Lunara Ayzel Devran Zekai seorang mahasiswi S2 jurusan Guidance Psicology and Conseling Universitas Bogazici Istanbul Turki. Selain sibuk kuliah dia juga di sibukkan kerja magang di sebuah perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI.
Ayzel yang tidak pernah merasa di cintai secara ugal-ugalan oleh siapapun, yang selalu mengalami cinta sepihak. Memutuskan untuk memilih Istanbul sebagai tempat pelarian sekaligus melanjutkan pendidikan S2, meninggalkan semua luka, mengunci hatinya dan berfokus mengupgrade dirinya. Hari-hari nya semakin sibuk semenjak bertemu dengan CEO yang membuatnya pusing dengan kelakuannya.
Dia Kaivan Alvaro Jajiero CEO perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI. Kelakuannya yang random tidak hanya membuat Ayzel ketar ketir tapi juga penuh kejutan mengisi hari-harinya.
Bagaimana hari-hari Ayzel berikutnya? apakah dia akan menemukan banyak hal baru selepas pertemuannya dengan atasannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3 : Hari pertama menjadi asisten Alvaro
Ayzel sangat fokus dengan apa yang sedang dia lakukan saat ini, hari ini dia tidak ada jadwal kuliah maupun bimbingan untuk tesisnya. Menjadi asisten pribadi adalah hal baru untuknya saat ini, bagaimana tidak kalau dia saja adalah lulusan psikolog dan sedang berusaha meraih gelar S2 nya untuk mendapatan lisensi sebagai psikolog agar dapat membuka lembaga praktik.
Alvaro tersenyum melihat betapa fokusnya asisten barunya itu, dia terlihat mempesona dalam balutan hijab berwarna pastel. Terlebih saat fokus dengan apa yang di kerjakannya.
“Pak Alvaro butuh bantuan?” Ayzel menyadari sedang di tatap oleh Alvaro.
“Kamu benar tidak ingat saya?” pertanyaan itu lagi yang keluar dari mulut atasannya.
“Maaf pak, tapi saya benar-benar tidak ingat” Ayzel menahan untuk tidak tertawa melihat Alvaro yang mencebik mendengar jawabannya.
“Ya sudahlah. Lanjutkan pekerjaanmu,” mereka berdua kembali fokus dengan pekerjaan masing-masing.
Kini gantian Ayzel memperhatikan aktivitas Alvaro yang tak sedikitpun meninggalkan meja kerjanya kecuali urusan kamar mandi, ponsel di dekatnya selalu berbunyi. Bahkan dia menjawab dengan bahasa yang berbeda-beda, seperti yang rekan-rekannya bicarakn bahwa perusahaannya berdiri di beberapa negara berbeda.
Ayzel masih terus memperhatikan atasannya itu, kali ini dia mondar mandir ke kanan dan ke kiri sambil berbicara entah dengan siapa di ujung telepon. Ayzel langsung mengalihkan pandangannya saat terlihat Alvaro bahwa dia sedang memperhatikan atasannya.
Ayzel benar-benar gugup saat ketahuan memeperhatikan Alvaro dari mejanya, saking gugupnya membuat dia cegukan. Dia segera minum untuk menghilangkan cegukannya, tiba-tiba Alvaro sudah duduk di kursi yang ada di depan meja Ayzel. Ayzel tersedak minumannya karena terkejut sampai terbatuk-batuk.
“Pelan-pelan Ze,” Alvaro mengambil tisu dan di berikannya pada Ayzel.
Ayzel mengambil tisu dari tangan Alvaro. “Trimakasih pak Alvaro”
“Tidak perlu sembunyi-sembunyi kalau mau memandang saya. Saya tidak ke mana-mana,” Alvaro menopang dagunya dengan kedua tangan yang bertumpu pada meja Ayzel. Dia menatap Ayzel dalam sambil tersenyum menampilkan ke kedua lesung pipinya yang dapat menghipnotis semua karyawan perempuan di sana.
“Hmm ... bukan seperti itu pak,” Ayzel berusaha menjelaskan. Meskipun di dalam hati saat ini dia sedang mengumpat untuk dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia mengulang ke bodohan yang sama seperti saat di ruang meeting waktu itu.
“Hari ini ada kelas?” Alvaro pindah duduk di sofa yang ada di ruangannya.
“Tidak ada pak,” Ayzel kembali fokus mulai mencatat beberapa jadwal Alvaro dalam journal digital miliknya.
