Hidup Kirana Tanaya berubah dalam semalam. Ayah angkatnya, Rangga, seorang politikus flamboyan, ditangkap KPK atas tuduhan penggelapan dana miliaran rupiah. Keluarga Tanaya yang dulu disegani kini jatuh ke jurang kehancuran. Bersama ibunya, Arini—seorang mantan sosialita dengan masa lalu kelam—Kirana harus menghadapi kerasnya hidup di pinggiran kota.
Namun, keterpurukan ekonomi keluarga membuka jalan bagi rencana gelap Arini. Demi mempertahankan sisa-sisa kemewahan, Arini tega menjadikan Kirana sebagai alat tukar untuk mendapatkan keuntungan dari pria-pria kaya. Kirana yang naif percaya ini adalah upaya ibunya untuk memperbaiki keadaan, hingga ia bertemu Adrian, pewaris muda yang menawarkan cinta tulus di tengah ambisi dan kebusukan dunia sekitarnya.
Sayangnya, masa lalu keluarga Kirana menyimpan rahasia yang lebih kelam dari dugaan. Ketika cinta, ambisi, dan dendam saling berbenturan, Kirana harus memutuskan: melarikan diri dari bayang-bayang keluarganya atau melawan demi membuktika
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sisi Lembut
Di sebuah toko perhiasan mewah di dalam mal, Haryo tampak antusias memilih-milih cincin pernikahan. Ia berdiri di depan etalase kaca, menunjuk beberapa cincin berlian kepada petugas toko yang melayani dengan senyum profesional. Sementara itu, Kirana berdiri beberapa langkah di belakangnya, tampak seperti bayangan yang enggan mengikuti pemiliknya.
"Bagaimana menurutmu, Kirana? Yang ini atau yang itu?" tanya Haryo sambil menoleh ke arah Kirana, menunjuk dua cincin dengan desain berbeda.
Kirana hanya mengangguk pelan tanpa menatap cincin-cincin tersebut. "Terserah kamu," jawabnya singkat.
Haryo mendekatinya dan menyentuh bahunya dengan lembut. "Kirana, ini adalah cincin pernikahan kita. Aku ingin kau juga memilih yang kau suka," ujarnya dengan nada seolah penuh perhatian, meskipun Kirana tahu itu hanya topeng belaka.
Kirana akhirnya mengangkat pandangannya ke arah cincin-cincin itu, tapi pikirannya jauh dari apa yang ada di depannya. Ia memikirkan berbagai cara untuk melarikan diri, meskipun ancaman tentang ayahnya membuatnya terjebak. "Aku tidak tahu. Pilih saja yang kau suka," katanya dingin.
Haryo tersenyum tipis, lalu menunjuk salah satu cincin kepada petugas. "Kalau begitu, saya pilih yang ini. Ukuran yang sesuai untuk kami, ya," katanya.
Petugas toko mengangguk dan mulai menyiapkan cincin tersebut. Sementara itu, Kirana merasa sesak. Setiap menit yang ia habiskan bersama Haryo seperti rantai baru yang mengikat kebebasannya lebih erat. Di sudut matanya, ia melihat pintu keluar toko yang hanya beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Namun, ia tahu, meskipun ia berlari, ancaman itu tidak akan hilang.
"Aku ingin duduk," kata Kirana tiba-tiba, mencoba menjauh dari Haryo sejenak.
"Oh, tentu. Ada tempat duduk di pojok sana," kata Haryo sambil menunjuk. "Tapi jangan pergi terlalu jauh, ya."
Kirana berjalan menuju kursi yang ditunjukkan, lalu duduk dengan tubuh lemas. Ia mencoba menenangkan pikirannya. "Apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku hidup seperti ini selamanya," pikirnya.
Ketika ia sedang termenung, sebuah suara lembut menyapanya. "Nona, Anda kelihatan tidak baik-baik saja. Apakah Anda butuh bantuan?"
Kirana menoleh dan melihat seorang wanita paruh baya dengan seragam petugas kebersihan berdiri di dekatnya. Wanita itu memandangnya dengan tatapan penuh perhatian.
"Tidak apa-apa," jawab Kirana pelan, meskipun hatinya ingin berteriak meminta tolong.
Wanita itu tampak ragu untuk pergi, tapi akhirnya tersenyum kecil sebelum melanjutkan pekerjaannya.
Beberapa menit kemudian, Haryo menghampiri Kirana dengan wajah puas. "Cincinnya sudah siap. Kita akan memakainya di hari yang paling bahagia dalam hidup kita," ujarnya sambil menunjukkan kotak kecil berisi cincin itu.
Kirana hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa.
Saat Haryo dan Kirana melangkah keluar dari toko perhiasan, sebuah keributan kecil menarik perhatian mereka. Di dekat eskalator, seorang wanita paruh baya dengan seragam petugas kebersihan terlihat sedang dimarahi oleh seorang pengunjung mall yang tampak angkuh. Wanita itu menunjuk-nunjuk wajah petugas kebersihan tersebut dengan nada tinggi.
