Andara Mayra terpaksa menerima perjodohan dengan seorang pria yang sudah dipilihkan oleh ayahnya.
Namun dibalik perjodohan yang ia terima itu ternyata ia sudah memiliki kesepakatan sebelumnya dengan sang calon suami. kesepakatan jika setelah satu tahun pernikahan, mereka akan bercerai.
akankah mereka benar-benar teguh pada kesepakatan mereka? atau malah saling jatuh cinta dan melupakan kesepakatan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiwit rthnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
diantara dua cucu kakek
Tepukkan pada pundak membuatku terkejut.
"Eh pak." Aku terperanjat dan langsung menunduk hormat pada kak Satria. Sekarang kan dia atasanku juga.
"Habis dari mana hmm? Aku cari-cari."
"Cari-cari? Emang mau apa? Mm maksud saya, apa bapak membutuhkan sesuatu?" Bukankah aku harus profesional.
"Kalau lagi berdua jangan formal-formal. Panggilnya sayang aja." Ia berbisik pelan di telingaku.
"Iish. Gak bisa gitu pak. Kita harus tetap profesional."
"Okey okey. Bisa kamu ke ruangan saya sekarang?"
"Mau apa?" Spontan aku langsung bertanya.
"Mau pacaran." Ia mengerling nakal padaku.
"Hehe. Becanda. Aku mau ngajakin makan siang. Mau kan?"
"Boleh."
Kak Satria mengajakku makan siang di restauran terdekat. Kami tak sengaja berpapasan dengan mas Bara dan mbak Ana yang sepertinya akan makan siang disana juga.
"Hai May. Jadi kamu pacar satria?"
Nampak mbak ana tersenyum dengan tatapan tak percaya. Aku hanya tersenyum menjawabnya.
"Iih gak nyangka banget. Kok gak bilang-bilang sih? Pantes aja gak mau dijodohin, udah punya Satria rupanya. Ahh tapi syukurlah. Aku lega mengetahui ini. Setidaknya saat kamu dan Bara berpisah nanti, aku bisa tersenyum lega." Aku dan mas Bara saling menatap. Namun tak lama aku segera mengalihkan pandanganku kembali pada mbak ana.
"Mbak ana tenang saja. Oh iya. Kalau begitu kami duluan ya mbak." Aku hendak pamit.
"Bukankah kalian juga akan makan siang?" Nampaknya mbak ana tak mau melepasku begitu saja.
"Iya. Kami hendak makan siang." Kini kak satria ikut menjawab.
"Kenapa tidak bergabung saja? Anggap saja kita sedang double date, gimana?" Mbak ana malah mengajak makan bersama.
"Udah kita berdua saja." Kulihat raut tidak suka tergambar jelas di wajah mas Bara. Apa segitu ingin berduaannya dia dengan mbak ana, sampai menolak begitu.
"Boleh. Jarang-jarang kan kita double date seperti ini?" Lain dengan kak Satria. Ia nampak antusias dengan ajakan mbak ana. Kulihat mereka kembali saling menatap. Ah aku tak mengerti dengan kedua lelaki ini.
"Benar kata Satria. Jarang-jarang Kita makan bareng mereka. Ayo." Akhirnya mas Bara mengikuti kemauan mbak ana.
Aku hanya diam memperhatikan mbak ana yang asyik ngobrol dengan kak Satria. Sesekali kupergoki mas Bara yang sedang menatapku.
Setelah makan, aku juga memesan eskrim. Entah kenapa akhir-akhir ini aku banyak sekali makan.
Mereka masih asyik dengan dunia mereka, sementara aku memilih santai dengan memakan es krim. Mas Bara sendiri, dari tadi ia sibuk menelpon. Nampaknya banyak pekerjaan yang terbengkalai gara-gara kemarin ia sakit.
Mas Bara tiba-tiba melihatku yang sejak tadi melihatnya. Aku segera menundukkan wajahku karena malu.
"Ya ampun sayang. Kok makan eskrimnya belepotan gitu sih?" Tiba-tiba kak Satria membelai pipiku dengan lembut dihadapan mbak ana dan mas Bara. Cukup lama kak Satria membelai pipi dan bibirku.
"Aku ada urusan. Kalau kamu masih ingin disini. Disini saja." Kulihat mas Bara berdiri dengan wajah yang dingin. Ia pergi begitu saja tanpa menghiraukan mbak ana yang ada di belakangnya.
Setelah makan siang aku dan kak Satria kembali ke kantor. Tapi sepertinya tidak dengan mas Bara dan dan mbak ana. Entah kemana mereka pergi.
