluarganya mengenai keturunan. Edgar pun goyah dan hubungan mereka berakhir dengan perceraian.
Tanpa disadari Raisa, ternyata dia mengandung setelah diceraikan. Segalanya tak lagi sama dengan prinsipnya. Dia menjadi single mother dari dua gadis kembarnya. Dia selalu bersembunyi dari keluarga Gautama karena merasa keluarga itu telah membenci dirinya.
Sampai suatu ketika, mereka dipertemukan lagi tanpa sengaja. Di saat itu, Edgar sadar kalau dirinya telah menjadi seorang ayah ketika ia sedang merencanakan pernikahan dengan kekasihnya yang baru.
Akankah kehadiran dua gadis kecil itu mampu mempersatukan mereka kembali?
Follow Ig : @yoyotaa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoyota, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 35
Mia sudah diperbolehkan pulang oleh dokter, tapi tetap saja Mia masih belum boleh banyak bergerak, karena bisa saja kakinya akan membengkak. Tapi, namanya juga anak-anak, Mia tetep nekat berjalan tanpa mengenakan tongkat yang mengakibatkan dirinya jatuh dan menangis.
"Makanya jadi orang itu jangan bandel kalau di bilangin dokter. Sudah tahu kamu masih belum bisa banyak gerak. Jangan banyak bertingkah deh!"
Meski Kia marah-marah, kembaran Mia itu juga membantu Mia berdiri dan memapahnya untuk kembali duduk diam di sofa.
"Aaa, aku nggak suka begini, aku mau cepat lari-lari dan jalan-jalan lagi. Aku tidak suka kalau cuma berdiam diri," rengek Mia yang membuat Kia menutup kupingnya.
"Kalau itu keinginan kamu, harusnya kamu menurut supaya cepat sembuh."
Mia pun memanyunkan bibirnya. Dia benar-benar mudah bosan kalau cuma berdiam diri saja, sampai ketika Raisa datang membawa ayam goreng bagian paha kesukaan Mia. Hal itu membuat suasana hati Mia menjadi lebih baik.
"Mami tahu, kamu tidak suka cuma diam di rumah aja. Tapi, kalau kamu banyak gerak, yang ada kaki kamu tambah parah. Jadi, untuk sekarang dengarkan apa yang dikatakan oleh dokter dan patuhi apa yang mami perintahkan. Bisa kan, sayang?"
Mia pun mengangguk sambil memakan ayam gorengnya. Ia makan dengan lahap, karena ketika dirinya di rumah sakit, makanan disana sangat-sangat tidak menggugah selera.
Tak hanya Mia saja yang dibelikan ayam goreng, tentunya Kia juga. Karena Raisa tak mau pilih kasih di antara kedua anaknya.
"Ngomong-ngomong kenapa Papi belum jenguk aku ketika aku sudah di rumah Mi?"
"Papi kalian sibuk," jawab Raisa.
"Begitu ya Mi," ucap Mia dengan wajah yang berubah jadi sedih tapi meski sedih ia tak mau mengganggu papinya kalau memang sibuk.
Tak lama kemudian, Pamela datang ke rumah Raisa untuk menjenguk Mia sambil membawakan aneka buah-buahan.
"Maafin Aunty ya, Aunty baru bisa jenguk sekarang. Gimana kaki kamu? Udah enakan?"
Mia menggeleng.
"Kalau udah enakan aku sudah bisa lari-larian Aunty."
"Benar juga, kamu kan tipe orang yang nggak bisa diam." Pamela mengiyakan ucapan Mia.
Beberapa menit setelahnya, Roni juga baru saja pulang kerja. Laki-laki itu sedikit terkejut ketika melihat Pamela ada di rumahnya. Saingannya dalam merebut hati di kembar telah datang.
"Hai Ron, lama tak bertemu. Ternyata kamu semakin ganteng ya," puji Pamela ke Roni.
"Ih, apaan sih Mba. Orang aku dari lahir udah ganteng kok," bantah Roni.
Raisa yang ada disana cuma bisa geleng-geleng kepala aja. Kedua orang itu emang kalau bertemu pasti suka ribut. Meskipun keduanya sama-sama selalu membantu Raisa.
"Udah, jangan mulai deh, Ron. Lebih baik kamu bersihkan tubuhmu dulu. Terus abis itu kita makan bareng."
Roni pun menurut saja, tapi laki-laki itu tetap menatap sinis ke arah Pamela dan dibalas dengan juluran lidah dari Pamela.
"Kenapa sih kalian suka banget adu mulut kalau bertemu?" tanya Raisa.
"Nggak tahu juga sih, aku cuma suka aja lihat ekspresi Roni. Terus aku juga nggak mau kalah dari dia untuk mengambil hati si kembar. Aku kan Aunty kesayangan mereka."
"Awas nanti jatuh cinta sama adikku," ucap Raisa mengingatkan.
"Nggak lah, adik kamu terlalu muda untukku."
