Mika, seorang wanita yang dulunya gemuk dan tidak percaya diri, sering menjadi korban bullying oleh geng wanita populer di SMA. Dihina karena penampilannya, ia pernah dipermalukan di depan seluruh sekolah, terutama oleh Dara, ketua geng yang kini telah menikah dengan pria idaman Mika, Antony. Setelah melakukan transformasi fisik yang dramatis, Mika kembali ke kota asalnya sebagai sosok baru, sukses dan penuh percaya diri, tapi di dalam dirinya, dendam lama masih membara. Kini Mika bertekad untuk menghancurkan hidup Dara, gengnya, dan merebut kembali Antony, cinta masa lalunya, dengan cara yang jauh lebih kejam dan cerdas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Baru
Di tempat lain, Mika berbaring di tempat tidur apartemenya, tersenyum puas. Pesan terakhir Antony berbunyi:
"Aku nggak sabar ketemu kamu. Kayaknya kita bakal punya banyak hal seru buat dibahas."
Mika membaca pesan itu berulang-ulang. Dia tahu Antony mulai terikat padanya. Ini bukan hanya soal nostalgia—ada ketertarikan nyata yang Antony tunjukkan, meski dia sudah berstatus suami orang.
"Aku juga nggak sabar," balas Mika singkat namun penuh arti. Ia tahu pesan seperti ini akan membuat Antony semakin gelisah dan penasaran.
Bukan hanya soal balas dendam—Mika ingin melihat Dara merasakan ketidakpastian dan kecemasan yang sama seperti yang pernah ia rasakan dulu. Dara harus tahu bagaimana rasanya melihat hidupnya yang sempurna perlahan-lahan retak.
Sementara itu, Dara tak bisa tidur dengan tenang malam itu. Meski Antony berusaha terlihat santai, ada sesuatu yang mengusik insting Dara.
Antony bukan pria yang pandai berbohong. Cara dia menyembunyikan ponselnya, nada suaranya saat menjelaskan—semua terasa salah di mata Dara.
Saat Antony akhirnya tertidur, Dara diam-diam meraih ponsel suaminya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Namun, ponsel itu terkunci dengan sidik jari. Dara mendecak kesal, merasa usahanya digagalkan.
Dengan perasaan tak tenang, Dara hanya bisa memandangi wajah suaminya yang tertidur pulas. Ada perasaan aneh menyelimutinya, seolah-olah ada sesuatu yang terlepas dari genggamannya.
***
Di kamar apartemenya, Mika duduk termenung sambil memandangi layar laptop. Gagasan untuk membeli rumah di kota lamanya terus bermain-main di pikirannya. Semakin ia memikirkannya, semakin masuk akal ide itu.
Bukan hanya akan mempermudahnya menjalankan rencana balas dendam terhadap Dara, tapi juga membuka peluang bisnisnya berkembang lebih pesat di kota besar ini. Kota ini jauh lebih strategis daripada tempat tinggalnya sekarang, dan keberadaannya di sini akan memungkinkan Mika untuk menjalin koneksi baru yang lebih berpengaruh.
“Ini akan jadi langkah besar,” batin Mika. Tapi setiap langkah besar perlu pengorbanan.
Mika segera membuka situs properti, mencari rumah yang lokasinya strategis. Ia butuh tempat yang bukan hanya nyaman, tetapi juga bisa mendukung gaya hidupnya sebagai pebisnis sekaligus selebgram.
Beberapa rumah mewah di pusat kota menarik perhatiannya. Rumah-rumah itu berada di kawasan elit, tak jauh dari tempat Antony dan Dara tinggal. Semakin dekat, semakin baik, pikir Mika. Lebih mudah untuk memperkuat kendali jika berada di sekitar mereka.
Tak lama kemudian, Mika menjadwalkan kunjungan ke beberapa properti esok hari. Dia sudah bertekad: langkah ini akan melancarkan segalanya.
***
Keesokan harinya, Mika kembali terbang ke kota lamanya, bertekad untuk menemukan rumah yang tepat. Setibanya di sana, ia langsung bertemu agen properti yang sudah menyiapkan beberapa pilihan sesuai keinginannya.
Saat mobil berhenti di depan sebuah rumah berdesain minimalis-modern dengan nuansa aesthetic, Mika langsung merasa ada sesuatu yang istimewa. Fasad rumahnya dominan putih dengan aksen kayu alami, memberikan kesan hangat tapi tetap elegan. Halaman depannya cukup luas, dan ada ruang terbuka di belakang yang sempurna untuk membuat konten outdoor.
