Ashana Keyra Zerrin dan Kafka Acacio Narendra adalah teman masa kecil, namun Ashana tiba-tiba tidak menepati janjinya untuk datang ke ulang tahun Kafka. Sejak saat itu Kafka memutuskan untuk melupakan Asha.
Kemana sebenarnya Asha? Bagaimana jika mereka bertemu kembali?
Asha, bukankah sudah kukatakan jangan kesini lagi. Kamu selalu bertindak sesuka hati tanpa memikirkan orang lain. Aku butuh privasi, tidak selamanya apa yang kamu mau harus dituruti.” Ucapakan Kafka membuat Asha bingung, pasalnya tujuannya kali ini ke Stanford benar-benar bukan sengaja menemui Kafka.
“Tapi kak, Asha ke sini bukan sengaja mau menemui kak Kafka. Asha ada urusan penting mau ke …” belum selesai Asha bicara namun Kafka sudah lebih dulu memotong.
“Asha, aku butuh waktu untuk menerima semua ini. Walaupun untuk saat ini sebenarnya tidak ada kamu dalam rencanaku, semua terjadi begitu cepat tanpa aku bisa berkata tidak.” Asha semakin tidak mengerti dengan yang diucapkan Kafka.
“Maksud kak Kafka apa? Sha tidak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9. Asha crayon Kafka
"Lihat saja, besuk aku pokoknya ngambek sama kamu Sha." Kafka menenggelamkan kepalanya di balik bantal sambil menangis. Asha sudah janji padanya akan datang dan mereka akan meniup lilin bersama.
Satu minggu sebelum hari ulang tahun Kafka memang Asha menjanjikan untuk datang ke ulang tahunnya dan meminta Kafka untuk tidak meniup lilin sebelum dia datang. Asha adalah crayon warna warni bagi hidup Kafka yang hanya hitam dan putih, semenjak mengenal Asha sikapnya menjadi lebih hangat pada siapapun. Kafka pernah mengalami perundungan saat di kelas 5 oleh seniornya di sekolah lamanya. Papa dan Mamanya yang mengetahui itu memindahkan Kafka kesekolah yang sekarang.
Semenjak saat itu Kafka selalu berhati-hati dengan siapapun, tidak mau mencari masalah dan selalu tenggelam dalam belajar. Selalu bersikap dingin pada siapapun, hanya sedikit teman yang mau dia kenal. Teman terbaik bagi Kafka adalah rumah, Papa, Mama dan Naren adiknya.
Namun semua berubah ketika Asha datang dalam hidupnya, kertas hitam putih itu pelan-pelan menjadi berwarna. Kafka selalu menanti semua tingkah ceria dan kerandoman Asha, dia suka dengan semua hal tentang Asha. Binar mata Asha yang seolah ikut berbicara ketika dia tersenyum, Kafka selalu menyukai hal itu.
Maira beserta kedua anaknya juga pak Maman dan bi Ana sudah sampai di Singapur, Cia dan Rion tentu ditinggal bersama bi Ana dan pak Maman. Maira yang sudah sampai di rumah sakit langsung menghampiri suaminya, sementara Malvin berusaha tetap tenang menunggui putrinya yang berada diruang operasi. Maira menghambur kepelukan suaminya, mereka saling menguatkan satu sama lain.
Lampu ruang operasi telah berganti pertanda operasi selesai, operasi berjalan lancar. Namun Asha harus tetap dalam pantauan terutama pada kakinya, benturan yang dialami Asha menyebabkan cidera pada saraf perifer sehingga menyebabkan trauma kompresi saraf. Kemungkinan terparah adalah Asha akan mengalami mati rasa pada kaki kirinya, namun dengan pengobatan dan perawatan lebih lanjut dia tetap dapat sembuh seperti sedia kala. Hanya memang membutuhkan waktu yang sedikit lama, Maira semakin terisak membayangkan bagaimana harus mengatakan hal tersebut pada putrinya yang masih berusia 10 tahun itu saat sadar nanti.
Sebelum Kafka sampai keruang kelasnya, dia melongok keruang kelas Asha. Asha selalu datang lebih awal dari pada Kafka, kali ini dia bertekat untuk tetap ngambek pada Asha. Namun tidak dijumpainya Asha yang biasanya sampai lebih dulu.
"Emm .. apa hari ini datang terlambat, nanti saja kalau gitu," nanti saja pikirnya saat pulang dia menemui Asha dan akan memarahinya.