Alvaro melihat arlojinya kemudian berdiri dari sofa. “Bereskan barang bawaanmu, ikut saya sekarang”
Baru hari pertama dia menjadi asisten, Ayzel merasa sudah sangat sibuk. Padahal setengah hari ini dia hanya di ruangan atasannya dan membaca semua jadwal kegiatan harian Alvaro.
“Baik pak,” Ayzel memasukkan macbook dan ipadnya ke dalam tas. Tak lupa dia juga membawa berkas yang berisi semua jadwal harian Alvaro beserta dengan orang-orang penting yang akan di jumpai Alvaro selama di Turki.
Ayzel membawa berkas itu pulang untuk dia pelajari sepenuhnya, tidak akan cukup jika dia hanya membaca di kantor sementara dia akan di kejar deadline. Belum lagi dia akan ada ujian mata kuliah terakhirnya, memastikan jadwal konsultasi tesisnya tidak akan bentrok dengan tanggung jawab barunya.
“Mau ke mana?” Shahnaz mendekat dan berbisik saat melihat Ayzel berjalan di belakang atasannya.
“Tidak tahu, aku di minta ikut dengan pak Alvaro. Özür dilerim,” Ayzel minta maaf pada Shahnaz karena tidak jadi makan siang bersamanya.
“Tamam. Kolay gelsin,”Shahnaz menjawab ok dan menyemangati Ayzel dengan mengatakan semoga pekerjaanmu lancar. Dia tahu Ayzel tidak bisa menolak karena mungkin saja pak Alvaro mengajaknya bertemu dengan klien penting.
“Teşekkür ederim,” terima kasih ucap Ayzel dan dia berlalu pergi mengekori Alvaro.
Ayzel kira Alvaro menggunakan supir pribadi seperti biasanya, ternyata hari ini dia menyetir sendiri. Pak Kim juga tidak ikut dengan mereka berdua, entah kemana dia karena sampai saat ini dia belum terlihat lagi setelah tadi pagi pamit pergi untuk melakukan tugas lain pada Alvaro.
“Duduk di depan, saya bukan supir kamu Ze” Alvaro protes pada Ayzel yang sudah membuka pintu mobil bagian belakang.
“Maaf pak,” Ayzel menutup kembali pintu mobil belakang, kemudian berpindah duduk di depan samping kemudi. Alvaro menjalankan mobilnya, suasana hening karena ke duanya menjadi canggung. Ayzel memberanikan diri bertanya untuk memecah ke heningan diantara mereka.
“Maaf pak Alvaro, kita mau ke mana ya?” ucap Ayzel sedikit ragu, takut kalau Alvaro tidak suka dengan apa yang di lakukan.
“Makan siang,” jawaban singkat padat dari Alvaro cukup membuat Ayzel menelan salivanya sendiri. Tak habis pikir dengan kelakuan atasannya, belum ada satu hari ada saja hal yang membuat Ayzel merasa sedang berada di atmosfir yang berbeda dengan kesehariannya.
“Saya kira pak Alvaro akan bertemu klien,” Ayzel akhirnya mulai mengerti. Sepertinya butuh cara khusus menghadapi atasannya, sejenak dia lupa siapa dirinya sendiri. Bukankah dia calon psikolog, harusnya dia bisa menghadapi situasi seperti ini dengan mudah.
“Kita akan makan siang. Setelah itu saya antar kamu pulang,” Ayzel memijat ke dua pelipisnya kali ini setelah mendengar ucapan atasannya itu.
“Tidak perlu pak, saya bisa pulang sendiri” ucap Ayzel
“Tidak ada penolakan. Kamu sekarang asisten saya Ze, saya harus tahu di mana kamu tinggal dan kamu harus tahu di mana saya tinggal. Saya tidak menerima bantahan,” ucap Alvaro tegas.
“Baik pak,” Ayzel mengiyakan setelah mendengar ucapan tegas dari Alvaro. Hening itu yang terjadi setelah percakapan mereka berdua berahir dengan Ayzel yang tak berani menolak perkataan Alvaro. Ayzel bahkan tidak berani bertanya mereka akan makan siang di mana.
Setelah perjalanan beberapa waktu mereka sampai di tempat Alvaro mengajaknya makan, tempat itu tidak asing untuk Ayzel karena dia sering makan di tempat itu.
