🔥Bocil dilarang mampir, dosa tanggung masing-masing 🔥
———
"Mendesah, Ruka!"
"El, lo gila! berhenti!!!" Ruka mendorong El yang menindihnya.
"lo istri gue, apa gue gak boleh pakek lo?"
"El.... kita gak sedekat ini, minggir!" Ruka mendorong tubuh El menjauh, namun kekuatan gadis itu tak bisa menandingi kekuatan El.
"MINGGIR ATAU GUE BUNUH LO!"
———
El Zio dan Haruka, dua manusia dengan dua kepribadian yang sangat bertolak belakang terpaksa diikat dalam sebuah janji suci pernikahan.
Rumah tangga keduanya sangat jauh dari kata harmonis, bahkan Ruka tidak mau disentuh oleh suaminya yang merupakan Badboy dan ketua geng motor di sekolahnya. Sementara Ruka yang menjabat sebagai ketua Osis harus menjaga nama baiknya dan merahasiakan pernikahan yang lebih mirip dengan neraka itu.
Akankah pernikahan El dan Ruka baik-baik saja, atau malah berakhir di pengadilan agama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
"Kenapa gak pulang dulu? Terus ini mau kemana?" cerosos Ruka, saat El membawanya ke jalan yang tidak seharusnya ia lewati.
El tak menjawab, malah memacu motornya lebih cepat.
"El!!!" geram Ruka yang nyaris saja jatuh, tangannya reflek memeluk tubuh El.
"Singkirin tangan lo."
"Turunin dulu kecepatannya, gue gak mau mati konyol."
El hanya terkekeh pelan, menikmati ketakutan Ruka yang terdengar jelas dari suaranya. "Takut? tenang aja, suami lo ini raja jalanan."
Ruka memukul punggung El dengan kesal. "Jangan bercanda, El! Gue serius. Kalau gue mati, gue bakal jadi hantu yang terus ngikutin lo!"
"Bagus," balas El dengan santai, sedikit melirik ke belakang. "Setidaknya gue bakal punya alasan buat gak nikah lagi."
"Turunin gue sekarang, atau gue lompat dari motor ini!" ancamnya.
"Silakan," tantang El sambil sedikit memperlambat motornya. "Tapi kalau lo lompat, jangan salahin gue kalau bokap lo ngamuk."
Ruka mendesah frustrasi, sadar ancamannya tidak ada artinya bagi El. Akhirnya, dia hanya bisa memeluk erat tubuh suaminya untuk menjaga keseimbangan. "Lo mau bawa gue kemana, sih? Ini bukan jalan ke rumah lo atau restoran buat ketemu nyokap lo."
El tak menjawab, malah makin mempercepat laju kendaraannya.
"El!!!!"
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya bagi Ruka, motor berhenti di parkiran bandara. Ruka menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya yang sudah nyaris meledak. Setelah perjalanan penuh ketegangan, kini ia harus berhadapan dengan teka-teki baru.
"Bandara?" tanyanya, menatap El dengan ekspresi tak percaya sambil melepas helmnya. "Ngapain kita ke sini? Bukannya lo bilang ada janji makan malam sama nyokap lo?"
El tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia memarkir motor dengan tenang, lalu turun sambil mengulurkan tangannya pada Ruka. "Nanti lo juga bakalan tahu. Sekarang ikut gue."
Ruka menepis tangan El dengan tatapan curiga. "Gue bisa jalan sendiri. Dan lo belum jawab pertanyaan gue!"
Tanpa basa-basi lagi, El menarik tangan Ruka. "Lo terlalu banyak nanya," El berjalan dengan langkah panjang, memaksa Ruka untuk setengah berlari agar bisa mengimbanginya. Sepanjang jalan, Ruka menggerutu tanpa henti, bahkan sempat menginjak tumit sepatu El dengan sengaja.
"El, kaki gue pendek! Bisa gak lo pelan-pelan jalan?"
El menoleh sedikit, "Salah siapa punya kaki pendek."
