Tak sekedar menambatkan hati pada seseorang, kisah cinta yang bahkan mampu menitahnya menuju jannah.
Juna, harus menerima sebuah tulah karena rasa bencinya terhadap adik angkat.
Kisah benci menjadi cinta?
Suatu keadaanlah yang berhasil memutarbalikkan perasaannya.
Bissmillah cinta, tak sekedar melabuhkan hati pada seseorang, kisah benci jadi cinta yang mampu memapahnya hingga ke surga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Mas Juna benar-benar tidak bisa ku tebak, baru saja sikapnya baik, sekarang berubah lagi ke sikapnya yang lama.
Pandai sekali dia berpura-pura, aku jadi semakin bulat buat keluar dari rumah papa Irfan. Beruntung aku segera menemukan sosok calon suami ideal seperti mas Hasan, kalau tidak aku pasti akan tinggal lebih lama di rumah orang tua mas Juna.
Tak perlu berfikir, aku akan bilang ke mama kalau sebentar lagi ada pria yang akan melamarku.
"Kamu ta'aruf lagi?"
Aku menghentikan gerakan tanganku yang tengah mengenakan sabuk pengaman, lalu menoleh ke samping kanan di mana mas Juna duduk di belakang kemudi.
"Iya" jawabku singkat. Lalu kembali menatap lurus ke depan.
Tanpa aba-aba, mas Juna malah langsung menancapkan gas yang otomatis membuatku reflek beristighfar sekaligus berpegangan erat-erat.
"P-pelan-pelan, mas!" Ucapku takut-takut, sebab mas Juna melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Pria itu tak menggubris perintahku. Dia malah semakin membabi buta dalam menyetir mobilnya.
Ku telan ludahku dengan panik.
Selang hampir satu menit tiba-tiba suara rem berdecit, mobil pun keluar dari bahu jalan dan seketika terhenti.
Untung saja aku sigap, dan sabuk pengaman sudah mengunci tubuhku dengan kencang jadi tak tersentak ke depan. Detik berikutnya aku menoleh untuk memindai wajah mas Juna.
"Mas ini kenapa, si? Tahu-tahu sikapnya lembut, tahu-tahu berubah lagi. Aku salah apa?" Aku mengatakannya dengan nada kesal.
Bukannya langsung menjawab, mas Juna malah menatapku dalam-dalam. Sorotnya tajam, setajam cahaya matahari yang menyilaukan.
Aku terserang rasa gugup, namun dengan berani ku balas tatapannya meski tersisip rasa takut.
Mulutku terkatup, sama halnya mas Juna yang rahangnya tampak mengerat.
Bertahan hingga satu menit kami saling menatap lekat, mas Juna lalu bersuara.
"Bisa lihat mataku lebih lama lagi?" Tanyanya tanpa ekspresi. Wajahnya terkesan dingin tak tersentuh.
Tepat ketika aku ingin berpaling karena tak tahan menatapnya lebih lama, mas Juna kembali mengeluarkan suaranya yang membuatku tak jadi mengalihkan pandanganku.
Aku pun kembali menyoroti sepasang iris bulatnya.
"Apa kamu melihat sesuatu di mataku?"
Ku telan ludahku mentah-mentah.
Aku sangat sadar kalau sepasang manik gelap mas Juna bergerak mengekori gerakan manik gelapku, membuat jantungku otomatis bertalu-talu.
Jujur aku tak faham apa maksud pertanyaannya barusan.
"Ada sesuatu yang tersirat di mataku Azura, apa kamu tahu itu?"
Kembali ku telan ludahku kali ini seraya menggeleng pelan.
"Seseorang bisa berubah karena cinta, apa kamu menyadari perubahan sikapku padamu?"
Sungguh aku semakin tak mengerti dengan apa yang mas Juna katakan.
"M-maksud mas Juna apa?"
Pria itu tersenyum miring, lalu menghirup udara dalam-dalam.
"Apa kamu tidak ada niat untuk mempertimbangkan keinginan mama?"
"Keinginan mama yang mana?"
Ku rasa mas Juna terlalu berbelit-belit. Muter-muter nggak jelas, sama seperti sikapnya yang membingungkan. Kadang baik, kadang jahat, kadang manis, kadang dingin.
"Maaf, bisa katakan lebih jelas, aku benar-benar nggak paham"
"Kami sungguh ingin menikah dengan dia?"
Pertanyaan apa lagi ini? Semakin ngawur saja.
"Tentu saja" Jawabku lirih, seraya melempar netraku ke arah depan. "Dia pria idaman, kalau dia ingin melanjutkan ta'aruf ini ke tahap yang lebih serius, nggak ada alasan buat aku menolak pria seperti mas Hasan"
"Jadi namanya Hasan?" Mas Juna mengembalikan posisi duduknya menghadap ke depan.
Sepertinya dia ada unek-unek yang mengusik ketenangannya, tapi tak mengatakan secara gamblang.
Dan aku tak mau tahu apa yang membuatnya terusik. Yang ku tahu dia pria arogan, egois, yang maunya menang sendiri.
"Sudah sore, aku belum sholat ashar, bisa jalankan mobilnya biar kita cepat sampai?" Pintaku, terdengar nadanya begitu acuh di telingaku.
Tak menjawab, mas Juna mengusap wajahnya sembari beristighfar, satu menit kemudian dia menginjak pedal gas.
Mobil pun melesat, kali ini dengan kecepatan stabil.
Kami tak saling bicara sampai mobil tahu-tahu tiba di rumah mama.
Hubungan yang baru saja terjalin lebih baik, kini kembali ke keadaan semula. Dimana aku dan mas Juna saling tak peduli satu sama lain.
Dia bahkan tak membantuku mengganti perban di tanganku, padahal seingatku dia sudah janji akan membantuku setiap kali aku butuh bantuannya mengganti perbanku.
Dia hanya menyediakan alatnya, dan membiarkanku melakukannya sendiri.
Bersambung
ereks luar biasa..dan tlng singkirkn pelakory..jangan trs di uji antara yura jg juna..jd kpn mereka bisa bahagia.
.
keren juna, jawabanmu gentle berani menolak dan teruslah menjadi suami yang jadi pengayom dan pengayem
sakinah mawaddah warrohmah
semoga episode selanjutnya kak author kasih yura hamil kembar
lanjut kak