Jia Andrea selama lima tahun ini harus bersabar dengan dijadikan babu dirumah keluarga suaminya.
Jia tak pernah diberi nafkah sepeser pun karena semua uang gaji suaminya diberikan pada Ibu mertuanya.
Tapi semua kebutuhan keluarga itu tetap harus ditanggung oleh Jia yang tidak berkerja sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rishalin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 20
Kini Mayang dan Litta sedang berada di dalam mobil. Litta yang duduk bersandar di kursi kemudi menghela nafas.
Sedangkan Mayang kebingungan untuk menenangkan Azura yang sedari tadi menangis meminta mainan seperti milik Amira.
Mereka terpaksa pulang lebih awal dan tak jadi shoping karena Zura terus saja menangis.
"Sudah dong Zura, jangan nangis terus. Mama belum punya uang, nanti kalau Papa pulang kerja kamu minta sama papa saja ya sayang." Ucap Mayang berusaha menenangkan Azura.
Azura menggelengkan kepalanya sembari menangis tak karuan.
"Tidak mau, mau itu sekarang. Amira saja punya masa Azura gak punya." Jawab Azura sambil terus meronta.
"Nanti minta sama Om Rangga." Ucap Litta membantu menenangkan Azura. Azura tetap saja menggelengkan kepalanya.
"Tau begini tadi titipkan saja Azura, sama Mama, Mbak. Gagal total deh shopping aku sekarang." Ucap Litta yang di angguki oleh Mayang.
"Sudah untung jadwal kuliah ku di undur besok. Aku bela-belain pulang ke rumah untuk mengajak Mbak jalan-jalan malah gagal total. Mau merasakan jadi orang kota sehari saja susahnya minta ampun." Lanjut Litta kini mengomel dihadapan Mayang.
Dengan perasaan kesal akhirnya Litta menyalakan mesin mobilnya. Dia melajukan mobilnya keluar dari area parkir Mall.
Kini Litta tidak tahun akan pergi kemana. Sudah gagal shopping, masa iya sudah jauh-jauh ke kota malah langsung pulang tanpa membawa ара-ара.
"Mbak kita mau kemana ini?" Tanya Litta meminta saran kepada Mayang.
Mayang menggelengkan kepalanya sembari berusaha menenangkan Azura.
"Aku gak tau area kota Ta. Aku ngikut kamu saja, toh kamu yang sering bolak-balik ke kota, jadi kamu pasti tau kan tempat yang pas dan cocok untuk kita." Jawab Mayang lagi.
"Diam dong Azura. Kamu ngga capek apa nangis terus sedari tadi ha?" Ucap Mayang yang tidak sengaja membentak anaknya.
Bukannya takut atau diam, suara tangisan Azura justru malah semakin kencang saja.
"Mbak jangan di bentak dong. Malah tambah nangiskan Azuranya, sudah tahu Azura itu cengeng malah di buat tambah nangis." Omel Litta yang sebenarnya sudah lelah mendengar suara tangisnya Azura.
Sangking sibuknya berdebat, mereka sampai tak menyadari kemacetan yang menghadang mereka didepan sana.
Litta pun terpaksa harus menginjak rem secara mendadak karena mobil didepannya yang berhenti.
Ciiitttt....
"Aduh." Gumam Litta dan Mayang yang sama-sama memegangi dahi mereka.
"Bisa nyetir gak sih berhenti mendadak di tempat ramai seperti ini ." Ucap Litta yang sebal karna pengemudi depan tiba-tiba saja mengerem mendadak.
Mayang dan Litta celingukan menatap ke arah depan. Sepertinya didepan sana memang macet dan tidak bisa untuk terburu-buru.
"Ini sedang di lampu merah atau apa sih. Kok macet banget." Ucap Mayang yang baru kali ini merasakan sensasi macetnya di kota.
"Walaupun bukan lampu merah, kalau di kota ya selalu macet lah mbak. Jangan terlalu norak deh." Jawab Litta yang masih merasakan denyut di kepalanya, akibat suara tangisan Azura.