“Kita sudah sampai,” Alvaro melepas sabuk pengamannya setelah mematikan mesin mobil.
“Dukkan galata?” Ayzel memastikan pada Alvaro bahwa atasannya itu tidak salah tempat.
“Yes ... di sini kita akan makan. Bukankah kamu sering makan di sini juga?” pertanyaan yang cukup membuat Ayzel terkejut untuk ke sekian kalinya.
“I-iya pak,” jawab Ayzel dengan senyum kecut. Dia mulai overthingking bagaimana Alvaro bisa tahu tentang hal itu, mendengar hal tersebut Ayzel berpikir keras di mana sebenarnya mereka pernah bertemu. Siapa sebenarnya atasannya itu sampai dia tahu restonan yang mereka datangi saat ini adalah tempat Ayzel sering menghabiskan waktu.
Mereka berjalan masuk ke dalam restoran, karena Ayzel sering ke tempat itu tentu hampir semua karyawan terutama pemiliknya tahu. Tentunya mereka di sambut dengan hangat oleh pemiliknya yang kebetulan sedang berada di restoran.
“Lunara Zekai, kekasih?” pemilik resto memang selalu memanggil Ayzel dengan sebutan tersebut, karena namanya terlalu panjang jadi dia panggil nama depan dan belakang.
“Bukan, beliau ini ....” belum sempat Ayzel meneruskan ucapannya sudah di potong Alvaro.
“Saya bukan ke kasihnya,” Ayzel tersenyum lega mendengar jawaban lvaro.
“Tapi calon suaminya,” Ayzel dengan raut wajah kebingungan seketika menghela napas panjang mendengar ucapan atasannya. Alvaro terkekeh melihat raut wajah asistennya itu.
“Woooah, good job” pemilik resto meminta karyawannya untuk mengantar mereka berdua duduk di salah satu tempat dengan pemandangan yang lebih romantis dari tepat duduk yang lain.
Sementara Ayzel masih termangu dengan raut wajah bingung, Alvaro menarik lengan baju Ayzel agar dia berjalan mengikutinya. Karyawan resto membawa mereka masuk ke dalam ruangan yang sudah di dekorasi dengan cantik dan romantis, dengan pemandangan menghadap bagian luar restoran yang cantik.
“Pak Alvaro?” seolah paham apa yang akan di tanyak Ayzel, Alvaro berpindah posisi di mana Ayzel berdiri dan dia memutar tubuh Ayzel untuk menghadap sebuah tulisan yang ada di dekat pintu masuk.
Alvaro menunjuk tulisan itu, membuat Ayzel mengalihkan netranya ikut membaca tulisan tersebut.
“Lumayan dapat diskon,” Alvaro berbisik pada Ayzel.
Promo untuk hari ini, mereka yang datang dengan pasangannya cukup membayar 50% dari harga makanan yang mereka pesan. Kurang lebih seperti itu tulisan yang ada di dekat pintu masuk. Malu dan kesal itu yang ada dalam benak Ayzel, dia sudah berpikir terlalu jauh. Kalau bukan atasannya, mungkin Ayzel sudah akan meneriaki atau memukul Alvaro.
Mereka berusaha duduk dengan nyaman berusaha untuk tidak terlihat canggung, Alvaro yang tadinya duduk menghadap Ayzel berpindah menjadi di sampingnya.
“Kenapa pindah kemari pak?” protes Ayzel pada Alvaro.
“Kan kita calon suami istri, Ze sayang” Ayzel melotot pada Alvaro seolah tak perduli lagi kalau orang yang ada di sampingnya itu adalah atasannya.
“Pak Alvaro!” Ayzel menaikkan sedikit tone suaranya pada Alvaro.
“Biar terlihat seperti pasangan sungguhan,” Alvaro kembali terkekeh melihat ekspresi kesal Ayzel yang terlihat menggemaskan bagi Alvaro.
“Gak nyangka CEO seperti pak Alvaro tertarik dengan diskon?” Ayzel mulai tak canggung mengatai atasannya itu.
“Berhemat Ze, seperti kamu yang berhemat saat tinggal di sini. Meskipun saya CEO tapi ini bukan negara tempat saya di lahirkan,” Ayzel mengangguk meskipun tetap saja untuk CEO seperti dia rasanya tidak mungkin harus menghemat sampai sepeti itu.