Saat memasuki rumah itu, Mika langsung merasa cocok. Setiap sudut rumah memancarkan estetika yang sempurna untuk konten-kontennya—ruang tamu dengan pencahayaan alami, dapur terbuka yang ideal untuk vlog, dan ruangan khusus yang bisa diubah menjadi studio pribadi untuk bisnis kosmetiknya.
“Ini tempat yang aku cari,” gumam Mika, senyum penuh kepuasan menghiasi wajahnya.
Agen properti di sampingnya ikut tersenyum puas. “Sepertinya rumah ini benar-benar cocok untuk Anda, Mbak Mika.”
Mika mengangguk dengan mantap. “Aku mau ambil rumah ini. Segera proses semua dokumen biar aku bisa langsung pindah.”
Agen itu terkejut dengan keputusan cepat Mika tapi senang karena akan mendapat komisi besar. “Tentu! Kami akan pastikan semua beres dalam beberapa hari.”
Setelah mengamankan rumah barunya, Mika berdiri di teras sambil memandangi pemandangan kota yang terbentang di depannya. Angin sejuk berembus, seakan memberi selamat atas keberhasilannya.
“Aku bisa melakukannya. Semua orang yang pernah meremehkanku akan melihat siapa aku sekarang.”
Tak bisa ia pungkiri, ada rasa bangga dalam hatinya. Dari seseorang yang dulu hanya bisa bersembunyi karena rasa malu dan minder, kini ia telah menjadi wanita sukses, kuat, dan mandiri. Keputusan untuk pindah dan mendirikan bisnis di kota besar ini adalah simbol dari perjalanan panjangnya—bukti bahwa ia tak lagi menjadi korban masa lalu.
Dalam perjalanan kembali ke apartemenya, Mika tak bisa berhenti membayangkan semua peluang yang akan datang. Rumah barunya tidak hanya akan menjadi tempat tinggal, tetapi juga markas untuk memperkuat eksistensi bisnis kosmetiknya. Ia sudah merencanakan sesi photoshoot untuk produk-produk baru dan mulai memikirkan strategi konten yang bisa lebih menarik perhatian followers-nya.
“Sekarang aku nggak cuma tinggal di kota besar,” pikir Mika sambil tersenyum puas. “Aku akan menguasainya.”
Rencana balas dendamnya pun terasa semakin nyata. Dengan Antony yang perlahan-lahan mulai terikat padanya dan Dara yang masih tak menyadari ancaman di depan mata, Mika tahu waktunya sudah semakin dekat.
***
Di pesawat dalam perjalanan pulang, Mika membuka ponselnya. Pesan-pesan dari Antony terus masuk, membuatnya tersenyum tipis.
"Kapan kamu kembali ke sini? Aku nggak sabar ketemu kamu," bunyi pesan terbaru dari Antony.
Mika mengetik cepat:
"Secepatnya. Aku juga nggak sabar. Jangan lupa kita punya janji."
Pesan terkirim, dan Mika mematikan ponselnya sebelum pramugari mengingatkan penumpang untuk beralih ke mode penerbangan. Dalam hatinya, ia tahu setiap pesan yang ia kirim membawa Antony semakin dekat dalam jaring permainannya.
Mika menyandarkan tubuhnya di kursi pesawat, mata terpejam, membayangkan bagaimana semuanya akan segera berjalan sesuai rencana.
Kota baru. Rumah baru. Hidup baru. Dan kemenangan yang akhirnya akan ia raih.
Dengan senyum tipis di wajahnya, Mika membisikkan dalam hati: “Ini baru permulaan.”
***
Setelah tiba di apartemennya yang minimalis dan modern, Mika meletakkan koper dan tas di lantai sambil menghela napas panjang. Ia merasa lelah, tetapi puas karena semuanya berjalan sesuai rencana. Namun, di tengah-tengah menikmati rasa tenangnya, Mika tersadar akan satu hal—ia lupa memberi tahu orang tuanya soal kepindahannya ke kota lamanya.
"Astaga, aku belum ngomong apa-apa ke Mama dan Papa," gumamnya, menatap ponselnya dengan perasaan bersalah.
Malam semakin larut, namun rasa bersalah itu semakin mendesaknya untuk segera menemui orang tuanya. Mereka sudah cukup sering mengkhawatirkannya sejak dulu—khawatir Mika terjebak dalam trauma masa lalu. Sekarang, dengan dirinya kembali ke kota ini, ia tahu bahwa orang tuanya harus diberi penjelasan.
"Oke, aku harus kesana sekarang," putusnya, sembari mengambil kunci mobil. Tanpa membuang waktu, Mika meninggalkan apartemennya menuju rumah orang tuanya.
mampir juga dikaryaku ya kak jika berkenan/Smile//Pray/