Kelas sudah selesai dari satu jam yang lalu dan Kafka sudah menunggu selama itu pula. Tak di jumpainya sama sekali Asha, bahkan semua anak-anak sudah pulang. Gurat kecewa nampak di wajah Kafka, kemana gerangan Asha. Hari berganti hari dan minggu telah berganti bulan juga musim, sejak saat itu Kafka tidak pernah lagi bertemu dengan Asha. Sama sekali tak ada kabar tentang Asha, selama dua bulan dia selalu minta mampir ke rumah Asha setiap pulang sekolah. Namun tak ada satupun orang di rumah Asha dan rumah itu sudah nampak kosong tak berpenghuni.
"Mama aku benci Asha, Asha bohong. Dia bilang akan datang, dia tidak akan pergi meninggalkanku, tapi Asha bohong Ma," Tiara menghela napas panjang tak tega melihat putra pertamanya itu terus mencari Asha.
"Sayang dek Sha pasti kembali, dia hanya pergi sebentar." Kafka memasukkan semua mainan dan barang-barang yang mengingatkannya pada Asha kedalam kardus. Dia bilang pada Mamanya untuk membuangnya, mulai saat itu dia tidak akan lagi mengingat Asha.
Tiara sungguh tak tega melihat itu, tapi dia juga tidak mungkin memberitahu putranya itu kalau saat ini Asha sedang berjuang untuk sembuh. Satu bulan yang lalu Malvin memberitahu Keenan tentang Asha yang mengalami kecelakaan saat sedang membeli kue tart untuk Kafka. Orang tuanya membawa Asha terbang ke SGH untuk mendapatkan penanganan yang lebih intensif karena kondisi Asha yang cukup parah.
Malvin tak sempat berpamitan atau mengabarkan perihal tersebut pada keluarga sahabatnya itu karena fokus pada Asha. Setelah sebulan meskipun masih dalam keadaan koma namun dirasa kondisi Asha cukup membaik barulah Malvin memberitahu Keenan dan Tiara tentang yang terjadi pada Asha. Tiara melarang Keenan memberitahu Kafka tentang apa yang terjadi, dia tidak mau putranya itu mengalami trauma dan menyalahkan dirinya saat tahu Asha kecelakaan dalam perjalanan menuju ulang tahunnya.
Dua bulan Asha terbaring koma dan selama itu pula kedua orang tuanya benar-benar harus membagi waktu antara menjaga Asha, Cia dan Rion. Meskipun ada asisten rumah tangga termasuk bi Ana yang membatu mereka, tapi Malvin dan Maira tetap mengusahakan anak-anaknya mendapatkan perhatian yang cukup.
Tepat dihari ulang tahunnya Asha sadar dari koma, matanya mengerjap, tangannya bergerak pelan. Maira yang melihat itu bangkit dari duduknya menekan tombol yang menghubungkan ruang pasien dengan perawat.
"Bunda .. bunda, kenapa kaki kakak tidak bisa gerak," mendengar pertanyaan putrinya itu Maira hanya bisa diam. Terlihat dari pancaran matanya bergelumang rasa sakit dan sedih, akan bagaimana respon Asha nanti jika tahu kaki kirinya untuk sementara mati rasa.
Tim dokter telah berada diruangan Asha dan melakukan berbagai pemeriksaan, sudah dipastikan bahwa cidera trauma yang dialami Asha akibat benturan membuatnya tidak dapat berjalan untuk sementara. Malvin sudah siap dengan segala hal yang akan terjadi dengan kondisi putrinya dari jauh hari. Namun ternyata semua itu luluh lantah ketika Asha sudah terbangun dari komanya dan kata pertama yang dia ucapkan adalah kaki kanannya tidak dapat di gerakkan.
Tenggorokan Malvin tercekat, semua kata-kata yang sudah dia rangkai untuk menjawab pertanyaan putrinya seolah hilang dan dia hanya membisu. Pun dengan Maira yang hanya bisa menangis melihat Asha tanpa dapat menjawab satu katapun pertanyaan Asha.
Malvin berusaha menguatkan dirinya sendiri, mau tak mau dia harus menjelaskan pada Asha. "Sayang ingat tidak dulu ayah bilang apa ke Asha kalau Asha sedang di uji sakit?" Asha nampak berpikir.
