Lusi, seorang mahasiswi, terpaksa menjadi jaminan hutang keluarganya kepada Pak Rangga, seorang pengusaha kaya dan kejam. Dia harus bekerja keras untuk melunasi hutang tersebut, menghadapi tekanan moral dan keuangan, serta mencari jalan keluar dari situasi sulit ini. Hubungannya dengan Pak Rangga pun menjadi kompleks, menimbulkan pertanyaan tentang kebenaran, kekuasaan, dan keberanian.
Lusi berjuang untuk menyelamatkan keluarganya dan menemukan kebebasan, tetapi tantangan besar menanti di depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi'rhmta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- Jarak dan Kedekatan
Bulan purnama menerangi langit malam. Di beranda rumah besar Rangga, Lusi dan Rangga duduk berdampingan, menikmati secangkir teh hangat. Suasana terasa tenang dan damai. Setelah perdebatan mereka beberapa hari lalu, hubungan mereka terasa lebih dekat dan hangat.
Rangga memecah keheningan. "Lusi," katanya, suaranya terdengar sedikit gugup. "Aku ingin bicara sesuatu."
Lusi menatap Rangga, merasa jantungnya berdebar. "Ya, Rangga?"
Rangga menghela napas. "Aku... aku ingin kau tahu bahwa aku sangat menghargai kehadiranmu di sini." Ia menatap mata Lusi dengan intens.
Lusi terdiam, merasa sedikit gugup. Ia pun merasakan ketertarikan yang sama kepada Rangga.
"Kau... kau wanita yang luar biasa," lanjut Rangga, suaranya semakin lembut. "Kau kuat, tegar, dan penuh semangat. Aku kagum padamu."
Lusi tersenyum, merasakan sentuhan hangat di hatinya. "Terima kasih, Rangga," katanya, suaranya sedikit bergetar.
Rangga mengulurkan tangannya, menjangkau tangan Lusi. Lusi membalas sentuhan Rangga, dan di antara sentuhan tersebut, terasa sebuah kehangatan yang mendalam. Mereka saling memandang, dan di antara tatapan mereka, terasa sebuah ketertarikan yang tak terbantahkan.
Sepanjang malam, Rangga terus menunjukkan ketertarikannya kepada Lusi. Ia menceritakan beberapa kenangan masa kecilnya, berbagi mimpi dan harapannya untuk masa depan. Ia juga memperhatikan detail-detail kecil tentang Lusi, seperti memastikan Lusi merasa nyaman dan hangat. Ia melakukan semua ini dengan halus, tanpa secara eksplisit menyatakan perasaannya. Namun, tindakan-tindakannya berbicara lebih keras daripada kata-kata. Lusi merasakan ketulusan dan ketertarikan Rangga, dan di dalam hatinya, sebuah harapan mulai tumbuh. Harapan akan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.
Matahari pagi menyinari rumah besar Rangga. Lusi terbangun dan menemukan sebuah buket bunga mawar merah di nakas samping tempat tidurnya. Sebuah kartu kecil tercantum di antara bunga-bunga itu, bertuliskan, "Semoga harimu indah." Tulisan tangan Rangga. Lusi tersenyum, merasa jantungnya berdebar.
Di meja makan, Rangga sudah menunggu. Ia menyiapkan sarapan untuk Lusi, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan beberapa hari terakhir ini. Namun, hari ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang lebih dalam dalam tatapan Rangga.
"Pagi, Lusi," kata Rangga, suaranya lembut. "Kau suka mawar merah?"
Lusi mengangguk, masih tersipu malu. "Sangat cantik."
Sepanjang hari, Rangga terus menunjukkan kepeduliannya. Ia membantu Lusi menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda, mengajak Lusi berjalan-jalan di taman, dan bahkan membacakan buku kesukaan Lusi. Semua tindakannya menunjukkan kepedulian yang mendalam, namun tetap terselubung.
Pada malam hari, sementara mereka duduk di beranda, Rangga berkata, "Lusi, aku... aku merasa sangat nyaman berada di dekatmu." Ia menatap Lusi dengan intens, namun segera mengalihkan pandangannya. "Kau... kau membuatku merasa hidup."
Lusi terdiam, merasakan jantungnya berdebar kencang. Ia mulai menyadari perasaannya kepada Rangga, perasaan yang selama ini ia coba sembunyikan. Namun, keraguan mulai muncul. Perbedaan status sosial mereka, perbedaan latar belakang, dan situasi mereka saat ini membuat Lusi ragu untuk membalas perasaan Rangga. Ia takut akan konsekuensi yang mungkin terjadi. Ia takut akan rasa sakit yang mungkin akan ia alami. Di tengah kebahagiaan yang mulai tumbuh, sejuta keraguan mulai menggerogoti hatinya. Ia perlu waktu untuk memikirkan semuanya dengan tenang.
Pagi itu, Lusi bangun lebih awal. Ia memutuskan untuk fokus pada pekerjaannya, mencoba untuk menepis perasaan yang mulai tumbuh di hatinya. Ia ingin kembali ke kehidupan normalnya, bebas dari ketergantungan pada Rangga. Ia mulai membuat daftar tugas, merencanakan langkah-langkah untuk kembali ke pekerjaannya.
Di meja makan, Rangga memperhatikan Lusi. Ia menyadari perubahan sikap Lusi. Lusi terlihat lebih dingin dan menjaga jarak. Rangga merasa khawatir.
"Lusi," kata Rangga, suaranya terdengar sedikit cemas. "Kau terlihat berbeda hari ini. Ada apa?"
Lusi mencoba untuk bersikap tenang. "Tidak ada apa-apa, Rangga. Aku hanya ingin fokus pada pekerjaanku."
Sepanjang hari, Lusi berusaha untuk menjaga jarak dengan Rangga. Ia menolak ajakan Rangga untuk berjalan-jalan di taman, dan menolak tawaran bantuan Rangga untuk menyelesaikan pekerjaannya. Namun, upaya Lusi untuk bersikap profesional justru membuat Rangga semakin khawatir.
Rangga mulai menunjukkan perhatian yang lebih intens. Ia selalu ada di dekat Lusi, membantu Lusi dalam setiap hal, dan selalu memastikan Lusi merasa nyaman. Ia bahkan menawarkan untuk membantu Lusi mencari pekerjaan baru, sesuatu yang membuat Lusi semakin bingung.
Pada malam hari, Rangga datang ke kamar Lusi. "Lusi," katanya, suaranya terdengar lembut namun tegas. "Aku tahu kau sedang berusaha untuk menjaga jarak, tapi aku tidak bisa membiarkanmu sendirian. Aku khawatir padamu."
Lusi terdiam, merasakan ketulusan dalam kata-kata Rangga. Ia menyadari bahwa perasaannya kepada Rangga semakin dalam, namun keraguannya masih tetap ada. Ia masih ragu dengan perbedaan status mereka, dan masih takut akan konsekuensi yang mungkin terjadi. Namun, ia juga tidak bisa membantah ketulusan dan kepedulian Rangga. Ia merasa terjebak di antara perasaannya sendiri dan realita yang ada.