Lastri selalu di injak harga dirinya oleh keluarga sang suami. Lastri yang hanya seorang wanita kampung selalu menurut apa kata suami dan para saudaranya serta ibu mertuanya.
Wanita yang selalu melayani keluarga itu sudah seperti pembantu bagi mereka, dan di cerai ketika sang suami menemukan penggantinya yang jauh berbeda dari Lastri.
Namun suatu hari Lastri merasa tidak tahan lagi dan akhir mulai berontak setelah ia bercerai dengan sang suami.
Bagaimana cara Lastri membalas mereka?
Yuk simak kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Berkurang Lagi
Bab 5. Berkurang Lagi
POV Lastri
Hampir setiap hari aku mendapat kiriman pesan gambar dari Mbak Yuli yang memantau status mereka. Dan hampir semua gambar itu berisi postingan mereka yang pergi jalan-jalan maupun makan bersama.
Sedih sekali rasanya, saat aku dan Diah hanya berdua disini dan makan seadanya, Mas Hendra dan keluarganya bersenang-senang di luar sana tanpa mengajak kami.
Apa seperti ini pernikahan yang aku harapkan? Tidak. Pernikahan dalam bayangan ku adalah pernikahan yang bahagia meski hidup sederhana seperti kedua orang tua ku. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Dan aku menyesal telah memaksa Mas Hendra untuk bertanggung jawab menikahiku karena ia telah menodaiku dengan cara liciknya.
Masa itu aku bertemu Mas Hendra yang berkunjung ke kampung untuk pendataan warga. Aku dulu kembang desa di Kampung ku, meski setelah menikah dengan Mas Hendra wajahku kusam dan tak lagi menarik. Ketika aku terus menolak di dekati, Mas Hendra terus gencar berusaha mendekatiku. Lalu suatu hari, aku mas Hendra ingin berbicara penting padaku, aku pun di ajak pergi ke suatu tempat. Disana lah aku di gauli setelah di beri obat tidur.
Perbuatan Mas Hendra ketahuan oleh fahri, lelaki yang ku kenal sejak kecil. Lalu fahri pun melaporkannya kepada orang tuaku, juga ke Kepala Desa. Mas Hendra di tangkap dan akan di jebloskan ke penjara. Lalu keluarga Mas Hendra datang membujuk orang tuaku dan minta berdamai secara kekeluargaan dengan memintaku untuk di jadikan istri Mas Hendra.
Kami pun menikah, dan aku di sambut baik keluarga Mas Hendra. Mas Hendra memperlakukan aku bak putri raja. Namun itu hanya berlangsung 2 bulan setelah kami menikah dan tinggal di rumah sepetak yang dibeli ketika Ayah mertua masih hidup.
Rumah itu dibeli ayah mertua sebagai hadiah atas pernikahan Mas Hendra dengan ku. Lalu dua bulan setelah aku tinggal di sana, ayah mertua meninggal. Dan sejak saat itu lah, sedikit demi sedikit perubahan Mas Hendra dan keluarganya mulai terlihat hingga saat ini, yang tersisa hanya ketidak sukaan mereka terhadapku.
***
Mas Hendra pulang dengan sepeda motornya. Aku tidak pernah melihat di mana mobil baru itu ia bawa.
Wajahnya tampak lelah memasuki rumah. Ia pun duduk di kursi ruang tamu dan melepas sepatunya.
"Las! Lastri!!"
"Iya Mas."
Aku duduk di dekat Mas Hendra, mengambil sepatunya dan meletakkannya di rak sepatu.
"Nih buat belanja bulanan. Jangan boros-boros karena aku tidak ada uang lagi."
Mas Hendra meletakkan tumpukan uang 50 ribu di atas meja. Aku pun mengambilnya dan menghitungnya sekilas. 650 ribu! Mas Hendra mengurangi lagi uang untukku.
"Kenapa hanya 650 ribu Mas? Kenapa kamu terus mengurangi uang untuk belanja di rumah ini?! Ini tidak cukup Mas!"
Aku kesal dan kecewa pada Mas Hendra yang mengurangi lagi jatah uang belanja bulanan untuk rumah ini. Ia terus melakukannya sesuka hati. Tidakkah dia tahu 700 ribu saja kurang. Apalagi hanya di beri 650 ribu saja untuk menanggung semuanya.
"Kamu itu wanita tidak tahu bersyukur! Masih untung aku kasih uang. Gajiku tidak utuh bulan ini, karena ada potongan kantor."
Deg, jantungku sakit di katakan wanita tidak tahu bersyukur.
"Potongan apa Mas?" Tanyaku.
