Ara adalah seorang personal asisten Garvi, hubungan mereka cukup unik. Terkadang terlihat layaknya kawan sendiri tapi tak jarang bersikap cukup bossy hingga membuat Ara lelah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dua belas
💙💙💙💙
Sesuai permintaan sang kakak, Dika akhirnya memutuskan untuk menemui Garvi meski rasanya ia malas. Ia tidak begitu tahu tempat yang dituju, ia merasa aneh sekaligus kesal saat sudah sampai di lokasi yang Garvi kirimkan. Sebuah bangunan baru?
Mendadak perasaannya tidak enak. Dika rasanya ingin sekali kabur detik itu juga, tapi ia terlambat karena sang kakak sudah menyadari kehadirannya. Mau tidak mau ia berdecak kesal lalu menghampiri Garvi dan sang asisten.
"Ngapain sih?" tanya Dika to the point. Ia benar-benar tidak berniat untuk berbasa-basi dengan dengan pria itu.
Moodnya tidak begitu bagus karena datang kemari.
"Ikut gue!" ucap Garvi.
Bukannya menurut, Dika malah melirik ke arah personal asisten Garvi yang hari ini terlihat begitu berbeda. Ia tahu kakaknya memiliki tinggi badan yang tidak jauh beda dengannya, meski, harus ia akui kalau dirinya lebih tinggi jika dibandingkan sang kakak. Seingatnya saat mereka bertemu tempo hari, tinggi badannya dengan sang PA Garvi tidak sejauh itu. Lalu kenapa saat bersanding dengan sang kakak, tinggi mereka cukup kontras begini.
"Ini bukannya yang jemput gue kemarin, Mas?"
Garvi mengangguk. "Kenapa?"
Dika menggeleng. Pandangannya kemudian turun sampai ujung kaki Ara. Senyuman pria itu seketika langsung terbit detik itu juga, saat ia menyadari kalau gadis ini tidak sedang mengenakan heels-nya.
Oh, ternyata gadis ini cukup mungil saat tidak mengenakan benda itu. Batin Dika merasa lucu.
"Kenapa sih lo?" tanya Garvi merasa heran dengan kelakuan sang adik.
Dika kembali menggeleng. "Enggak papa, jadi kenapa lo minta gue ke sini?" Kepalanya kemudian memandang gedung di hadapannya yang masih dalam tahap pembangunan, namun, sudah hampir selesai, "ini nggak seperti yang ada di pikiran gue kan, Mas?"
Tak sesuai harapan, Garvi mengangguk untuk mengiyakan. Hal ini membuat Dika langsung berdecak kesal.
"Kayaknya iya."
"Mas?"
Dika masih lumayan bagus dalam menguasai dirinya. Ia masih memanggil Garvi dengan nada setenang mungkin, meski tidak bisa dipungkiri kalau ada nada kesal terselip.
"Zahra, bisa tinggalkan kami berdua?"
Ara mengangguk paham lalu pamit undur diri.
"Mau lo apa sih, Mas, sebenernya?" tanya Dika begitu Ara sudah meninggalkan keduanya. Kedua matanya menatap nyalang ke arah sang kakak.
"Tentu saja gue mau yang terbaik buat lo. Menurut lo apa lagi?"
Dika langsung tertawa meremehkan. "Terbaik versi lo belum tentu jadi terbaik juga buat gue, Mas. Lo ngerti nggak sih konsep beginian?" Ia membuang muka, "tahu lah, kayaknya emang lo nggak bakalan ngerti soal ginian. Cabut aja lah gue dari pada diterusin kayaknya kita bakalan berantem lagi."
Kaki perlahan menjauh dari Garvi. Namun, suara sang kakak akhirnya menghentikan langkah kakinya.
"Lo bisa nggak sih sedikit aja menghargai usaha orang?"
Dengan berat hati, Dika berbalik. "Lo juga bisa nggak, Mas, menghargai privasi orang. Jangan suka ikut campur dan melewati batas! Gue udah dewasa, gue bukan anak kecil lagi. Tanpa campur tangan lo, gue bisa berdiri di atas kaki gue sendiri. Jangan ngelakuin hal-hal yang bikin gue benci lo. Paham? Gue perhatiin lo lama-lama mirip bokap, Mas."
"Karena emang tujuan gue itu, peran gue emang buat gantiin bokap. Setelah Papa nggak ada, lo sama Mama itu tanggung jawab gue. Ngerti?"
"Tapi bukan berarti lo bisa nyetir gue sesuka hati lo, Mas!" seru Dika tiba-tiba.
Garvi melotot tidak terima. "Bagian mana yang gue nyetir lo, Dik? Kasih tahu gue! Gue bahkan bangun gedung ini karena emang gue maunya lo tetap pada passion lo, gue nggak minta lo terjun langsung ke perusahaan karena gue yakin itu nantinya akan membebani lo. Seenggaknya gue pengen lo tetap melakukan apa yang lo suka, nyanyi dan bermusik. Gue tau bangun sekolah musik adalah salah satu mimpi lo, dan gue cuma ngebantu mewujudkannya. Tapi apa lo bilang? Gue nyetir lo? Kalau emang gue begitu, udah gue tarik lo masuk perusahaan begitu balik ke Indo. Paham?"
