kisah cinta seorang gadis bar-bar yang dilamar seorang ustadz. Masa lalu yang perlahan terkuak dan mengoyak segalanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 5
Hari berikutnya, Adiba sudah bersih dan cantik. Gadis itu bersiap untuk kencan pertamanya dengan Arga.
Tring!
Pesan WA masuk ke ponselnya. Dengan cepat Adiba menyambar perangkat pintar itu, lalu membukanya. "Yes, dari Arga."
Sudut bibir Adiba terangkat ke atas, dan perlahan turun. Pesan dari Arga sedikit membuatnya kecewa.
("Diba, kita ketemu di Mal aja, ya?!")
("Kenapa nggak jemput Diba di rumah?") Pesan balasan Adiba kirim. Sesaat Adiba menunggu, dan pesan dari Arga pun masuk. Dengan cepat, Adiba membukanya.
("Aku belum siap ketemu Ayah sama Bunda kamu, Diba. Aku belum punya apa-apa untuk dibanggakan. Jadi, gimana? Ketemu di mal mau?")
Walau ada rasa kecewa, Adiba akhirnya memaklumi dan mengiyakan. Sesampainya di mal, Adiba dan Arga berjalan-jalan.
"Yang," panggil Adiba manja mengapit lengan Arga.
"Heemm..."
"Sebenarnya, Bunda pengen ketemu sama kamu!" ungkap Adiba, melangkah memasuki food court di mal. Seketika, wajah Arga berubah.
"Nggak bisa sekarang, Diba. Aku belum siap," tolak Arga, memilih tempat duduk yang dekat dengan jendela kaca, sehingga mereka bisa melihat pemandangan di luar sana."Aku juga pingin bisa main ke rumah kamu, tapi, kamu juga tau aku bahkan belum punya kerjaan. Uang juga masih minta sama Papa. Seenggaknya, setelah kita kuliah dan aku bisa kerja partime. Aku janji, pasti datang ke rumah."
Adiba mengangguk lemas, jika menunggu sudah pasti ia terlanjur menjadi istri Satria. Hal yang paling ia tak mau, dan ia tak ingin Arga tau jika dirinya sudah dalam proses khitbah ustadz Satria. Ia hanya ingin menjalani kisah cinta yang manis dan indah seperti gadis-gadis seusianya.
Lama Adiba dan Arga berbincang sambil menikmati makan siang mereka. Setelah sedari pagi berjalan-jalan dan menghabiskan waktu bersama. Ponsel Arga berdering, cepat pria itu mematikannya.
"Kok nggak diangkat?" tanya Adiba heran, melihat Arga sibuk dengan ponselnya.
"Ini dari Tante. Dari tadi nyuruh datang terus ke rumahnya. Sepupuku datang dari luar kota dan minta nemenin dia. Tapi, kita kan lagi jalan," jelas Arga tanpa lepas pandangan dari ponselnya.
"Oohh,"
Arga terlihat gelisah, beberapa kali memainkan ponselnya dan berbalas pesan.
"Diba, keknya, aku harus ke rumah Tante deh," ujar Arga mengalihkan perhatian dari ponselnya."Sepupu aku cuma beberapa hari di sini. Jadi..."
"Ya udah, nggak papa." Angguk Adiba mencoba mengerti.
"Tapi, aku nggak enak sama kamu, harusnya ini jadi kencan kita," ucap Arga dengan wajah memelas.
"Enggak papa, Ga, udah sana gih. Kasihan sepupu kamu pasti nungguin. Kita bisa lebih sering ketemu. Kalau sepupumu? Dia cuma beberapa hari aja kan di sini?!" ujar Adiba dengan seutas senyuman.
Arga ikut tersenyum, "Iya, sih. Makasih ya Diba, atas pengertian kamu." Adiba mengangguk, "Tapi, maaf, aku nggak bisa antar kamu pulang," lanjut Arga memasang wajah tak enak.
"Nggak papa, lagian tadi kita juga ketemuan di sini, kan? Aku mau main juga ke rumah Yana," ucap Adiba menenangkan.
"Syukurlah kalau begitu. Aku pergi dulu ya." Pamit Arga mencium kening Adiba lalu melangkah pergi sambil melambaikan tangan."Sayang, makanannya biar aku yang bayar. Maaf ya," seru Arga dengan tangan menyatu di dada.
Adiba hanya membalas dengan senyuman dan anggukan. Walau hanya sebentar ia senang bisa berkencan dengan Arga.
"Kamu ngapain ke sini?" Yana yang membukakan pintu untuk Adiba terheran, karena baru lima belas menit yang lalu Adiba membuat status WA jika ia tengah bersama Arga. Tau-tau sudah berada di depan rumahnya.
Adiba nyengir,"Temenin aku yok."
"Ke mana?"
"Ke Pakis."
"Lagi? Mau ngapain? Aaa, jangan-jangan kamu kangen ya sama Mas Satria?" goda Yana mengangkat telunjuknya ke wajah Diba,"Nggak boleh ya, satu-satu. Arga, Arga. Satria, Satria. Jangan ngembat dua-duanya!" omel Yana sambil menggoyangkan telunjuknya itu.”Itu namanya serakah Adiba!”
Adiba mendengus, "Aku mau kamu temenin aku ke Pakis buat nyari kejelekan Mas Satria."