"Gue juga gak mau punya kaki pendek!" balas Ruka sengit.
"Ya udah terima saja, gak usah banyak protes."
Akhirnya, mereka sampai di ruang tunggu VIP bandara. Ruka menghentikan langkahnya ketika matanya menangkap sosok seorang wanita anggun yang duduk dengan tenang. Wanita itu mengenakan dress putih sederhana, tapi terlihat sangat elegan. Rambutnya yang hitam tergerai rapi, dan raut wajahnya yang lembut memancarkan aura berkelas.
"Mom.." panggil El, membuat wanita paruh baya itu menoleh.
"Itu... nyokap lo?" tanya Ruka sambil melirik El dengan bingung.
El mengangguk. Senyumnya kali ini berbeda, lebih lembut.
Sebelum Ruka sempat mengerti apa yang sebenarnya terjadi, wanita itu sudah berdiri, menyambut mereka dengan senyuman yang sangat hangat namun juga membuat gadis itu sedikit terintimidasi. "El, akhirnya kamu datang juga, sayang," katanya lembut, lalu tanpa ragu memeluk El dengan penuh kasih sayang.
"El kangen, Mom," balas El sambil membalas pelukan ibunya dengan santai, seolah momen ini sudah sering terjadi di antara mereka.
"Iya, Mommy juga kangen sama kamu." Mommy El melepas pelukannya perlahan, lalu matanya langsung beralih ke Ruka, memindai gadis itu dengan pandangan penuh perhatian. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, tatapannya begitu teliti, membuat Ruka merasa seperti sedang dipamerkan.
Mommy El tersenyum lebih lebar. "Dan ini pasti Ruka," katanya dengan nada penuh keyakinan.
Ruka menelan ludah, merasa kaku di tempat. Dia tidak tahu harus bereaksi bagaimana saat diperhatikan seperti itu. Namun, dia tahu, ini adalah ibunda El, jadi dia harus bersikap sopan. "I-iya, Tante. Saya Ruka."
Mommy El tertawa kecil, penuh kelembutan. "Tante?" katanya, menoleh ke El sambil mengangkat alis. "Kamu belum mengajarinya cara memanggil Mommy, El?"
"Dia pemalu, Mom. Kasih dia waktu."
Ruka melotot ke arah El, mengumpat dalam hati. "Pemalu apanya? Lo gak kasih gue briefing apa pun soal ini!"
"Tidak apa-apa," Mommy El berkata, kembali menatap Ruka. "Ruka, kamu bisa panggil saya Mommy juga. Kamu kan sekarang bagian dari keluarga kami."
Ruka tersentak mendengar kata-kata itu. "M-mommy?" gumamnya, nyaris gagap. Dia menoleh pada El, mencari penjelasan, tapi El hanya memberi tatapan santai sambil menyeringai, seolah mengatakan, "Deal with it."
"Ya, Mommy," Mommy El mengangguk, tampak sangat yakin. "Kita akan punya banyak waktu nanti untuk mengenal satu sama lain, Ruka. Tapi..." Wanita itu melirik jam tangannya yang mahal, menghela napas kecil, "Sayangnya, pesawat Mommy lima menit lagi take off."
Ruka masih terpaku, mencoba mengendalikan kekacauan di kepalanya. Apa tadi dia bilang? Pesawat? Take off? Jadi... dia hanya muncul untuk menyapa, lalu pergi begitu saja? Pertemuan singkat ini seolah dipenuhi lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
El, seperti biasa, tetap tenang menghadapi semua itu. "Hati-hati, Mom," katanya lembut sebelum sekali lagi membenamkan dirinya ke pelukan ibunya. Sang ibu membalas dengan pelukan hangat, penuh kasih sayang seorang ibu yang terlihat sangat mencintai anaknya.
"Ajak istrimu berkunjung lain kali ke rumah Mommy, ya," ujar Mommy El sambil menepuk bahunya.
"Tentu, Mom," jawab El santai, mengurai pelukan sebelum mengambil koper yang ada di tangan ibunya.
