Balas Dendam Sang CEO
Lampu-lampu hotel megah itu berpendar indah, mengisi malam yang dingin di kota besar. Di tengah keramaian acara pesta perayaan ulang tahun perusahaan, Riska berdiri dengan canggung di sudut ruangan. Ia bukan siapa-siapa di acara ini—hanya seorang karyawan junior yang kebetulan mendapat undangan dari atasan. Namun, kesempatan ini tak disia-siakan olehnya, karena Riska ingin mengembangkan jaringan dan mendapatkan pengalaman di dunia kerja yang lebih luas.
Malam itu, dengan gaun biru sederhana dan riasan tipis, Riska tampak anggun meski hanya berdiri sendiri di pinggir ruangan. Ia memandangi sekeliling, berharap bisa bercakap-cakap dengan seseorang, ketika tiba-tiba sosok pria tampan dengan setelan jas hitam elegan muncul di hadapannya. Pria itu memiliki tatapan yang tajam namun dingin, seolah-olah menembus jiwa siapa pun yang berani menatapnya langsung.
"Riska, bukan?" Suara pria itu rendah namun tegas, seperti orang yang biasa memberi perintah.
Riska terkejut. “Iya, maaf, saya tidak ingat pernah bertemu Anda.”
Pria itu tersenyum tipis, menunjukkan sedikit kesombongan. “Saya Aldo Pratama. CEO dari perusahaan induk tempat Anda bekerja.”
Jantung Riska berdetak lebih cepat. Aldo Pratama, pria yang namanya selalu disebut-sebut di kantor. Sosok yang dianggap untouchable, seperti dewa bisnis yang tak tersentuh. Dan kini, pria itu berdiri di depannya, memandangnya dengan tatapan yang penuh misteri.
“Oh, maaf, Tuan Aldo. Saya... saya tidak menyangka Anda tahu nama saya.” Riska menundukkan kepalanya, merasa canggung di bawah tatapan tajam Aldo.
“Tenang saja, saya tidak menggigit,” kata Aldo dengan nada setengah bercanda. Namun, ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat Riska merasakan ketegangan aneh. “Anda berbeda dari kebanyakan orang di sini. Terlihat... tidak berpura-pura.”
“Terima kasih, Tuan. Saya hanya berusaha menjadi diri sendiri,” jawab Riska pelan, bingung apa maksud Aldo sebenarnya.
Aldo mengangguk kecil, lalu mengulurkan segelas anggur pada Riska. “Minumlah, untuk merayakan malam yang indah ini. Mari kita tinggalkan segala formalitas sejenak.”
Riska ragu sejenak, namun akhirnya menerima gelas itu. Mereka mulai berbicara, awalnya tentang pekerjaan, lalu beralih ke percakapan yang lebih personal. Ada kehangatan aneh dalam cara Aldo berbicara, meski pria itu tetap terkesan dingin dan tak terduga. Sementara itu, dalam hati kecilnya, Riska merasa ada bahaya yang mengintai di balik tatapan pria tersebut. Namun, pesonanya terlalu kuat, membuat Riska terjebak dalam obrolan yang semakin larut dan penuh daya tarik.
Beberapa jam kemudian, mereka berada di sudut ruangan yang sepi, di mana suasana berubah menjadi lebih intim. Aldo menatap Riska dengan tatapan tajam, dan tiba-tiba saja ia mendekat. Napas Riska tercekat. Hatinya berdebar keras ketika Aldo berbisik di dekat telinganya, “Apa kamu tahu betapa menariknya dirimu saat ini, Riska?”
Riska tak tahu harus menjawab apa. Ia merasa terperangkap dalam pesona pria ini, sementara pikirannya berteriak memperingatkan bahaya. Namun, sebelum ia bisa berkata apa-apa, Aldo menariknya lebih dekat, dan saat itu—hanya dalam sekejap—dunia terasa lenyap, meninggalkan mereka berdua dalam ketegangan yang membakar.
Paginya, Riska terbangun dengan perasaan campur aduk. Ia mendapati dirinya sendirian di kamar hotel, dan Aldo sudah pergi tanpa meninggalkan pesan. Sesuatu di dalam dirinya bergemuruh. Ia merasa kosong, bingung, dan terluka. Pria itu muncul seperti badai dalam hidupnya, menghancurkan segala ketenangan yang pernah ia miliki.
