Kisah cinta si kembar Winda dan Windi. Mereka sempat mengidamkan pria yang sama. Namun ternyata orang yang mereka idamkan lebih memilih Windi.
Mengetahui Kakanya juga menyukai orang yang sama dengannya, Windi pun mengalah. Ia tidak mau menerima lelaki tersebut karena tidak ingin menyakiti hati kakaknya. Pada akhirnya Winda dan Windi pun tidak berjodoh dengan pria tersebut.
Suatu saat mereka bertemu dengan jodoh masing-masing. Windi menemukan jodohnya terlebih dahulu dibandingkan Kakaknya. Kemudian Winda berjodoh dengan seorang duda yang sempat ia tolak lamarannya.
Pada akhirnya keduanya menjalani kehidupan yang bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda RH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah sakit
Sampai di rumah, Rayyan bercerita kepada Maminya tentang pertemuannya dengan Om Javier di taman. Anak itu sangat antusias menceritakan keseruannya bermain bola dengan Om Javier.
"Tapi kasian, Mami. Om nya kakinya sakit. Pake tongkat jadinya. "
"Oh ya? Kasihan sekali."
"Tapi Om nya baik, mau main sama Rayyan. Om nya juga kenal sama anti."
Fatin langsung melirik adiknya seolah memberi kode menanyakan siapakah sebenarnya orang yang diceritakan putranya.
"Rekan kerja, Mbak. Sudah ah, aku mau shalat Maghrib dulu."
Sementara Rayyan masih saja nyerocos bercerita soal Om Javier dan keseruannya naik motor bersama Anti Windi.
Windi masuk ke kamarnya untuk berwudhu' kemudian ia turun ke bawah shalat jama'ah bersama keluarganya. Biasanya mereka akan menunggu waktu isyak jika tidak ada kepentingan. Setelah selesai shalat isyak mereka makan malam.
Saat ini mereka sedang berkumpul di ruang keluarga. Bunda Salwa, sangat senang jika anak-anaknya ngumpul seperti ini. Hanya Fatin yang tidak bisa ikut ngumpul karena istrinya baru melahirkan dua minggu yang lalu. Fatin pulang ke Surabaya karena menjenguk keponakan barunya.
Keesokan harinya.
Windi berangkat ke kantor menggunakan mobil karena motornya sedang di service. Satu minggu yang lalu, kantor dihebohkan dengan kebenaran soal jati diri Windi. Noval tidak ingin ada kesalahpahaman di kantor, sehingga ia mengungkap kebenaran soal status Windi yang merupakan sepupunya dan juga memiliki hak di dalam perusahaan itu. Mendengar hal tersebut Rida yang sebelumnya selalu memberi peringatan kepada Windi menjadi insecure. Ia malu sekali kepada Windi. Bahkan tidak berani menampakkan wajahnya di hadapan Windi. Doni pun demikian. Ia jadi tak enak hati karena sempat salah sangka kepada Windi. Meski begitu Windi tetaplah menjadi orang yang rendah hati.
Windi berangkat lebih pagi karena ia takut kena macet.
Di jalan yang hampir sampai ke kantor, Windi tidak sengaja menabrak seorang anak kecil yang dengan tiba-tiba menyebrang jalan. Beruntung laju mobil tidak terlalu kencang.
Ciiit...
Windi ngerem mendadak. Dan anak kecil tersebut sedikit terpental.
"Soni.....!"
"Astagfirullahal 'adhim."
Sontak Windi membuka self belt dan segera turun. Ibu anak tersebut langsung berlari. Ada beberapa orang yang mendekati.
"Soni... "
"Ibu... "
Anak tersebut pingsan setelah memanggil Ibunya.
"Mbak anda harus bertanggung jawab." Ujar seorang Ibu.
"Iya, Mbak."
"Maaf, saya pasti akan bertanggung jawab kok."
"Mbak ini ndak salah. Sebenarnya saya yang teledor. Anak saya terlalu aktif dan lepas dari pengawasan." Sahut Ibu Soni.
Meski begitu, Windi tetap bersikukuh membawa anak tersebut ke rumah sakit. Ia tidak ingin terjadi apa-apa dan nantinya takut disalahkan.
Mereka sampai di rumah sakit.
"Suster, tolong!"
Seorang perawat mendorong brangkar untuk membawa anak tersebut masuk ke ruang UGD. Dokter dan suster langsung menanganinya.
"Bagaimana, anak saya, dok?"
"Dia pingsan karena terkejut. Alhamdulillah tidak ada luka yang serius. Tulangnya juga aman. Luka di kaki dan tangannya biar dibersihkan agar tidak infeksi. Sebentar lagi dia pasti siuman."
"Terima kasih, dok."
Windi menghubungi Noval untuk memberitahukan bahwa ia akan telat sampai di kantor.
"Bu, duduk saja dulu. Sebentar saya belikan minuman."
Windi berjalan ke arah kantin rumah sakit. Ia membeli minuman dan roti untuk Ibu Soni. Namun saat akan kembali ke ruang UGD, ia melihat seseorang jatuh.
"Mari saya bantu."