"Kita cari tempat makan saja. Sambil menunggu jalanan lancar, kepala ku juga udah mulai pusing." Lanjut Litta yang di angguki oleh Mayang.
Kini Litta memasuki area cafe yang baru saja buka dan terbilang cukup populer dianatara kalangan para remaja. Litta mencari tempat parkir yang pas.
Mayang celingukan seperti orang kebingungan.
"Astaga Litta, kamu membawa ku ke tempat seperti ini. Ini keren banget!!" Ucap Mayang yang melihat tampilan outdoor cafe dengan kagum.
"Ck mbak jangan malu-maluin dong." Jawab Litta yang malas menanggapi kenorakan Mayang.
Mayang hanya cengengesan saja mendengar penuturan Litta.
"Ya sudah yuk turun." Ajak Litta pada Mayang.
Litta, Mayang dan Azura berjalan memasuki area Cafe tersebut. Terbilang cukup populer dikalangan para remaja maupun dewasa, dan sudah memiliki cabang yang berada dimana-mana.
Litta mengedarkan pandangan mencari tempat duduk yang menurutnya nyaman.
"Kita duduk di sana saja ya Mbak." Ajak Litta seraya menunjuk sebuah meja kosong.
Mayang menoleh ke tempat yang di tunjuk Litta. Dimana tempat itu juga cocok baginya, ada tempat bermain kecil untuk anak-anak seusia Azura.
"Mama Azura mau main disana." Ucap Azura pada Mayang.
Mayang mengangguk saat anaknya menunjuk tempat tersebut.
"Ya sudah kamu main disana dulu, nanti kalau makanannya sudah siap, Mama panggil." Jawab Mayang, Azura mengangguk dan langsung berlari meninggalkan Mama dan Tantenya.
Sementara disudut lain Cafe itu, Jia tengah mengobrol dengan seorang pendisain indor dan outdor Cafe tersebut.
"Bagaimana Bu Jia? Apakah Bu Jia menyukai desain outdoor taman yang kami rekomendasikan?" Tanya salah satu pendisain taman yang kini tengah berbincang dengan Jia.
Ya benar caffe tersebut ternyata milik Jia dan Jio, mereka berdua sudah membuka usaha Caffe saat Jia masih bekerja bersama dengan temannya dan cafe ini adalah salah satu cabang baru dikota itu.
Jia yang tertarik ingin memiliki cafe sendiri akhirnya mengajak Jio berkerja sama untuk membuka bisnis Cafe dan ternyata Jio setuju akan hal itu.
Memang semua biaya masih di tanggung oleh Papanya meski ada beberapa hal yang dibeli mengunakan uang milik Jia ataupun Jio.
Pak Alan hanya memberikan apa yang di minta oleh anaknya, selebihnya Pak Alan tidak ikut campur dengan apa yang di butuhkan oleh Jia dan Jio.
"Kapan bisa di mulainya untuk mendesain taman tersebut?" Tanya Jia memastikan.
"Kemungkinan 2 atau 3 hari lagi mbak." Jawab si pendisain.
"Mbak tenang saja. Saya akan memperkerjakan pekerja saya yang cekatan agar bisa lebih cepat selesai nanti." sambung si pendisain lainnya.
Jia menganggukkan kepala. "Tapi kalau nanti saya sedang berada di caffe cabang lain. Anda tidak perlu menunggu saya datang. Anda boleh langsung mulai bekerja saja." Ucap Jia.
"Ini DP untuk membeli beberapa bahan yang di perlukan, untuk gaji dan sisanya akan saya lunasi setelah semuanya selesai." Lanjut Jia seraya menyodorkan amplop coklat berisi uang.
"Kalau begitu kita sepakat dengan kerjasama kita. Senang bisa berkerja samanya dengan Bu Jia." ucap si pendesain seraya mengulurkan tangan.
Jia mengangguk dan tersenyum lalu meraih uluran tanggan pria itu.
