"The Secret Behind Love." adalah sebuah cerita tentang pengkhianatan, penemuan diri, dan pilihan yang sulit dalam sebuah hubungan. Ini adalah kisah yang menggugah tentang bagaimana seorang wanita yang bernama karuna yang mencari cara untuk bangkit dari keterpurukan nya, mencari jalan menuju kebahagiaan sejati, dan menemukan kembali kepercayaannya yang hilang.
Semenjak perceraian dengan suaminya, hidup karuna penuh dengan cobaan, tapi siapa sangka? seseorang pria dari masa lalu karuna muncul kembali kedalam hidupnya bersamaan setelah itu juga seorang yang di cintai nya datang kembali.
Dan apakah Karuna bisa memilih pilihan nya? apakah karuna bisa mengendalikan perasaan nya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jhnafzzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Cobaan Ekonomi.
Hari itu, Karuna terbangun dengan perasaan yang berat. Ketika matanya terbuka, ia langsung merasakan kekosongan yang mendalam. Pagi itu, seperti biasanya, ia harus segera bersiap untuk pergi bekerja di toko, tapi ada hal lain yang lebih mendesak yang terus menghantui pikirannya—kontrakan yang harus dibayar. Pembayaran sewa rumah yang sudah hampir jatuh tempo, dan keadaan keuangan yang semakin menipis.
Di atas meja kecil di sudut dapur, tergeletak tumpukan kuitansi dan surat-surat tagihan. Karuna menatapnya dengan rasa khawatir. Ada tagihan listrik, ada biaya belanja yang belum dibayar, dan yang paling mendesak adalah biaya sewa kontrakan yang harus diselesaikan dalam waktu dua hari lagi.
Ia menarik napas panjang dan menatap ke luar jendela. Langit pagi itu tampak mendung, seolah mencerminkan suasana hatinya yang tak kalah kelabu. Sejak pindah ke tempat ini, meski ia sudah berusaha sekuat tenaga untuk berhemat, semuanya terasa semakin sulit. Gaji yang diterimanya dari bekerja di toko tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi membayar kontrakan yang semakin membengkak. Bahkan, terkadang Karuna harus memilih antara membeli makanan untuk makan malam atau membayar tagihan listrik agar mereka tidak gelap gulita di malam hari.
Ethan terbangun dengan suara langkah kaki kecilnya yang terdengar dari kamar. Dengan wajah yang ceria, ia keluar dan melihat ibunya duduk termenung di meja makan.
“Mama, kenapa mama sedih?” tanya Ethan dengan suara penuh rasa ingin tahu, mata kecilnya memandang Karuna dengan tatapan cemas.
Karuna berusaha tersenyum, meskipun hati kecilnya ingin menangis. "Nggak, sayang. Mama cuma berpikir tentang beberapa hal saja. Kamu sarapan dulu ya, nanti mama buatkan roti."
Ethan mengangguk, lalu duduk di meja makan dengan ceria. Karuna tahu, anaknya tak akan mengerti jika ia mengatakan apa yang sedang ia hadapi. Ethan hanya tahu bahwa ia butuh perhatian, dan itulah yang Karuna coba berikan—meskipun di dalam hatinya, beban begitu berat.
Dengan cepat, Karuna mempersiapkan sarapan untuk Ethan. Ia menyadari bahwa hari ini adalah hari yang sangat krusial. Dalam dua hari, ia harus bisa mengumpulkan uang untuk membayar kontrakan, dan jika tidak, mereka akan kehilangan tempat tinggal mereka. Berbagai cara sudah ia coba pikirkan, tapi seiring berjalannya waktu, perasaan cemas semakin menguasai dirinya.
Setelah menyantap sarapan bersama Ethan, Karuna segera bersiap-siap untuk pergi bekerja. Ia mengenakan pakaian yang sudah mulai pudar warnanya, dan dengan langkah yang tak seberat biasanya, ia keluar rumah. Di luar, udara terasa dingin, dan Karuna memutuskan untuk berjalan kaki menuju toko tempat ia bekerja. Tidak ada uang yang cukup untuk ongkos transportasi, jadi ia harus berjalan.
Selama perjalanan, pikirannya berkecamuk. Ia tahu bahwa jika ia tidak bisa membayar kontrakan dalam waktu dua hari, mereka berdua akan terpaksa pindah. Tapi, ke mana mereka akan pergi? Semua teman-temannya sudah tidak ada lagi yang bisa diajak membantu. Damian sudah pergi, dan ia tak lagi memiliki dukungan dari siapapun.