Saat orang tersebut menoleh.
Jreng jreng...
"Tuan Javier... "
"Nona Windi... "
"Javier sudah aku bilang jangan keras kepala!" Ujar Kanzha yang baru saja sampai.
Windi menoleh ke sumber suara.
"Eh, maaf Mbak. Tadi saya hanya ingin membantunya. Karena sudah ada anda, jadi saya permisi dulu. Mari... " Windi membungkukkan badan.
Khanza belum membalas ucapan Windi, namun Windi sudah berlalu dari hadapan mereka.
Kanzha membantu adiknya berdiri.
"Kak, kamu datang salah waktu."
"Ck... apa maksudmu? Apa kamu kenal sama cewek tadi, hem? Ayo kita ke ruang dokter Adi. Dia sudah menunggu kita."
"Iya, ya... "
Javier tidak ingin Kakaknya bertanya lagi.
Sementara Windi meraba dadanya.
"Duh untung saja aku tidak sampai menyentuhnya tadi. Bisa-bisa aku disangka pelakor. Ih serem... Istrinya cantik juga." Batin Windi.
Windi sudah sampai di ruang UGD. Ternyata anan yang ia tabrak sudah siuman. Windi memberikan air minum dan roti kelada Ibu Soni.
"Harus, bu."
Ibu Soni memberikan air mineral untuk anaknya. Windi memanggil dokter untuk memeriksa ulang keadaan Soni.
"Kepalanya sakit?"
Soni menggeleng.
"Apa yang dirasa?"
"Perih di kaki dan tangan, dok."
"Iya itu karena kamu terluka."
"Ya sudah tunggu beberapa saat lagi, nanti boleh pulang." Ujar dokter.
20 menit kemudian, Windi pergi ke tempat resepsionis untuk membayar administrasi dan menebus obat untuk Soni.
Javier dan Kanzha baru saja keluar dari ruang dokter Adi. Mereka baru selesai konsultasi masalah kaki Javier.Mereka pun turun ke lantai bawah.
"Javier duduk di kursi itu dulu, aku mau ke toilet. Awas jangan ke mana-mana dulu!"
"Oke."
Namun Javier tetap saja melanjutkan langkahnya sampai ke ruang resepsionis. Windi baru saja selesai melunasi administrasi Soni. Lagi-lagi Javier bertemu dengan Windi. Mereka berpapasan di depan ruang resepsionis saat Windi baru saja berbalik badan, ia membentur tongkat Javier. Hampir saja Javier kehilangan keseimbangan. Namun Windi dengan sigap memegang lengan Javier.
"Maaf-maaf, Tuan."
"Au... "
"Eh ada yang sakit, Tuan?"
"Kakiku kram."
Kaki Javier kram karena menahan.
"Astagfirullah.... bagaimana ini?"
Windi mulai panik.
"Jangan panik! Bentar lagi juga akan sembuh."
"Tuan, anda sendiri? Mana istri anda. Bukankah tadi anda bersamanya?"
Javier mengerutkan dahinya. Otaknya belum terkoneksi dengan ucapan Windi.
"Bisa tolong bantu saya?"
"Eh iya, Tuan."
Windi menu tun Javier untuk duduk di kursi.
"Kamu di sini sedang apa?"
"Tadi saya tidak sengaja menabrak seorang anak kecil yang lepas dari pengawasan Ibunya. Untungnya anaknya tidak apa-apa."
"Bukannya ini sudah jam 10? Kamu tidak ke kantor?"
"Iya, tadi juga pas mau berangkat kejadiannya. Jadi saya ijin terlambat."
Kanzha yang baru saja keluar dari toilet mencari keberadaan adiknya.
"Ya Allah... Javier, kamu itu bikin khawatir! Kemana lagi tuh orang!" Gerutu Kanzha.
Namun saat melihat adiknya sedang ngobrol dengan perempuan yang tadi sempat ia lihat sebelumnya, Kanzha memutuskan untuk memperhatikan mereka dari jauh.
Entah kenapa Windi justru duduk di kursi samping Javier dan menanyakan keadaannya.
"Tuan, apa kaki anda sudah tidak kram?"
"Alhamdulillah..."
"Maaf Tuan, kalau boleh tahu kenapa dengan kaki anda?"
"Kecelakaan."
"Innalillahi wainna ilaihi roji'un. Maaf saya tidak tahu, Tuan. Semoga anda diberikan kesabaran dan kesembuhan seperti sedia kala."
"Amin, Terima kasih. "
"Oh iya maaf saya sampai lupa. Saya harus segera ke UGD, karena anak yang saya tabrak sudah boleh pulang. Saya permisi duluan, Tuan. Mari, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Javier menyunggingkan senyumnya saat Windi berlalu dari hadapannya.
Kanzha yang sudah lama tak melihat senyum adiknya itu, kini penasaran dengan sosok Windi. Ia menghampiri adiknya dan pura-pura tidak tahu apa-apa.
Bersambung....
...****************...
semangat menulis dan sukses selalu dengan novel terbaru nya.
apa lagi ini yang udah 4tahun menduda. 😉😉😉😉😉😉