"Kan jodoh siapa yang tahu," jawab Raisa.
Satu jam telah berlalu, si kembar sudah tidur di kamarnya, kini tinggallah tiga orang dewasa di ruang tamu.
Pamela mendengarkan cerita dari Raisa tentang apa yang terjadi pada wanita itu. Semuanya, bahkan tak ada yang ditutup-tutupi termasuk Edgar yang asal bicara di rumah sakit waktu itu.
"Lantas apa yang akan kamu lakukan selanjutnya? Apa kamu akan segera memberitahukan ke seluruh keluarga besar Edgar? Jika seandainya, Edgar benar-benar membatalkan pernikahannya, apa kamu akan kembali bersamanya?"
"Aku belum siap untuk memberitahukan ke keluarga besar Edgar. Aku benar-benar bingung La, aku nggak tahu harus apa. Aku cuma takut, semua orang akan menyalahkan aku dan si kembar kalau Edgar benar-benar membatalkan pernikahannya. Padahal bukan itu tujuanku sampai akhirnya mengizinkan mereka untuk bertemu. Aku hanya ingin mereka saling mengenal sebagai ayah dan anak. Karena aku sadar kisahku sudah selesai di waktu dulu."
Pamela mendengarkan dengan baik curhatan hati Raisa sambil terus mengamati raut wajah Raisa. Dia tersenyum tipis, karena menemukan sesuatu.
"Mungkin kisah kalian memang sudah selesai di waktu dulu. Lantas apa cinta kalian sudah selesai? Yang aku lihat dari wajahmu dan ceritamu tentang Edgar, Edgar masih belum melupakan kamu sepenuhnya, dan kamu juga demikian."
Raisa menggeleng. Ia menyangkal ucapan Pamela itu.
"Kisah kami sudah selesai begitu juga dengan cintanya. Yang tersisa hanya anak di antara kami, tidak lebih dari itu. Lagipula aku tidak ingin merusak kebahagian orang lain."
Pamela meraih tangan Raisa dan menggenggamnya.
"Tidak ada yang merusak kebahagiaan orang lain disini, Ra. Kamu hanya berjuang untuk kebahagian si kembar dan juga diri kamu sendiri."
Karena sudah tak mau membahas masalahnya lagi, Raisa memilih untuk mencari topik pembicaraan lain. Untungnya, Pamela mengerti dan mengikuti arah pembicaraan Raisa. Roni yang sedari tadi cuma menyimak masih tetap menyimak daripada sekalinya bicara tapi malah dimarahi habis-habisan oleh kedua wanita yang ada bersamanya.
Malam itu, Pamela menginap di rumah Raisa dan tidur seranjang dengan Raisa. Ketika di tengah malam, dirinya keluar dari kamar untuk mengambil minuman dingin dari kulkas. Tak sengaja, ia bertabrakan dengan Roni yang baru saja mengambil air minum juga.
"Aduh! Kalau jalan lihat-lihat dong!" kesal Pamela.
"Ya maaf Mba. Maklum lampunya kan juga dimatikan. Minim penerangan jadi susah buat jalan," jawab Roni.
Ketika Roni mau pergi dari sana, Pamela menahannya dan mengajak Roni bicara berdua. Terkadang keduanya bisa terlihat saling bersaing, saling tidak suka dan saling bersekutu untuk masalah Raisa dan si kembar. Seperti halnya kini, mereka tampak berbaikan.
"Menurut kamu, apa Edgar akan benar-benar membatalkan pernikahannya dengan Tamara?"
Roni mengangkat bahunya tidak tahu.
"Aku memang menginginkan kebahagiaan untuk Mba Raisa, tapi kalau kebahagiaan itu justru berubah jadi tekanan lagi seperti dulu. Aku lebih memilih Mba Raisa tetap jadi single mom. Meskipun nanti benar Mas Edgar membatalkan pernikahannya, aku ingin Mba Raisa memikirkan matang-matang alasannya kembali. Mba Pamela sendiri tahu bagaimana keras kepalanya Mba Raisa. Bagaimana penderitaan yang dialami Mba Raisa."
Mendengar tanggapan dari Roni, Pamela pun sadar, akan banyak hati yang terluka jika mengambil keputusan secara tergesa-gesa. Mungkin Raisa memikirkan kebahagian orang lain. Padahal dirinya sendiri juga perlu bahagia untuk tetap waras dalam menjalani kehidupannya.
"Saat ini, kita hanya bisa terus mendukung keputusan Mba Raisa aja."
"Kamu benar Ron. Tapi aku tetap tak bisa kalau cuma mendukung tanpa membantu mendorongnya untuk lebih berani lagi. Tolong ingatkan aku nanti kalau sekiranya aku melewati batasku."
"Oke," jawab Roni lalu beranjak dari sana ke kamarnya.
"Kamu harus bahagia Ra. Sudah cukup penderitaan yang kamu alami selama ini."
*
*
TBC