Setahuku Mas Hendra tidak pernah mengatakan sebelumnya, kalau akan ada potongan kantor. Apa itu jangan-jangan karena mobil baru? Apa kamu mencoba menutupinya dari ku Mas?
"Kamu tidak perlu tahu itu!"
Aku membuang napas berat.
"Apa itu karena mobil baru yang Mas beli?" Tanyaku mencoba menyelidiki.
Raut wajah Mas Hendra berubah ketika aku menyebut mobil baru. Sepertinya itu benar, karena mobil baru itu, uang bulanan untukku di kurangi lagi. Apa mobil itu dia beli dengan mencicil lewat potongan kantor? Sungguh terlalu kamu Mas. Di rumah kamu tidak peduli apa yang anak istri mu makan. Tapi di luar kamu bahagiakan semua anggota keluarga di atas penderitaan kami. Hatiku sakit...
Kembali aku menghela napas berat.
"Aku tahu Mas membeli mobil baru. Kalian sering pergi jalan-jalan tapi tidak pernah mengajak Diah. Kenapa Mas? Kenapa Mas tidak pernah mempedulikan anak kandung Mas sendiri. Bahkan Mas begitu sangat perhatian terhadap Dion dan Marla."
"Tahu dari mana kamu? Jangan mengatakan sesuatu yang tidak ada kejelasannya! Di kantor sekarang memang ada potongan untuk asuransi kerja."
Tidak mungkin apa yang di kirim oleh mbak Yuli itu salah. Jelas-jelas status Nilam dan mbak Tatik sudah menunjukkan semuanya. Baiklah akan ku buktikan dengan mataku sendiri kalau kamu membeli mobil itu mas!
"Baiklah Mas. Tapi Mas juga jangan protes kalau setelah ini aku tidak akan membeli telur atau ikan untuk Mas. Kita akan sama-sama makan tahu dan tempe." Kataku.
"Tidak bisa gitu dong!"
Mas Hendra protes mendengar hanya akan makan lauk tahu dan tempe yang akan aku suguhkan untuknya.
"Kalau begitu Mas bisa tambahin dari jatah Mas saja."
"Tidak bisa begitu Lastri! Kemarin-kemarin saja, uang segitu tidak cukup untukku."
"Mas, itu hanya untuk Mas sendiri. Apa Mas juga tidak bisa sedikit berhemat agar uang belanja untuk di rumah ini cukup? Mas sendiri dengan uang segitu tidak cukup, lalu bagaimana aku yang harus mengatur semua keperluan kita di rumah ini Mas?!"
Mas Hendra terdiam sesaat.
"Aaah, sudahlah. Bagaimana pun caranya kamu harus mengatur agar itu cukup!"
"Tapi Mas..."
"Aahh! Pusing aku di rumah ini. Lebih baik aku kerumah ibu dan makan enak disana."
"Mas..., Mas Hendra!"
Aku meremas ujung daster ku melihat sikap Mas Hendra yang mau menang sendiri. Bahkan ia hanya memikirkan kenyamanannya sendiri.
"Bu, Diah laper...."
Diah keluar dari kamarnya sambil memegang perutnya. Membayangkan Mas Hendra makan enak di rumah ibunya, aku jadi tidak tega melihat anakku yang jarang sekali makan enak. Baiklah, seperti katamu Mas. Aku akan mengatur uang belanja dengan sebaik-sebaiknya.
"Diah mau makan ayam krispy?" Tanyaku.
Mata Diah berbinar mendengar ayam krispy. Kasihan anakku. Kamu yang sabar ya Nak, meskipun kamu tidak mendapatkan cinta dan kasih sayang dari Ayahmu, tapi ibu akan memberikannya berlimpah untukmu.
"Mau Bu!"
"Baiklah, ayo kita pergi beli ayam krispy."
"Yeeee...!"
Diah melompat-lompat kegirangan. Aku lalu menutup pintu rumah dengan rapat dan pergi bersama Diah dengan berjalan kaki membeli ayam krispy yang di jual mbak Edah di ujung gang kami.
Dengan langkah senang sambil berdendang riang,
Diah mengikuti langkahku menuju kesana. Aku pun senang melihat senyum cerah di wajah anakku.
Lihat saja Mas! Mulai sekarang aku juga tidak akan peduli dengan keponakanmu yang sering numpang makan di rumah kita. Bukan aku yang jahat, tapi orang tua mereka yang jahat karena tidak memberikan Dion dan Marla makanan yang cukup. Dan aku pun beguru padamu yang mengajarkan aku untuk pilih kasih pada orang-orang yang lebih aku sayangi.
Bersambung...
Note : Tolong dukungannya untuk novel ku, walau tidak mau komen, sekedar like pun tak apa🙏🥺