"Tapi gue cuma pengen melakukan semua hal yang gue suka, Mas, tanpa campur tangan lo. Paham? Oke, iya, emang gue punya mimpi bangun sekolah musik, tapi nggak sekarang, atau dalam waktu dekat. Karena apa? Karena gue mau fokus bermusik dan berkarya, gue pengen karya gue dikenal dan lainnya. Lo paham nggak sih?"
Garvi hendak menjawab, tapi terpaksa harus ia urungkan karena ada telfon masuk. Nama sang kekasih yang tertera di layar, alhasil, mau tidak mau ia pun harus menjawabnya.
"Ya, halo. Gimana, babe?"
"Harusnya aku yang tanya, Vi. Kamu bisa nggak nemuin aku?"
Garvi diam sebentar, lalu melirik ke arah sang adik. Mengingat perdebatan yang baru saja terjadi, dan belum selesai ini, sepertinya tidak mungkin jika ia harus makan siang bersama sang adik.
"Bisa. Mau ketemu di mana?"
"Cafe deket lokasi pemotretan aku aja. Nanti aku share lokasinya."
Garvi mengangguk paham, lalu mematikan sambungan telfon begitu saja.
"Gue ada urusan, nanti kita lanjut lagi ngobrolnya. Gue cabut duluan. Oh, ya, sama satu lagi, titip personal asisten gue. Lo ajakin makan siang dulu ya sebelum anter ke kantor," ucap Garvi sebelum meninggalkan sang adik begitu saja.
💙💙💙💙
Ara terlihat heran saat melihat Dika datang seorang diri. Langkah kakinya dengan sedikit tergesa-gesa menghampiri pria itu.
"Loh, Pak Garvi mana, Mas? Kok sendirian?"
"Lah, dia udah balik duluan, emang nggak ketemu?"
Dika balik bertanya dengan nada heran. Ara hanya menjawab dengan gelengan kepala.
"Ya udah sih, yuk, gue anter balik ke kantornya. Tapi kita makan siang dulu. Lo pengen makan apa?"
"Eh, nggak ngerepotin, Mas?"
Mendengar panggilan 'Mas' membuat Dika agak sedikit baper. Pria itu tertawa renyah.
"Seinget gue, gue pernah larang lo manggil gue Mas deh. Kenapa masih manggil Mas?" tanya Dika pura-pura ngambek. Bibirnya mengerucut imut.
Dengan wajah menggemaskan pria itu, Ara akan percaya-percaya saja kalau Dika mengaku masih anak kuliahan. Serius.
"Kan kan Mas Dika lebih tua ketimbang saya, terus Mas Dika juga adiknya Pak Garvi bos saya. Masa iya saya panggil nama? Itu namanya nggak sopan, Mas, apalagi saya ini orang Jawa."
Dika mendengus. "Tapi gue biasa dipanggil Dika. Bahkan selama dipanggil Dikey. Emang lo mau tanggung jawab kalau seandainya gue baper sama panggilan 'Mas' lo?"
"Ya udah, panggil Kak aja gimana?" usul Ara.
Dika kembali mendengus. Tapi kali ini tidak disertai protes. Pria itu hanya manggut-manggut setuju tak lama setelahnya.
"Jujur, gue lagi nggak pengen makan nasi. Kalau gue ajak lo makan burger aja gimana?"
Berhubung dirinya cuma diajak dan kemungkinan besarnya pasti ditraktir, maka dari itu ia langsung mengangguk setuju. Meski nanti sekitar jam setengah tiga sore ia pasti sudah lapar lagi.
"Yakin nggak papa?" tanya Dika mencoba untuk memastikan ulang.
Ara mengangguk mantap. "Yakin, Mas, eh, Kak. Nggak papa kok."
"Yakin loh, ya, gue nggak mau ntar kena omel bos lo soalnya. Dia nitipin lo ke gue, kalau lo nggak nyaman sama pilihan gue, bilang aja, nggak usah sungkan."
"Enggak kok, Kak, Mas, eh, bener Kak deh maksud gue."
Dika tertawa gemas. "Ya udah deh, khusus buat lo, boleh deh manggil gue, Mas, daripada lo-nya belibet gitu. Yang penting lo nyaman aja."
"Hehe, makasih, Mas. Aku kayaknya emang lebih nyaman pake Mas deh."
"Ya udah, Mas juga boleh. Udah, yuk, langsung berangkat. Takutnya kelamaan di luar bos lo ngomel. Soalnya kan itu Om-om kalau ngomel nggak abis-abis."
Ara hanya terkekeh mendengar gerutuan Dika. Diam-diam, dalam hati ia menyetujui kalimat pria itu. Ya, karena kalau mode mengomel Garvi memang juara. Panjang banget omelannya, padahal kalau mode anteng, bisa tuh, seharian nggak ngomong sama sekali. Mungkin bisa dibilang pria itu tahu waktunya dia harus diam atau harus banyak bicara.
💙💙💙💙