"Ayah bilang kalau kita diuji sakit itu salah satu tanda Allah sayang dan menghapuskan dosa-dosa kita," seolah menuntut penjelasan pada ayah dan bundanya maksud dari perkataan tersebut. Malvin menjelaskan pada Asha tentang kondisinya saat ini. Tentu saja Asha histeris dengan yang dialaminya. Gadis kecil yang selalu berbinar itu menjadi redup seolah kehilangan cahayanya.
"Bu .. bu .. bunda, Asha gak mau pake kursi roda, Asha mau jalan, Asha mau sekolah bareng kak Kafka. Kalau Asha gak bisa jalan nanti kak Kafka gak mau main sama aku lagi gimana?" Suara tangisnya memecah keheningan yang ada diruangan itu.
Malvin mendekap putrinya dengan erat, dalam hati dia berjanji pada dirinya apapun akan dia lalukan untuk kesembuhan Asha. "Asha sayang, Asha tahu Allah sayang sekali sama Asha. Ayah, bunda dan adik-adik juga sayang sama kak Asha, Allah bilang karena kakak hebat, sabar dan cantik jadi Allah kasih dulu sedih sekarang habis itu bahagia."
"Asha harus kuat, kita sama-sama ya nak melalui semuanya satu-satu. Asha mau ketemu kak Kafka lagi kan?" Maira mendekat mengusap lembut tangan putrinya yang masih berada dalam dekapan suaminya itu.
Dengan masih sedikit terisak Asha mulai sedikit tenang, mereka bertiga berpelukan saling menguatkan satu sama lain. Dengan keyakinan bahwa Asha akan sembuh dan kembali normal seperti sedia kala, bisa kembali berjalan dengan kedua kakinya tanpa masalah.
"Ayah .. kakak mau ketemu kak Kafkanya nanti kalau sudah sembuh. Kalau Asha sudah bisa jalan lagi."
"Boleh .. kalau begitu Asha harus turutin semua kata dokter biar cepat sembuh."
"Ok .. Asha pasti bisa," senyum mengembang di wajah Asha membuat kedua orang tuanya merasa sedikit lega.
Malvin berdiskusi dengan tim dokter SGH yang menangani Asha, menanyakan kemungkinan untuk putrinya mendapatkan perawatan dengan peralatan yang lebih modern. Saat ini SGH juga sudah mempunyai banyak fasilitas perawatan yang lengkap, kemungkinan untuk Asha sembuh lebih cepat tentu diharapkan.
Dua minggu setelah siuman Asha sudah di ijinkan untuk pulang dan selebihnya akan menjalani rawat jalan yang sudah terjadwal dari rumah sakit SGH. Dia tetap mau sekolah seperti biasa bukan homeschooling, lagi pula tidak ada Kafka yang tahu kondisinya jadi dia tidak merasa takut.
Hari demi hari dilewatinya dengan penuh perjuangan dari minum obat-obatan, melakukan fisioterapi dan banyak treatment lain yang dilakukannya demi kesembuhan. Dengan dukungan orang tua dan adik-adiknya dia terus berjuang untuk kuat, sabar dan tak menyerah. Tentunya karena dia ingin juga segera bertemu dengan Kafka. Asha punya support system terbaik dalam hari-harinya, Cia yang selalu mengekori Asha seoalah berperan menjadi perawat yang menjaganya semenjak pulang dari rumah sakit.
Rion yang selalu menjadi sumber senyum Asha dengan segala tingkah polahnya yang masih balita. Dia rindu sekali dengan Kafka, namun dia juga takut untuk sekedar menghubungi dalam kondisinya yang seperti saat itu. Asha mendewasa dengan cara yang tak pernah dibayangkan oleh siapapun, namun dia tak pernah kehilangan jati dirinya sebagai Asha yang masih dengan binar mata indah dan tingkah randomnya meski dalam keterbatasan.
Tahun berganti dan tak terasa sudah enam tahun dia berada di singapura, dokter menyatakan bahwa kondisi Asha sudah sangat baik. Asha sudah dapat berjalan seperti sedia kala tanpa alat bantu jalan. Namun harus tetap melakukan check up secara rutin, dia tak perlu lagi minum obat setiap hari. Hanya ketika dia merasa tidak nyaman dengan kondisi kakinya, saat itulah dia harus segera berkonsultasi dengan dokter.
Selama enam tuhun Asha tetap mengirimi Kafka kado ulang tahun yang di titipkannya pada Mama Tiara tanpa sepengetahuan Kakfa. Dia berharap Kafka masih mengingatnya dan tetap mau bersama dengan Asha ketika dia nanti kembali ke Indonesia.