"Kalau begitu kami permisi dahulu." Dua pria yang baru saja berkerja sama dengan Jia kini berlalu meninggalkan tempat itu.
Jia yang merasa lelah dia menyenderkan punggungnya di sandaran kursi. Setelah membelikan mainan untuk Amira, Jia langsung berangkat kesini karena mendapat panggilan dari pria tadi yang sudah menunggu dicafe.
"Gak kerasa Cafe iseng kita ini, bisa jadi sangat besar ya Dik." Gumam Jia sembari mengingat perjuangan dirinya dan Jio yang ingin merintis bisnis cafe.
"Terimakasih Ma, Pa. Jia janji, Jia akan membuat caffe ini semakin besar begitu juga dengan yang lainnya." Lanjut Jia bergumam lagi.
Jia memejamkan matanya sejenak lalu menghembuskan napas panjang. Setelah rasa lelahnya berkurang ia bangkit dan berjalan menuju kasir.
"Mama dan putri saya sedang berada di ruangan saya. Tolong antarkan makanan untuk mereka seperti biasa ya." Ucap Jia pada seorang pelayan.
Setelah mengucapkan pesan itu, Jia berjalan berkeliling untuk memantau kondisi caffe yang cukup ramai.
Jia merasa iba saat melihat salah satu pelayan barunya terlihat kesulitan membawa pesanan.
"Biar saya bantu. Lain kali kalau kamu tidak sanggup bilang saja, jangan membawa pesanan terlalu banyak, saya takut kamu jatuh dan terluka atau melukai orang lain.' " Ucap Jia pada pelayan tersebut.
"Maaf Bu, biar saya saja. Saya tak mau merepotkan Ibu." Jawab pelayan itu sungkan.
"Tak apa, ini pesanan untuk meja nomor berapa?" Tanya Jia kepada pelayan tersebut.
"Meja nomor 26 Bu." Jawab itu sopan.
Jia mengangguk dan segera melangkan menuju meja nomor 26 sambil mengangkat nampan berisi pesanan pelanggan.
"Ini makanan yang anda pesan." Ucap Jia yang masih sibuk menaruh makanan di meja.
"Mbak Jia." panggil Litta, membuat Jia menoleh ke arah suara.
Jia menatap Litta dan Mayang secara bergantian. Namun, tiba-tiba saja Litta dan Mayang tertawa terbahak-bahak.
"Oh jadi ini pekerjaan kamu Mbak? Jadi babu di cafe ini? Kasihan sekali sih kamu. Oh aku tahu pasti kamu membelikan mainan anak mu tadi, bela-belain sampai gak makan setahun ya? Hmmm? Memalukan sekali. Bergaya sok kaya ternyata babu di cafe biasa." Ucap Litta meremehkan.
Kejadian itu tentu saja tak luput dari pandangan orang-orang sekitar. Beberapa pelayan menghampiri mereka tetapi di hentikan oleh Jia.
"Kenapa diam saja Mbak? Kenapa malu?" Lanjut Litta lagi.
Jia masih terdiam enggan menjawab. Tetapi dia menatap Litta dan Mayang dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Maaf, kalau anda hanya akan membuat keributan di sini, anda bisa pergi dari sini sekarang juga." Ucap Jia yang membuat Litta dan Mayang tertegun.
"Jangan sok deh Mbak. Kalau Mbak berani mengusir kita, kita pastikan Mbak akan di pecat oleh pemilik cafe ini." Ucapan Litta membuat Mayang menganggukkan kepalanya.
Byuuurrrr
Tiba-tiba saja segelas jus mendarat sempurna diwajah Litta.
"Terserah kalian saja, yang jelas. Tak akan ada yang benari memecatku disini, karena aku sendiri pemilik cafe ini. Kalau kamu gak tau apa-apa, jangan bersikap sok tau." Ucap Jia sembari melangkah pergi meninggalkan mereka yang terdiam kaku.
********
********