Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?
Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2: Nama Baik itu Mahal
Ketika mobil pick-up tua Pak Komar akhirnya berhenti di depan rumah dinas pegawai perhutani, Arga melompat turun dengan lega, meskipun tulang belakangnya protes habis-habisan setelah perjalanan penuh guncangan. Rumah itu masih seperti dulu—klasik, bergaya 80-an, dengan cat tembok warna krem yang sebagian sudah mengelupas dan genteng merah yang mulai diselimuti lumut. Bahkan, lonceng angin dari bambu di teras masih berdenting lembut, meskipun sekarang bunyinya lebih seperti keluhan daripada melodi.
Di dalam rumah, suasana sudah meriah. Keluarga besar Arga berkumpul dengan gaya yang lebih cocok untuk pesta ulang tahun anak daripada sekadar menyambut lulusan baru. Ada sepupu-sepupu kecil yang sibuk lari-lari sambil menjerit, tumpukan piring di meja makan penuh dengan berbagai macam makanan—dari opor ayam sampai kerupuk yang diwadahi baskom plastik merah—dan tentunya kakak perempuan Arga, Sinta, yang sudah berdiri di tengah ruangan dengan tangan berkacak pinggang seperti seorang komandan perang.
"Arga! Baru pulang kok lelet banget sih? Udah pada nunggu dari tadi tahu!" seru Sinta dengan nada yang begitu galak sampai pintu rumah bergetar. Suaminya, Mas Budi, hanya duduk tenang di sofa sambil memainkan ponselnya, seolah-olah sudah kebal dengan suara keras istrinya.
"Maaf, Mbak. Tadi banyak macet," jawab Arga sambil menunduk sedikit, lebih karena kebiasaan takut sama kakaknya daripada rasa bersalah yang sebenarnya.
Dua anak kembar Sinta, Tono dan Tini, langsung menyerbu ke arah Arga. "Om Arga! Om Arga! Om sekarang jadi polisi ya? Punya pistol nggak? Bisa tangkap maling nggak?" Mereka menghambur dengan semangat seperti arus deras sungai, membuat Arga hampir jatuh ke belakang.
"Tono, Tini, jangan ganggu Om Arga! Dia pasti capek!" bentak Sinta, sebelum melanjutkan dengan lebih pelan, "Nanti kalau mau main, gantian. Tapi ya, Arga, kalau ada penjahat di komplek, tolong langsung tangkap ya. Soalnya tetangga sebelah tuh, kayaknya nyolong jemuran saya kemarin."
Bu Ratmi yang sedang sibuk di dapur keluar membawa piring besar berisi nasi kuning dan langsung berteriak, "Sini, Arga! Makan dulu sebelum makanannya habis diserbu yang lain. Ini hari kamu, jadi makan yang banyak!"
Pak Komar, di sisi lain, sudah duduk nyaman di kursi kayu tua favoritnya sambil menyeduh teh. "Wah, rumah kita rame begini enak ya. Tapi jangan lupa, habis makan piringnya langsung cuci sendiri, Arga!"
Di tengah kekacauan itu, Arga hanya bisa menghela napas sambil tersenyum kecil. Rumah memang tidak pernah berubah. Baik itu suara ribut kakaknya, tingkah laku kembar yang menggemaskan, atau bahkan keusilan sepupu-sepupu yang mulai mencoba memakai topinya.
Malam itu, di antara obrolan, gelak tawa, dan suara piring yang beradu, Arga merasa benar-benar di rumah. Bukan karena dekorasi jadulnya atau bau khas perabot kayu tua, tapi karena orang-orang yang selalu berhasil membuatnya tertawa—dan sedikit pusing di saat bersamaan.
...****************...
Malam itu, rumah itu akhirnya kembali tenang. Suara keramaian keluarga besar sudah berganti dengan bunyi jangkrik dan derak kursi kayu tua di ruang tamu. Pak Komar duduk di kursinya yang khas, posisi miring sedikit ke kanan, dengan teh hangat di tangan. Di sebelahnya, Bu Ratmi sibuk merapikan sisa makanan di meja, meskipun sebenarnya sudah hampir bersih sejak setengah jam lalu. Sementara itu, Arga duduk di sofa, mencoba santai, tapi tahu ada sesuatu yang serius akan dibicarakan.
