BURUK RUPA JADI RATU TUAN KEJAM

David Masuk dengan wajah sumringah.

Malam ini adalah malam panjang baginya dan ke tiga temanya karena bisa menikmati tubuh dua gadis remaja sekaligus.

"Tenanglah sayang, malam ini kita akan bersenang-senang melewati malam yang panjang."

David membelai wajah Kania yang sebelahnya mulus. Dengan posisi Kania saat itu tidur terlentang

Ruangan dibiarkan remang-remang, David sengaja melakukan itu agar wajah Kania tidak begitu nampak saat dia mencumbunya.

"Kepalaku sakit."

Kania hanya bisa berucap itu, sekujur tubuhnya lunglai tidak berdaya.

"Sakit kepalamu akan segera hilang setelah kita mengarungi bahtera bersama. Tunggu mas sebentar lagi, mas mandi dulu."

David berdiri lalu melangkah ke kamar mandi. Ada sekitar dua puluh menit pria itu di dalam sana hingga dia keluar dengan hanya berbalut handuk.

"Kenapa kamu masuk kedalam selimut? apa begitu caramu merayuku? Kalau begitu mas masuk dan kita bermain di dalam."

David segera naik ke atas pembaringan dan merangkak masuk kedalam selimut.

"Puii..........bau apa ini? Kamu berani mengerjai ku buruk rupa." David keluar sambil meludah.

Bau yang sangat menyengat hidung bercampur dengan belatung-belatung kecil menempel di bibir dan badan David.

"Sampah memang cocoknya dengan sampah dan belatung dengan belatung."

Terdengar suara seorang pria di tengah lampu samar-samar.

Asap rokoknya mengepul menutupi wajahnya.

"Siapa kamu? Tanya David masih mengusap mulutnya yang penuh dengan sampah dan beberapa belatung.

"Apa itu penting bagimu? Balas pria misterius itu.

"Kamu ingin bermain-main denganku rupanya. Cepat serahkan gadis itu lalu pergilah dari sini sebelum aku benar-benar membuatmu menyesal."

"Dalam hidup aku tidak pernah menyesal dengan keputusanku.

Sekarang aku balik perintahmu, kamu pergi sebelum esok kamu tidak bisa lagi bertemu matahari."

"Besar juga nyalimu. Dedy, Amos cepat kemari dan bereskan pria ini." Teriak David pada dua temanya yang sedang berjaga di luar.

"Percuma meminta bantuan pada mereka karena mereka sendiri belum tentu bisa menyelamatkan diri."

"Siapa kamu sebenarnya." David menyalakan lampu dan terlihat seorang pria berjas dengan rambut disisir rapi sedang duduk di kursi memegang sebatang rokok sambil menyilangkan kedua kakinya.

"Tuu..an Abraham dari kota sebelah? Suara David bergetar saking takutnya melihat sosok yang duduk di hadapannya.

"Kamu sudah melihatku, sekarang apa kamu masih yakin mau menyuruhku pergi."

"Mana saya berani." secepat kilat David mengambil pakaiannya dan berlalu pergi.

"Dasar tidak guna."

Setelah kepergian David, Abraham beranjak berdiri.

"Kenapa kamu selalu menyusahkan hidupku."

Abraham mengangkat tubuh Kania yang terbujur tidak berdaya dan membawanya keluar.

Di depan pintu sudah ada dua orang teman David terlentang tidak berdaya dengan bibir berdarah.

Tidak beberapa lama pintu kamar Linda ikut terbuka dan keluar Medi yang juga mengangkat tubuh tinggi Linda seperti yang di lakukan Abraham.

"Orang ini terlalu berat untuk di bawa turun. Tuan bagaimana kalau kita titip saja mereka di hotel ini dan saya carikan tempat yang aman buat mereka."

"Apa aku menyuruh membawa? Kamu pikir saja sendiri caranya."

Abraham berlalu pergi meninggalkan Medi yang masih kebingungan.

"Mau heran tapi itu sudah jadi ciri khas manusia batu itu."

Dengan mengomel Medi membawa tubuh Linda mengikuti Abraham.

Setelah tiba di tempat parkir semakin jengkel lah sekertaris itu.

"Dasar pakaian perempuan kamu Bra, berani-beraninya dia meninggalkan aku disini bersama perempuan asing mabuk pula."

Teriak Medi sekencang mungkin saking emosinya sehingga beberapa orang melihatnya dan diam-diam mengambil gambar.

Reputasi yang selama ini dia jaga seketika hancur oleh majikannya.

Orang yang dulunya jarang sekali bicara kini terlihat seperti penjual obat di pasar-pasar tradisional.

"Kalian belum pernah melihat malaikat pencabut nyawa. Kalau iya kemari lah biar aku menunjukan pada kalian."

Semua orang yang ada di sana berhamburan pergi meninggalkan Medi.

Medi meletakkan tubuh Linda di kursi taman lalu mengeluarkan handphonenya.