Namun, sang ibu dengan sigap merebut koper itu kembali. "Gak perlu anterin Mommy lagi. Lebih baik kamu temenin istrimu saja. Dia pasti butuh penjelasan setelah semua ini," katanya dengan senyum menggoda yang membuat wajah Ruka memerah.
"Ruka," Mommy El beralih padanya, mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tas mahalnya. "Ini hadiah untuk pernikahan kalian. Mommy harap kamu suka."
Ruka mengangkat tangannya, bermaksud menolak. "Ah, gak perlu, Tante. Eh, Mommy, maksudnya..." Ucapannya terdengar canggung, wajahnya semakin memerah.
"Tidak ada yang namanya menolak hadiah dari Mommy," potong wanita itu sambil menyodorkan kotaknya lebih dekat, membuat Ruka tidak punya pilihan selain menerimanya.
"Dan satu lagi," Mommy El merogoh ke dalam tasnya lagi dan mengeluarkan sebuah kartu nama. "Ini kartu nama Mommy. Telepon Mommy kalau El mulai menindasmu, ya. Mommy akan urus dia."
Mata El langsung menyipit. "Mom, serius? Aku ini suaminya, bukan preman."
"Justru karena itu, Mommy harus berjaga-jaga." Mommy El tersenyum manis sebelum melangkah pergi menuju ruang keberangkatan, meninggalkan Ruka dan El di tengah ruang tunggu yang kini terasa semakin sunyi.
Ruka memandang kartu nama di tangannya, lalu mengarahkan tatapan tajam pada El. "Gue punya ini, jadi lo gak bisa seenaknya lagi sama gue. Gue telepon nyokap lo kalau lo mulai aneh-aneh."
El tidak tampak gentar. Sebaliknya, pria itu hanya tertawa kecil, nada getir terdengar jelas di balik suaranya. "Lo serius percaya sama nyokap gue?" tanyanya, dengan nada lebih seperti pernyataan daripada pertanyaan.
"Kenapa? Nyokap lo tadi bilang sendiri kalau gue bisa telepon dia."
El menyandarkan tubuhnya ke motornya, melipat kedua tangan di depan dada. Tatapannya sejenak menerawang, lalu kembali ke wajah Ruka. "Nyokap gue nggak akan punya waktu buat urusin pertengkaran kita. Bahkan di pernikahan gue aja, dia gak datang." Ucapannya begitu santai, seolah yang baru saja dia katakan adalah fakta biasa, bukan sesuatu yang memilukan.
Ruka terdiam, mulutnya sedikit terbuka, mencoba mencerna kata-kata El yang menusuk tanpa peringatan. Mata Ruka terfokus pada pria itu, tapi pikirannya melayang ke pernikahan mereka yang baru berlangsung—dan memang, El hanya didampingi oleh ayahnya, sementara ibunya tidak tampak di sana. Ruka tak sempat bertanya lebih banyak tentang itu, karena pernikahan itu sendiri sudah cukup mengalihkan perhatian banyak orang, dan ia terlalu sibuk dengan rasa cemas dan terkejut di saat itu. Tapi sekarang, ia mulai menyadari betapa asingnya hubungan antara El dan ibunya.
"Karena di hidupnya, gak pernah soal gue. Nyokap lebih sibuk sama urusannya sendiri. Lo pikir kenapa gue bisa sesantai ini di tinggal nyokap gue lagi? Karena gue sudah terbiasa hidup tanpa dia, Ruka."
Kata-kata itu membuat Ruka terdiam. Meski sering kesal pada El, dia tak pernah membayangkan beban seperti itu ada di balik sikapnya yang suka seenaknya.
El menatapnya, bibirnya membentuk senyuman miring. "Jadi, silakan aja kalau mau telepon dia. Tapi jangan harap dia bakal langsung lari buat nyelamatin lo." Dengan itu, dia meraih helmnya dan menyodorkannya ke Ruka. "Udah cukup drama buat hari ini. Naik."
Bersambung...