"Nggak ada!" sahut Yana cepat. Mata Adiba membulat, "Iya, nggak ada kejelekannya Ustadz Satria itu. Percaya deh sama aku!" ujar Yana yakin sambil melipat tangan di dada. Adiba menepuk lengan Yana kesal.
"Didunia ini mana ada orang sempurna tanpa kejelekan. Ayookk!"
"Ada dong. Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam."
"Hiiihh, ayok!" Adiba menarik tangan Yana gemas.
"Tapi, ada syaratnya." cetus Yana.
Adiba dan Yana celingukan di kampung Pakis.
"Yana, jangan sampai ketemu sama santrinya Mas Satria. Bisa gawat!" pesan Adiba yang sengaja memarkir motornya di samping mushola dekat gapura kampung Pakis.
"Lah, kenapa?" tanya Yana heran.
"Ck! Mereka kan udah kenal kita. Siapa itu, si Yanto, Yanto itu sama temanya yang lain. Bisa ngadu lagi sama Mas Satria. Eeeuuuuggghhh..." Adiba menyenggol lengan Yana.
"Lah, ya malah bagus, skalian bisa korek info dari mereka. Kamu kek gini mau korek dari siapa? Dapat info kagak, dikira maling iya!" sembur Yana jengkel.
Adiba mendengus,"Ya siapa kek, warga kek.... Ssttt!!" Adiba tiba-tiba sembunyi di balik tembok sebuah bangunan di samping mushola. Ia melihat Satria yang baru saja turun dari motor dan masuk ke playgrup. Yana pun ikut-ikutan ngumpet dan melihat ke arah yang Adiba tunjuk.
"Eeh, ngapain, Ustadz Satria ke sana," bisik Yana ikut heran.
"Abi!"
Dari dalam playgrup terdengar suara seorang anak kecil, yang di susul sosok anak lelaki yang berumur sekitar empat tahunan. Anak kecil itu berlari dan langsung memeluk Satria.
"Abi?" Adiba dan Yana saling pandang.
Adiba tersenyum senang dan segera mengambil gawainya. Dengan cepat ia memfoto serta memvidio Satria dan si anak kecil yang memanggilnya Abi.
"Kok Abi sih? Ustadz Satria kan belum nikah!?" gumam Yana keheranan.
"Nah!" Adiba menjentikkan jarinya, "Inilah kejelekan dia. Akhirnya, Alloh kasih petunjuk, sebelum aku semakin dikibulin sama si Satria itu..."
"Ustad! Mas!" Yana membetulkan cara Adiba menyebut Satria dengan nada yang sedikit tinggi dan di tekan.
"Ck! Dia udah nipu Ayah sama Bunda loh. Katanya lajang, lihat tuh, udah punya anak. Hiiyy, jangan-jangan aku mau dijadikan istri kedua lagi. Hiiyy, ogah." Adiba bergidik ngeri. Yana hanya bisa menggeleng sambil menatap temannya itu.
"Yana, ayo kita pulang. Kita harus segera menunjukan ini sama Bunda sama Ayah," ajak Adiba tak mau membuang waktu.
"Apa nggak sebaiknya kita temui dulu Ustadz Satria nya dan bertanya langsung?" saran Yana merasa berat, karena setau Yana, ustadz Satria memang masih lajang dan belum pernah menikah. Tapi kenapa ada seorang anak kecil yang memanggilnya Abi.
"Nggak usah, udah pasti dia mengelak. Malah nanti dia siapin tuh alasan-alasan nya. Orang seperti Mas Satria itu pandai berkelit," tolak Diba tak sabar menarik lengan Yana menjauh.
Sesampainya Adiba dan Yana di rumah pak Mus. Mereka masih harus menunggu ayahnya itu pulang kerja. Adiba dan Yana mengobrol sambil menunggu di teras. Minum es teh dan camilan. Beberapa menit kemudian, pak Mus pulang.
"Ayah," sapa Adiba riang, menyalami dan mencium tangan pak Mus. Yana pun melakukan hal yang sama.
"Udah lama Yana di sini?"
"Nggak, pak Dhe. Kelamaan mainnya aja tadi," jawab Yana nyengir.
"Ayah, Diba mau ngomong sama ayah," sela Adiba tak sabar.
"Ya dari tadi ngapain? Kumur?" Pak Mus terkekeh sembari masuk. Adiba mengerucutkan bibirnya.
"Diba, kan Bunda dah bilang, nanti. Tunggu Ayah istirahat dan mandi dulu," tegur bu Sawitri dari dalam.
"Iya," sahut Adiba pasrah.
Setelah cukup sabar menunggu sang ayah mandi dan sudah duduk-duduk santai di ruang tamu. Adiba bergegas duduk bergabung dan tak sabar untuk menyampaikan apa yang dia lihat dan dengar. Tak lupa ia menyeret Yana ikut. Yana adalah saksi kunci terpenting di sini.
"Ayah, Bunda." Adiba memulai membuka suara. "Ayah, sama Bunda jangan kaget ya, ini tentang Mas Satria."
Pak Mus yang baru menyeruput tehnya seketika melihat sang anak yang duduk di sebrang. Pria itu meletakkan cangkirnya di meja. Wajah pak Mus serta bu Sawitri menyiratkan tanya.
"Ustadz Satria kenapa?"
"Jadi, sebenarnya.." Adiba langsung menunjukan Vidio yang tadi dia ambil diam-diam."Mas Satria itu udah punya anak. Dia udah nipu kita, Yah, Bun."
***