"Cepat kemari, alamatnya nanti saya kirim melalui pesan singkat."

Tanpa menunggu jawaban, Medi langsung memutuskan panggilan.

Tidak lama kemudian sebuah mobil mewah datang dan berhenti.

"Bantu aku mengangkat perempuan ini masuk ke dalam mobil."

Pria itu mengangguk lalu membantu Medi memasukkan Linda ke mobil bagian penumpang.

"Mana kunci mobil"

"Terus saya pulang pake apa pak?

"Apa hal seperti itu aku juga yang harus memikirkannya?

Mau tidak mau pria itu memberi kunci mobil pada Medi.

"Dasar.....Majikan sama bos sama-sama menyebalkannya."

Teriak pria itu setelah mobil sudah menghilang.

Mobil terus melaju meninggalkan hotel dengan tujuan tak yang pasti.

"Kemana harus kubawa perempuan ini. Jangankan rumahnya, namanya saja aku tidak tahu."

Mobil tiba-tiba berhenti di pinggir trotoar.

"Dasar menyusahkan." Medi memukul setir mobil sembari berpikir kemana dia harus membawa Kania.

Hingga pria itu tersenyum.

"Hanya ada satu cara."

Medi kembali menghidupkan mesin mobilnya. Mobil melaju menembus pekat malam dan berbelok masuk kembali ke halaman club' malam.

Club malam yang tadinya ramai kini terlihat mencekam. Para tamu, bodyguard dan juga para ladies sudah pulang dan hanya ada dua orang yang berjaga.

Kedua satpam itu berdiri menyambut kedatangan Medi.

"Apa ada yang bisa kami bantu?

"Apa Kalian tahu dimana alamat rumah perempuan mabuk yang ada di dalam mobil? Tanya Medi mendekati mereka.

"Perempuan yang mana pak?

"Apa aku harus mengangkatnya kemari untuk memperlihatkan pada kalian?

"Bukan begitu pak. Ayo mari kita lihat."

Kedua segera keluar dari pos jaga dan berlari kecil kearah mobil Medi.

"Betul, kami mengenalnya. Dia ini mba Linda, salah satu ladies disini. Alamat rumahnya ada di jalan Pattimura no 7."

"Terus kenapa kalian masih disini, apa kalian mau ikut mengantar."

Medi masuk dalam mobil dan berbelok keluar halaman.

"Dasar orang kaya tidak tahu berterima kasih, sudah ditolong jawabnya tetap judes."

"Begitulah mereka, mereka hanya membutuhkan kita saat mereka butuh setelah itu mereka memandang kita dengan mata putihnya saja "

"Buta dong."

Keduanya tertawa lalu kembali ke pos jaga.

Mobil yang di kemudikan Medi sudah terarah, tujuannya kali ini ke jalan pattimura No.7 seperti petunjuk dari pak satpam.

"Ini dia rumahnya." Medi membunyikan klakson. Tidak lama kemudian seorang perempuan paru baya keluar dan berlari kecil membuka pintu pagar.

"Nona Linda mabuk lagi?

Dan selalu orang berbeda yang mengantarnya pulang. Maaf kalau sudah merepotkan mu. Tolong bantu bawa ke kamarnya."

Pinta Perempuan paru baya itu pada Medi yang sudah membuka pintu mobil untuk Linda.

"Kenapa malam ini begitu sial. Bisa-bisanya bertemu perempuan pemabuk seperti ini."

Omel Medi dalam hati lalu mengangkat tubuh Linda masuk kedalam rumah dan meletakkannya diatas kasur.

"Kalau begitu saya permisi."

Medi bergegas keluar kamar tapi tiba-tiba seseorang menjewer telinganya.

Andai saja itu seorang pria yang melakukanya sudah pasti wajahnya tidak akan berbentuk lagi.

"Meditasi...., kamu Medi kan? Anak pak Leon dan ibu Martini? Kamu sekarang sudah besar dan tampan sekali."

Medi mengernyitkan dahinya menatap lekat perempuan tua yang ada di hadapannya.

"Betul, dari mana bibi mengenal mereka."

"Bibi yang merawat mu dari bayi sampai umur dua belas tahun." terlihat bibi tertawa hingga kedua kalinya Medi mengernyit.

"Apa ada yang lucu?

"Kamu tahu kenapa tuan dan nyonya memberimu nama Medi?

Medi menggeleng.

"Karena kamu dulunya pendiam dan suka menyendiri, bertapa di dalam kamar makanya kamu sering di ejek cupu, tapi bibi tidak menyangka kalau kamu bisa tumbuh menjadi pria tampan seperti ayahmu. Apa bibi boleh mengambil gambar mu?

Tanpa persetujuan Medi, bibi segera berlari kecil menuju ke arah kamar.

"Anak itu tidak pernah berubah, paling tidak mau kalau diambil gambarnya."

Bibi menggeleng setelah tidak menemukan lagi Medi di tempatnya.