Ternyata tak cukup sampai di situ, Alvaro mengeluarkan ucapan yang cukup membuat Ayzel tak habis pikir dengan kelakuan atasannya tersebut.
"Saya tertarik dengan kamu bukan dengan diskonnya,” Alvaro tertawa renyah setelah mengatakan hal tersebut. Alvaro seperti mendapat mainan baru melihat raut muka Ayzel yang merah karena kesal dan menahan marah padanya.
“Seandainya pak Alvaro bukan atasan saya, sepatu ini sudah melayang mengenai anda” Ayzel menunjuk sepatu yang dia pakai.
“Boleh, ayo silahkan! Dengan begitu saya ada alasan untuk istirahat, lagi pula saya tidak akan tugi. Justru kamu yang rugi karena harus bertanggung jawab merawat saya,” Ayzel sudah tidak bisa berkata-kata lagi mendengar jawaban atasannya itu. Tanpa di sadari mereka mulai lebih santai dan tidak canggung lagi satu sama lain.
Apakah Ayzel baper dengan ucapan dan tingkah Alvaro padanya? Tentu tidak, justru dia takut pada apa yang Alvaro lakukan padanya. Dia takut itu semua hanya semu, terlebih Alvaro adalah seorang CEO yang mungkin saja sudah punya seseorang yang spesial di hatinya. Ayzel telah mengunci rapat hatinya, dia takut untuk menaruh harapan pada siapapun. Dia memilih untuk fokus mengupgrade dirinya menjadi perempuan dengan kemampuan yang terus bisa dia kembangkan.
Alvaro maupun Ayzel menikmati makanannya, sperti biasa Ayzel memesan es latte, menemen cheese dan croissant plain. Sedangkan Alvaro memilih omelette cheese and avocado dengan minuam es americano.
“Trimakasih pak Alvaro sudah mengantar saya,” Ayzel turun dari mobil Alvaro.
“Hemm ... apartemen kamu yang mana?” Ayzel menunjuk salah satu bangunan yang termasuk masih lumayan baru dan cukup nyaman untuk di huni meskipun hanya studio (1+1).
“Hati-hati di jalan pak, saya masuk dulu pak Alvaro” Ayzel sudah akan pergi sebelum Alvaro memanggilnya kembali.
“Ze ...” Ayzel menoleh.
“Ya,” Alvaro memberikan ponselnya pada Ayzel.
“Saya belum punya no telepon kamu. Bagaimana kalau besok tiba-tiba harus menghubungimu,” Ayzel lupa kalau mereka belum bertukar nomor telepon. Alvaro melajukan mobilnya untuk pulang setelah mendapatkan nomor telepon Ayzel.
Seperti biasa setelah sampai apartemen Ayzel akan berberes rumah sebentar, biasanya dia lakukan malam hari. Tapi kali ini dia pulang masih sore dan tidak harus ke kampus, setelah berberes dia istirahat sebentar sebelum nanti malam dia menyempatkan diri untuk membaca atau menyelesaikan tesisnya.
Dia sudah membuat makan malam sederhana, nasi goreng dengan topping ayam dan telur dengan segelas jus strawberry. Ayzel membuka berkas yang dia bawa dari kantor, setelah ibadah isya’ dia mulai mensinkronkan jadwal Alvaro dengan jadwal aktivitas hariannya.
Ayzel mulai menulis jadwal-jadwal Alvaro pada journal digitalnya, dia mengatur ulang hampir semua jadwal hariannya. Ayzel menghela napas panjang, karena semua jadwal yang sudah tersusun dengan rapi tiba-tiba berubah dalam satu malam.
“Padat sekali jadwalku. Ah bukan, bukan jadwalku. Lebih tepatnya jadwal pak Alvaro,” gumamnya pada diri sendiri.
Ayzel tidak hanya harus membagi waktu untuk tesisnya tapi dia harus mulai mencari tempat untuk dia melakukan praktik lapangannya sebagai psikolog. Dia sudah harus memulai praktiknya sekitar lima bulan lagi untuk mendapatkan lisensi praktiknya jika tesisnya lolos.
“Sepertinya besok atau lusa aku harus bicara dengan bu Athaya terkait magangku. Aku juga harus bicara dengan pak Alvaro terkait jadwalnya,” Ayzel menyudahi aktivitasnya hari itu dan merebahkan dirinya di kasur. Semoga hari esok menjadi hari yang lebih baik, itu harapannya.