Di sudut ruangan, Sinta sedang memarahi Tono dan Tini yang rebutan remote TV, sementara Mas Budi asyik mengunyah keripik dengan ekspresi damai seperti hidupnya sempurna.
"Ga," suara Pak Komar memecah keheningan. Suaranya rendah tapi tegas, jenis suara yang tidak bisa diabaikan.
"Iya, Pak," jawab Arga, langsung duduk lebih tegak.
Pak Komar menatapnya dalam-dalam, seperti mencoba membaca pikiran Arga. "Kamu sekarang udah jadi polisi. Bukan cuma kerjaan biasa, ini tanggung jawab besar. Kamu pegang amanah dari negara, dari rakyat. Kamu ngerti itu, kan?"
Arga mengangguk pelan. "Iya, Pak. Saya paham."
"Tapi ngerti aja nggak cukup," lanjut Pak Komar, sambil meletakkan cangkir tehnya dengan hati-hati. "Kamu harus jadi polisi yang baik. Yang jujur. Jangan tergoda sama duit haram, jangan ikut-ikutan kalau ada yang curang. Dunia ini udah banyak yang rusak, Ga. Jangan tambah rusak gara-gara kamu."
Suasana mendadak serius. Bahkan Bu Ratmi berhenti menyusun piring dan duduk di dekat Pak Komar, mendukung penuh pidato suaminya.
"Pak, nggak usah khawatir. Arga kan anak kita. Dia pasti nggak bakal kayak gitu," ujar Bu Ratmi sambil tersenyum bangga.
Tapi Sinta, yang mendengar dari dapur, langsung menyahut dengan gaya galaknya. "Eh, itu ngomong gampang. Ga, inget ya, kalau sampe kamu korupsi, aku nggak bakal segan dateng ke kantor kamu buat ngamuk. Dan aku serius. Malu-maluin keluarga tuh jangan!"
Tono dan Tini yang tadinya sibuk berebut remote langsung berhenti dan menatap Arga dengan mata besar penuh rasa penasaran. "Om Arga nggak boleh jahat, ya? Kalau Om jahat, nanti kami nggak main sama Om lagi!"
Arga menelan ludah. Seketika, dia merasa seluruh dunia—dari ayahnya yang tegas, ibunya yang penuh harapan, kakaknya yang galak, sampai keponakan kecilnya yang polos—semua menaruh kepercayaan penuh padanya.
Pak Komar melanjutkan, kali ini lebih pelan, tapi tetap penuh makna. "Kamu tahu, Ga, hidup ini nggak selalu gampang. Akan ada orang yang ngajak kamu berbuat salah, orang yang bikin kamu ragu sama prinsipmu. Tapi inget satu hal: nama baik itu mahal. Dan kalau kamu sampai kehilangan itu, kamu nggak cuma rugi sendiri, tapi juga keluarga kita."
Ruangan itu hening sejenak. Bahkan Mas Budi yang tadinya sibuk ngemil kini menatap serius ke arah Arga, meskipun dengan tangan masih memegang keripik.
Akhirnya, Arga mengangguk tegas. "Iya, Pak. Saya janji, saya bakal jadi polisi yang baik. Saya bakal jaga nama baik keluarga."
Pak Komar tersenyum tipis, puas dengan jawaban itu. "Bagus. Nah, sekarang tidur sana. Besok kerjaanmu banyak."
Sinta yang duduk di ujung sofa menambahkan dengan nada sarkastik, "Iya, tidur cepet, biar nggak ngantuk pas menangkap maling."
Tono dan Tini langsung berteriak, "Om Arga pasti jago nangkep maling! Om pahlawan kami!"
Arga tertawa kecil, mengacak rambut kedua keponakannya. Malam itu, meskipun penuh dengan tekanan dan ekspektasi, dia merasa lebih kuat. Di balik semua lelucon dan canda, Arga tahu: dia punya tanggung jawab besar, tapi dia juga punya keluarga yang percaya padanya. Dan itu cukup untuk membuatnya melangkah dengan tegap ke hari esok.
...****************...