"Apa-apaan ini? Kau tahu berapa mahal sepatuku? Kau yang membersihkan lantai kan? Kenapa sampai licin begini?!" bentak wanita itu sambil melipat tangan di dada.
Wanita tua itu membungkuk berkali-kali. "Maafkan saya, Ibu. Saya sudah bersihkan lantai seperti biasa. Tapi kalau ada keluhan, saya akan segera periksa lagi."
Namun, permintaan maaf itu tidak membuat wanita angkuh itu berhenti. "Permintaan maaf tidak cukup! Aku bisa melaporkanmu ke manajemen! Ini mall mewah, bukan tempat sembarangan!"
Haryo yang melihat kejadian itu segera menghentikan langkahnya. Wajahnya berubah serius. "Tunggu sebentar," katanya sambil menoleh ke Kirana. "Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi."
Ia berjalan mendekat dengan langkah cepat, meninggalkan Kirana yang hanya bisa memperhatikan dari belakang.
"Permisi, Ibu," sapa Haryo dengan suara tegas namun tenang. "Apa yang sedang terjadi di sini?"
Wanita itu menoleh dan memandang Haryo dari ujung kepala hingga kaki, menilai. "Tidak ada urusanmu, Tuan. Wanita ini membuat sepatuku kotor dan hampir membuatku jatuh!"
Haryo menatap wanita tua itu, yang terlihat ketakutan dan mencoba menjelaskan. "Tuan, saya benar-benar tidak sengaja. Lantainya sudah saya bersihkan, tapi mungkin ada air yang tertinggal."
Haryo mengangguk, lalu berbalik ke arah wanita angkuh tersebut. "Bu, saya paham ini membuat Anda tidak nyaman. Tapi tidak perlu memperlakukan orang lain seperti ini. Kita semua manusia, bukan? Saya yakin petugas ini tidak berniat menyakiti Anda."
"Kau membelanya? Tahu apa kau tentang ini?!" wanita itu membalas dengan nada tinggi.
Haryo tetap tenang. "Yang saya tahu, dia sudah minta maaf dan menawarkan solusi. Mungkin masalahnya bisa selesai tanpa harus membuat keributan seperti ini."
Kirana, yang berdiri agak jauh, menyaksikan semuanya dengan diam. Ini pertama kalinya ia melihat sisi Haryo yang berbeda — sisi yang tidak otoriter atau kasar. Meski begitu, ia menepis pikirannya. "Dia hanya sedang menunjukkan sikap baik di depan umum," pikir Kirana.
Wanita angkuh itu mendengus. "Lupakan saja. Aku tidak punya waktu untuk ini." Ia melangkah pergi dengan wajah kesal, meninggalkan suasana yang tiba-tiba lebih tenang.
Wanita tua itu membungkuk berulang kali kepada Haryo. "Terima kasih, Tuan. Saya tidak tahu harus bagaimana kalau Tuan tidak membantu."
"Tidak apa-apa, Bu. Anda tidak salah. Jangan terlalu dipikirkan," jawab Haryo dengan senyuman hangat.
Wanita tua itu kemudian menoleh ke arah Kirana, yang berdiri di dekat mereka. "Ah, jadi ini istri Tuan?" tanyanya sambil tersenyum. "Kalian pasangan yang serasi. Nona, Anda beruntung punya suami sebaik ini."
Kirana hanya terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Ia merasa jengah dengan pujian itu. Namun, sebelum ia sempat merespons, Haryo berbicara.
"Belum, Bu. Tapi terima kasih atas doanya," kata Haryo sambil melirik Kirana dengan senyum yang membuat gadis itu merasa tidak nyaman.
"Oh, maaf, saya kira kalian sudah menikah. Tapi saya yakin, kalian akan jadi pasangan yang bahagia," wanita tua itu menambahkan sebelum akhirnya pergi untuk melanjutkan pekerjaannya.
Haryo menoleh ke Kirana dengan senyuman lebar. "Kau dengar itu? Bahkan orang lain bisa melihat betapa cocoknya kita."
Kirana memalingkan wajahnya. "Jangan terlalu percaya diri," katanya dingin.
Namun, di dalam hatinya, Kirana mengakui bahwa ia bingung. Sikap Haryo yang lembut tadi sedikit menggoyahkan pandangannya. Tapi ia segera mengingat semua perlakuan buruk Haryo sebelumnya, terutama ancamannya.
"Jangan terjebak, Kirana. Dia tetap pria yang memaksamu menikah dengannya," gumamnya dalam hati.
Haryo menyentuh lengannya ringan, membuatnya tersentak. "Ayo, masih ada beberapa tempat lagi yang harus kita kunjungi," kata Haryo.
Kirana mengikuti langkah Haryo keluar dari toko dengan berat hati, sementara pikirannya terus berperang. Ia harus menemukan cara untuk keluar dari situasi ini, meskipun untuk saat ini, ia harus bermain sesuai aturan Haryo.