Saat ia mengenang kejadian malam itu, sebuah pesan tiba-tiba muncul di ponselnya. Pesan dari nomor tak dikenal, dengan kata-kata yang menusuk.
> “Terima kasih untuk malam yang menarik, Riska. Anggap saja ini hanya sebuah pertemuan singkat. Jangan terlalu diambil hati.”
Pesan itu seakan menampar Riska. Betapa dinginnya pria itu, betapa mudahnya ia mengucapkan kata-kata yang menyakitkan. Sementara itu, Riska hanya bisa terdiam, merasa dirinya telah dipermainkan.
Beberapa minggu kemudian
Ketika perasaan terluka Riska mulai mereda, sebuah kenyataan baru menghantamnya—ia hamil. Rasa panik dan bingung menyelimutinya. Bagaimana ia bisa menghadapinya sendirian? Bagaimana reaksi Aldo saat mengetahui hal ini? Berbagai pikiran bercampur aduk di benaknya, dan akhirnya ia memutuskan untuk menemui Aldo, berharap mendapat dukungan atau setidaknya tanggung jawab.
Riska duduk di lobi kantor pusat perusahaan Aldo, merasa cemas. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya ia dipersilakan masuk ke ruangan pria itu. Aldo duduk di balik mejanya, tatapannya dingin saat melihat Riska.
“Ada apa kau ke sini, Riska?” tanya Aldo tanpa basa-basi, suaranya tenang namun penuh kekuasaan.
Riska menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan keberanian. “Aldo... aku hamil,” katanya pelan, namun cukup jelas untuk didengar.
Aldo menatapnya, lalu tertawa sinis. “Dan kamu pikir aku akan percaya begitu saja?”
“Aku tidak datang ke sini untuk meminta belas kasihan atau simpati. Aku hanya ingin kamu tahu,” Riska membalas dengan nada yang tak kalah tajam, walau dalam hatinya ia hancur mendengar respons dingin Aldo.
Aldo mendekat, memandang Riska dengan tatapan tajam. “Baiklah, katakan, apa yang kau inginkan? Uang? Kehormatan? Atau...?”
Riska merasakan air mata hampir jatuh, namun ia menahan diri. “Aku tidak meminta apa pun, Aldo. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa ini adalah kenyataan yang harus kita hadapi.”
Setelah hening sejenak, Aldo tersenyum tipis. “Kalau begitu, bersiaplah. Kita akan menikah. Tapi jangan berharap pernikahan ini didasari cinta. Aku hanya ingin melindungi reputasiku, dan aku tidak akan membiarkanmu merusak itu.”
Riska terkejut dengan keputusan tiba-tiba itu, namun sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Aldo sudah meninggalkan ruangan, meninggalkannya sendirian dengan keputusan yang pahit dan tanpa pilihan lain.
Di luar ruangan itu, hati Riska berdebar hebat, antara rasa marah, kecewa, dan takut. Ia telah menyerahkan hidupnya pada pria yang sama sekali tidak peduli padanya, yang hanya melihatnya sebagai beban yang harus diselesaikan.
Malam itu, setelah memikirkan segalanya, Riska berdiri di balkon apartemennya, menatap langit malam yang penuh bintang. Dalam hatinya, ia berjanji untuk bertahan demi anak yang dikandungnya. Namun, ia juga sadar bahwa hidup bersama Aldo akan menjadi tantangan terbesar dalam hidupnya.
Bab ini berakhir dengan ketegangan yang masih membara, meninggalkan pembaca bertanya-tanya: Akankah Riska mampu menghadapi Aldo dan semua permainan psikologisnya? Atau, akankah Aldo benar-benar bisa melepaskan dendamnya di atas hubungan mereka yang baru saja dimulai?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments
🌟~Emp🌾
syukurlah dia mau tanggung jawab 🤦
2024-11-13
0
Rika Ananda
keren
2024-11-15
0
🌟~Emp🌾
sungguh terlalu /Sob/
2024-11-13
0