Kanara Rusadi, wanita beranak satu yang menikah dengan laki-laki keji karena dijual oleh ibu tirinya. Kanara kabur dari rumah akibat mendapatkan kekerasan dari suaminya. Ia bersama putranya harus hidup serba berkekurangan.
Demi sang putra dan berbekal ijasah SMA, Kanara bertekad masuk di sebuah perusahaan besar milik laki-laki yang pernah dia tabrak mobil super duper mahalnya.
Pertemuan awal mereka meninggalkan kekesalan Brandon. Namun seiring berjalannya waktu, Brandon mengetahui bahwa Kanara sedang bersembunyi dari suaminya dan saat ini berada di dalam bahaya yang mengancam nyawanya.
Brandon yang diam-diam mulai ada rasa pada Kanara, berusaha menyelamatkan wanita itu dari ancaman sang suami yang berkuasa di dunia gelap. Tanpa ia sadari Kanara adalah wanita yang pernah pernah terjerat dengannya sepuluh tahun lalu dan bocah bernama Bian itu adalah putra kandungnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Apa pekerjaan suaminya?
Brandon bergumam dalam hati ketika masuk ke dalam kontrakan Kanara. Rasa-rasanya ia ingin membelikan rumah baru yang jauh lebih layak di huni oleh ibu dan anak yang masih dia gendong itu. Tapi itu tidak mungkinkan? Dia bukan siapa-siapa, untuk apa peduli pada kehidupan orang lain yang baru dia kenal. Yang dirinya akan dianggap aneh.
"Pak ... Eh bos, anak saya baringkan di sofa ini saja. Biar saya yang memindahkannya ke kamar." ucap Kanara. Ia masih merasa tidak enak pada Brandon.
"Langsung di kamar saja. Tidak baik anak kecil kau tidurkan di sofa." ucap Brandon. Karena pria itu berkata begitu, Kanara pun tidak tahu mau bilang apa lagi. Ia lalu berjalan menuju kamarnya dan Bian.
Kamar di kontrakan ini hanya ada satu. Dan ukurannya kecil. Bahkan terbilang sangat kecil. Brandon sampai sakit mata melihat kamar sekecil ini, kalau dia yang tidur di sini, dia yakin dirinya tidak akan bernafas dengan nyaman. Kamar mandi Bian lebih besar dari kamar tidur ini.
Brandon membaringkan Bian dengan hati-hati ke atas kasur. Bocah itu pulas sekali sehingga tidak terganggu dengan bunyi-bunyi ataupun suara orang berbincang-bincang.
"Kalau aku tidak salah lihat, kamar di rumah ini hanya satu kan?" bukannya keluar dari kamar, Brandon justru bertanya.
Pria itu bingung kenapa dia jadi kepo sekali pada wanita di depannya ini.
Saat wanita itu menganggukkan kepala, Brandon bertanya lagi.
"Lalu, di mana kau dan suamimu tidur?" Mungkin pertanyaan itu terkesan agak lancang. Tapi kalimat itu keluar begitu saja dari mulutnya tanpa bisa ia cegah.
Ia melihat Kanara terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya menjawab.
"Aku tidur dengan putraku di sini."
"Kalau begitu suamimu tidur di mana?" Tuhkan. Lagi-lagi Brandon tidak tahan untuk menanyakan sesuatu yang sebenarnya tidak penting untuk dia tanyakan.
Namun Brandon selalu merasa Kanara adalah wanita yang misterius. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan.
"Mm, suamiku ... Aku ... kami tidak tinggal bersama sekarang."
Ah, jadi begitu? Apa mereka bercerai? Atau bertengkar sehingga wanita ini kabur membawa anaknya? Oh, pantas saja waktu itu mereka masuk diam-diam ke dalam bagasi mobilnya. Pasti mereka kabur dari rumah malam itu.
Brandon tidak bicara lagi. Ia melirik Bian, cukup lama ia menatap bocah yang beberapa tahun lebih tua dari Zane, keponakan tersayangnya. Sudut bibirnya terangkat melihat cara bocah tersebut tidur, lucu saja dimatanya. Dulu Brandon tidak begitu suka anak-anak, tapi setelah Yara melahirkan Zane, dia jadi senang sekali melihat anak-anak. Termasuk bocah yang ketiduran itu, entah kenapa Brandon merasa tertarik sekali melihat bocah itu.
"Ehem, bos itu, mm ... Eh ..." Kanara berdeham dan memanggil Brandon dengan sebutan bos dan berbicara tidak jelas. Maksudnya ia ingin pria itu pulang saja karena keadaan yang ia rasakan sekarang sangat canggung. Pria itu juga adalah seorang laki-laki yang bukan suaminya, bukan saudara dan tidak ada hubungan apa-apa dengan selain atasan di tempatnya bekerja. Tidak baik dia ada di rumah seorang wanita beranak satu seperti Kanara.
Brandon menatap wanita itu tanpa bicara sepatah katapun, hanya menatap menunggu Kanara yang bicara.
