Kehidupan yang kualami semenjak kecelakaan itu sungguh berat. Aku mesti sendirian menghadapi hidup. Hingga harta kekayaanku habis. Semua kulakukan untuk penyembuhan, pengobatan, dan lain sebagainya demi keseharianku yang sudah enggan di lakukan. Bahkan orang mengira kalau aku kena depresi. Sehingga tak bahagia. Dan yang kulakukan hanya merenung. namun hari hari ke depan mesti di lalui dengan semangat dan keceriaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 3112, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 14
“Om beli….“
Seorang anak tengah berlari sembari mengacung-acungkan duit kertas yang enggak besar, enggak juga terlalu kecil. Soalnya duit mengkerut. Yang jelas anak itu sangat bersemangat sekali kala ingin membeli jajan.
Aku hanya mengangguk. Menghentikan gerobak. Membuka penutup kaca. Lalu mengambilkan apa yang di minta. Sembari menusuk satu demi satu memakai penusuk. Dengan begini mudah saja.
Terkadang malahan ada yang memakai garpu. Yang hanya ada dua penusuk. Sebenarnya tiga atau lebih. Tapi yang lain di buang, atau sekedar di bengkokkan ke dalam. Dengan begitu dalam menusuk bahan makanan kenyal tadi akan sangat mudah.
Namun aku merasa sangat sayang kalau mesti membeli benda yang begitu mahal, hanya untuk di rusak.
Makanya mending pakai penusuk begitu saja. Dari bambu yang banyak di jual di took. Sekali atau dua kali langsung di buang, dan mengambil yang baru. Malahan ada yang dipakai berkali-kali oleh pedagang lain yang sayang jika mesti mengganti. Karena sudah jadi pembiasaan juga, membuat sangat pas di pegangan serta sudah sangat nyaman.
Namun bila kelamaan juga bakalan nampak sedikit kotor dan menghitam, walau selesai di gunakan biasanya akan di lap atau cuci. Tapi karena factor, waktu, membuat nya demikian, berubah warna.
“Om, tajam enggak!“
Anak itu menusuk dengan tusuk. Tak tahu kapan dia mengambilnya. Tahu-tahu sudah di pakai buat mainan.
“U..“
Aku hanya menjerit. Walaupun punya ilmu kebal dan anti senjata tajam, kalau di tusuk sedekat itu, pasti akan kaget.
“Hehe… Sakit ya om?“ ujarnya sembari memberikan penusuk setelah aku pelototi. Sialan ini anak. Lagian beli Cuma sedikit, tapi menyakiti aku sebagai penjualnya. Benar-benar kacau ini anak. Harusnya kalau membeli banyak lah sedikit bisa di tahan. Tapi ini, sudah beli murah, mesti banyak main-mainnya. Dan membuat luka di hati ini. Walau di perut nggak seberapa sih. Lagian nggak sampai lecet, tapi lumayan sakit juga karena ujungnya runcing.
“Om, cabainya kurang.“
Ku Kasih cabai.
“Yah, kepedasan om.”
Di kasih kecap.
‘Minta sekali lagi gua getok lu!’ Aku menggerutu. Banyak sekali keinginan anak ini yang membuat muak. Sudah rewel banyak sekali kegiatan yang kurang masuk akal. Termasuk main tusuk. Itu kan bukan cilok. Memang perut ini kayak cilok apa. Mangkel banget di buatnya. Tapi bagaimana lagi. Dia kan pembeli. Pembeli adalah raja. Jadi di layani dengan ikhlas hati. Meskipun begitu kalau pembeli tak bayar juga Namanya enggak pembeli. Jadi bukan raja. Makanya mesti di perhatikan dengan hati-hati, agar tidak menjadi pemikiran kalau pelayanannya mesti maksimal. Sehingga bisa di bilang itu semacam istilah, supaya para penjual dalam melayani pembeli dan menjajakan dagangannya mesti yang paling baik sesuai dengan harga yang tertera. Sehingga tidak merasa kecewa. Karena raja yang kecewa bakalan marah. Serta menghukum si orang yang dimarahi itu. Demikian juga dengan pembeli, tentu akan kecewa, jika membeli dengan harga yang mahal akan tetapi kualitasnya demikian saja. Walau penjual juga merasa jika ada harga maka kualitas mengikutinya. Sehingga kalau untuk melepas barang bagus tidak seenaknya. Dan barang jelek tak harus di buat mahal, semua itu berhubungan dengan kekecewaan para pembeli yang kemungkinan akan di buatnya.
“Enak…“
Ya enak, namanya juga masakan matang. Ya pasti enak.
Anak itu memakannya dengan lahap.