"Eh pak Bara kemana ya. Harusnya beliau udah ada disini buat meeting." Kulihat Bu mela selaku manager keungan sedang kebingungan karena tak menemukan mas bara di ruangannya.
"Ada apa ini?" Kak Satria tiba-tiba datang.
"Begini pak, sebentar lagi ada meeting dengan client dari PT. Kusuma Jaya. Tapi pak Bara tidak ada di ruangannya. Tidak ada pesan apapun juga yang pak Bara sampaikan."
"Oh ya sudah. Kalau boleh, saya mau lihat berkasnya. Biar nanti saya yang handle." Dengan tenang kak Satria mencoba menyelesaikan masalah. Kulihat kak Satria begitu cermat membaca berkas yang diberikan bu mela. Ah, andai aku tak mengenal dan berurusan dengan mas Bara. Aku pasti masih sangat mencintainya.
"Maaf bu, pak." Kulihat asisten lie datang dengan tergesa.
"Iya pak lie, ada apa?" Bu mela langsung bertanya pada asisten lie.
"Saya ingin menyampaikan jika pak Bara tidak bisa menghadiri meeting yang akan dilaksanakan sebentar lagi. Ada sesuatu yang urgen yang membuat pak bara tidak bisa hadir. Beliau meminta pak Satria untuk menghandlenya. Hanya itu yang ingin saya sampaikan. Mohon maaf dan terimakasih." Asisten lie menatapku sendu, namun sedetik kemudian ia bergegas pergi kembali. Ada apa? Apa yang terjadi pada mereka.
Aku mencoba menelpon mas Bara, namun ia tak mengangkat panggilanku. Perasaanku mendadak tidak nyaman. Apa terjadi sesuatu pada mas Bara.
Sampai jam pulang kantor mas Bara dan asisten lie tak terlihat kembali.
"Ayo masuk." Kak Satria menghentikan mobilnya disampingku. Aku ragu.
"Ayo sayang." Mengingat tak ada mas Bara dan asisten lie akhirnya aku mau ikut pulang bersamanya.
"Kenapa diam saja?" Ia menggenggam tanganku.
"Gak papa. Aku hanya sedikit lelah."
"Ooh gitu. Ya udah kita langsung pulang ya. Biar kamu langsung istirahat."
Kak Satriapun mengantarku pulang. Bukannya istirahat, aku malah mondar mandir tak karuan karena mengkhawatirkan mas Bara.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi ia tak kunjung pulang. Kemana kamu mas? Apa kamu baik-baik saja.
Tak lama akhirnya kudengar suara mobil mas bara datang. Aku segera menuju pintu ingin memastikan ia baik-baik saja. Kulihat Mas bara membuka pintu, ia masuk dengan wajah yang terlihat kacau.
"Mas. Are you okay?" Ia nampak terkejut melihatku.
"Kamu belum tidur?" Ia menatapku sendu. Aku menggeleng pelan.
"Aku khawatir-" belum selesai aku berucap mas Bara langsung memelukku erat.
"Maaf. Maafkan aku." Suaranya terdengar parau. Entah kenapa hatiku tak mau mendengar kata itu, seolah ia sudah melakukan kesalahan besar padaku.
"Memang apa yang terjadi mas?" Kulerai pelukannya, kutatap wajahnya. Namun ia hanya menggelengkan kepalanya lemah.
"Bisa temani aku tidur malam ini? Aku sangat lelah." Ia menggenggam tanganku. Dan aku hanya bisa diam membiarkan ia menarik tubuhku masuk kedalam kamarnya.
Seperti yang ia ucapkan jika ia memintaku menemaninya tidur. Ia memelukku. Kepalanya ia sandarkan pada dadaku. Ia sudah seperti seorang anak yang butuh belaian ibunya.
Lama kami saling terdiam hingga kantuk tak dapat kutahan. Akupun terlelap.
Pagi hari saat aku terbangun aku tak menemukan keberadaannya.
Namun aku menemukan sebuah kertas yang kutahu mas Bara yang menulisnya. 'Aku sangat mencintaimu Mayra. Maafkan aku.'
Kemana lagi dia, hari ini kan hari minggu. Apa dia pergi bersama mbak ana.
Aku bangkit dan bergegas pergi untuk membersihkan diri, ah untung aku ingat dengan tes pack yang aku beli. Kutampung urine pertamaku hari ini, dan perlahan kucelupkan tes pack itu kedalam wadah yang berisi urine tadi. Aku memejamkan mata saat ku ambil tes pack itu. Satu dua tiga. Mataku terbuka. Dan oh tuhan. Dua garis merah. Berarti benar ucapan dokter kemarin.
Aku keluar dari kamar mandi dengan gelisah. Aku harus bagaimana.