Aduh, bagaimana ini? Laki-laki ini sepertinya kurang peka. Mana mungkin aku mengusirnya dari rumah ini secara terang-terangan. Bisa-bisa dikantor aku tinggal nama.
Batin Kanara.
"Kau ingin aku pergi sekarang?"
Kanara tersenyum tidak enak sambil menggaruk-garuk pangkal lehernya yang tidak gatal. Brandon seperti bisa membaca pikirannya. Kanara yang malu.
"Bu - bukan seperti itu."
Brandon mendengkus.
"Karena kau sudah mengusirku, lebih baik aku pergi saja. Jangan lupa kunci pintu rumahmu. Lingkungan di sekitar sini memang terkenal aman, tapi kau harus tetap berjaga-jaga." setelah mengatakan itu, Brandon keluar.
Kanara mengikutinya sampai di depan pintu keluar. Ia sudah merasa tidak enak sekali pada sang bos. Ia terus menggigit bibirnya sambil terus berjalan dengan kepala menunduk. Kanara tidak sadar kalau dirinya sudah berada di depan pintu keluar. Nanti saat kepalanya tidak sengaja menubruk pintu barulah dia kaget.
Brukk!!
Bunyinya kuat. Brandon Brandon yang telah melewati garis pintu sampai berbalik. Lelaki itu langsung mendekati Kanara lagi saat melihat dahi wanita itu berdarah. Tidak banyak, tapi harus di obati.
"Bagaimana caramu berjalan tadi sampai-sampai menabrak pintu? Lihat, kau terluka sekarang. Apa kau memang selalu ceroboh?" Brandon gemas sekali pada wanita ini.
"Ayo duduk dulu di sana." katanya kemudian. Brandon lalu menarik pelan tangan wanita itu membawanya duduk di sofa kemudian memeriksa dahinya yang terluka.
"Kau ada kotak obat?" tanya Brandon.
Kanara mengangguk.
"Tunggu sebentar aku akan mengambilnya." wanita itu siap-siap berdiri tapi Brandon menahan tangannya.
"Katakan dimana kau menaruhnya, biar aku yang ambil." kata pria itu.
Waktu Kanara melihat tatapannya, wanita itu langsung merasa kalau laki-laki di depannya ini tidak bisa dibantah. Ia pun akhirnya mengatakan di mana ia meletakkan kotak obat.
"Di laci meja itu." Kanara menunjuk meja yang ada sebelah kiri paling sudut ruang tamu tersebut. Kanara baru membeli kotak obat tersebut dua hari lalu. Ia selalu berjaga--jaga jangan sampai putranya terluka.
Brandon berdiri mendekati meja itu, kemudian kembali lagi dengan membawa kotak obat di tangannya. Pria itu mulai membersihkan luka kecil di dahi bagian kiri wanita itu dengan telaten.
Kanara menahan nafas. Jantungnya berdebar-debar, mungkin karena Brandon adalah sosok laki-laki yang sangat tampan serta seorang bos yang rada-rada menakutkan jadi dia merasa gugup sekali berada di dekat lelaki itu.
"Kau gugup," kata-kata tersebut keluar dari mulut Brandon. Tangannya sibuk mengobati wanita itu. Kanara tidak bicara, ia hanya menatap pria itu, ekspresi wajahnya memang terlihat gugup.
Siapa juga yang tidak gugup pada bos mereka?
Brandon pun tidak bicara lagi. Suasana ruangan menjadi hening dan canggung.
"Ingat untuk membersihkan dan mengganti plester besok pagi." kata pria itu. Lagaknya sudah seperti dokter saja, apa mungkin karena perusahaannya berhubungan dengan obat-obatan?
"Kalau jalan hati-hati. Jangan selalu menunduk dan melamun. Kau itu sudah punya anak, kalau terjadi sesuatu padamu, siapa yang akan mengurus anakmu?"
Pria itu kedengaran seperti sedang mengomelinya. Aneh sekali. Kanara jadi merasa seperti anak kecil yang sedang di omeli habis-habisan. Padahal dirinya adalah wanita dewasa berumur 28 tahun. Biasanya Kanara jarang sekali ceroboh, dia juga heran kenapa kalau ada di dekat laki-laki ini dirinya selalu saja menjadi ceroboh.
Selesai mengobati luka Kanara, Brandon mengembalikan kotak obat tersebut di tempat dia mengambilnya tadi.
"Aku pulang dulu. Jangan lupa pekerjaanmu besok, buatkan aku kopi." katanya sudah berdiri di depan Kanara.
Kanara menganggukkan kepalanya. Pertama kalinya bekerja, dirinya di pertemukan dengan seorang bos yang kepribadiannya sulit diprediksi. Kanara saja masih tidak menyangka tamu pertama yang menginjakkan kaki di rumahnya adalah pria itu.
iya bos tes dna aja sambil nunggu info lengkap dr pengawalmu,,,
bian sini onty bisikin lg,, bos brandon itu daddymuuuu😍
aku suka