Saat ia sampai di toko, Pak Hasan sudah menunggunya di depan pintu. Pria paruh baya itu tersenyum ramah, meskipun mata Karuna bisa melihat kelelahan yang sama di wajahnya. Mungkin Pak Hasan juga merasakan kesulitan yang sama—berjuang untuk bertahan hidup di tengah kehidupan yang semakin sulit.
"Selamat pagi, Karuna. Hari ini toko agak sepi, jadi kamu bisa lebih santai. Kalau ada yang datang, saya akan langsung kasih tahu," ujar Pak Hasan.
"Terima kasih, Pak Hasan," jawab Karuna dengan suara yang agak tertekan. "Saya akan mulai dengan membersihkan rak yang di belakang dulu."
Pak Hasan mengangguk dan masuk ke dalam toko, meninggalkan Karuna yang mulai sibuk dengan sapu dan kain lap. Di tengah kesibukan itu, Karuna mulai memikirkan beberapa opsi yang bisa ia lakukan. Ia bisa menawarkan beberapa barang yang tidak begitu penting, seperti pakaian bekas atau barang-barang yang bisa dijual untuk mendapatkan uang tambahan. Tapi, meskipun ia mulai mempertimbangkan banyak cara, ia merasa semuanya sia-sia. Tidak ada yang cukup untuk menutupi kebutuhan mendesaknya.
Satu jam berlalu, dan Karuna masih membersihkan toko dengan gerakan yang mekanis, hampir tanpa berpikir. Tiba-tiba, ponselnya bergetar di dalam tas. Karuna menarik napas, merogoh tas, dan melihat layar ponsel yang menunjukkan nama seorang agen properti yang ia kenal.
Dengan hati-hati, Karuna menjawab telepon itu. "Halo?"
"Karuna, ini saya, Bhima. Saya hanya ingin mengingatkan Anda bahwa pembayaran kontrakan Anda sudah hampir jatuh tempo. Jika ada kesulitan, sebaiknya Anda memberi tahu saya segera. Jangan sampai terlambat, karena bisa berakibat buruk."
Mendengar kata-kata itu, hati Karuna langsung jatuh. Agen properti itu jelas sudah cukup sabar memberinya waktu, tapi tak ada lagi yang bisa ia lakukan. "Terima kasih, Pak Bhima. Saya akan segera menyelesaikan pembayaran."
Dengan tangan yang gemetar, Karuna menutup telepon dan menatap rak-rak barang di depan matanya. Dalam hati, ia merasa seolah dunia sedang menekan dirinya. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia sudah mencoba bekerja keras, tapi hasilnya tak pernah cukup.
Sisa hari itu berlalu dengan lambat, dan setiap pelanggan yang datang ke toko rasanya tidak memberi harapan apapun. Karuna merasa semakin lelah, baik secara fisik maupun mental. Sore hari, setelah selesai bekerja, ia kembali ke rumah dan duduk di meja makan, melihat tas kecil yang berisi uang hasil kerjanya. Uang itu sangat sedikit—bahkan tidak cukup untuk membayar sebagian besar dari kontrakan yang harus dibayar.
Ethan yang sudah selesai bermain, datang mendekat dan duduk di pangkuannya. “Mama, kita nggak bisa makan malam ya?” tanya Ethan dengan polos, seolah ia merasakan ketegangan di udara.
Karuna menarik napas, menatap wajah anaknya yang penuh harap. “Tentu, sayang. Mama akan buatkan kamu makan malam. Tenang saja.”
Namun, di dalam hati, Karuna tahu bahwa itu adalah kebohongan. Ia hanya memiliki sedikit uang yang tersisa untuk membeli bahan makanan. Dan itu tidak akan cukup untuk malam ini—apalagi untuk membayar kontrakan yang semakin menuntut.
Saat malam tiba, Karuna merasa semakin terjepit. Ketika ia memandangi wajah Ethan yang sudah terlelap, hatinya hancur. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya, tetapi kenyataan semakin sulit diterima.
Dalam keheningan malam, Karuna membuka dompetnya sekali lagi, memeriksa uang yang ada, menghitung-hitung berulang kali. Tapi, hasilnya tetap sama—jumlahnya tak cukup. Bahkan untuk sewa rumah sekalipun.
Di saat itu, terbersit di pikirannya sebuah keputusan besar. Ia harus mencari cara lain untuk mendapatkan uang. Mungkin, ia bisa bekerja lebih keras lagi, atau mungkin harus mencari pekerjaan sampingan. Apa pun yang terjadi, ia harus bertahan. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk Ethan. Karena pada akhirnya, mereka hanya memiliki satu sama lain.
Namun, satu hal yang pasti—Karuna tak bisa menyerah. Jika ia harus melalui malam-malam yang penuh kecemasan, ia akan melakukannya demi masa depan anaknya. Mereka harus melewati ini bersama.