Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BATU
Ketika jam menunjukkan pukul 23.30, Annisa hampir terlelap di tempat tidurnya. Hanya ada cahaya lampu kecil di samping ranjang, membuat kamarnya tampak temaram dan tenang. Tepat saat matanya mulai terasa berat, Annisa mendengar suara langkah Damian di lorong luar kamar, lalu suara pintu depan yang tertutup dengan pelan. Ia terkejut; Damian jarang pulang tanpa mabuk jika keluar hingga larut.
Pintu kamar Annisa terbuka perlahan, dan Damian muncul di ambang pintu. Sorot matanya tajam, dan meskipun raut wajahnya tampak lelah, ia jelas sepenuhnya sadar.
“Kamu belum tidur?” tanyanya dingin.
Annisa duduk di tepi ranjang, mencoba tersenyum tipis. "Baru saja mau tidur."
Damian hanya mengangguk pelan, matanya menatap Annisa sekilas. Seolah ada banyak hal yang ingin ia katakan, tetapi ia hanya berdiri diam di sana, membuat suasana sedikit canggung. Annisa merasa perlu mengisi keheningan itu.
“Kamu pulang lebih awal dari biasanya,” ucap Annisa hati-hati.
Damian mengangkat bahunya, melipat tangan di dadanya. "Ada urusan yang cukup penting, tapi bukan urusan yang perlu dihabiskan sampai mabuk."
Annisa sedikit lega mendengarnya. "Mudah-mudahan urusannya lancar, ya."
Damian tak menanggapi, malah menghela napas panjang. “Mungkin,” jawabnya singkat. Matanya terarah ke sudut ruangan, seakan menghindari tatapan Annisa.
Annisa menyadari bahwa Damian tidak sepenuhnya nyaman berada di sana. Namun, ia mencoba mempertahankan ketenangan. “Mas Damian… aku ingin bicara sebentar, kalau tidak keberatan.”
Damian menoleh, mengangkat alis. "Apa lagi yang mau dibahas?"
Annisa mengambil napas dalam, lalu berkata pelan, "Soal undangan pernikahan Nadine, sepupuku. Aku benar-benar ingin kamu ikut, meskipun hanya beberapa hari.”
Damian mendengus pelan, seolah hal itu tidak penting baginya. “Annisa, aku sudah bilang. Aku nggak ada waktu buat urusan-urusan yang menurutku nggak relevan.”
Annisa menunduk, menghela napas, berusaha menahan kekecewaannya. “Aku mengerti. Hanya saja, aku ingin… kamu ada di sana, sekali saja.”
Damian menghela napas panjang, tampak enggan memberikan tanggapan lebih. Tanpa berkata apa-apa, ia akhirnya berjalan menuju pintu, berhenti sejenak, lalu berucap dengan nada datar, “Lupakan saja, Annisa. Besok aku ada pertemuan pagi-pagi. Selamat malam.”
Damian pun meninggalkan kamar Annisa, meninggalkan Annisa dengan perasaan yang kembali hampa. Ia hanya bisa terdiam, menerima sikap dingin suaminya dengan hati yang semakin terbiasa terluka, mencoba tidur dengan harapan esok hari bisa lebih baik.
Setelah Damian menutup pintu dan langkahnya semakin menjauh, Annisa menundukkan kepalanya, suaranya keluar nyaris berbisik, seakan hanya untuk dirinya sendiri.
“Kalau Mbak Arum yang mengajak kamu… pasti kamu akan pergi, ya, Mas?” ucap Annisa lirih, pertanyaan yang tak memerlukan jawaban. Dalam hati, ia sudah tahu—Damian tidak akan pernah menolak jika itu permintaan Arum.
Annisa menarik napas dalam, berusaha menenangkan dirinya, namun rasa sesak tak mau pergi. Ia sadar bahwa cinta Damian masih terikat pada sosok mendiang kakaknya, sementara dirinya hanyalah bayangan yang berdiri di belakang kenangan itu. Terkadang, ia merasa kehadirannya di rumah itu hanyalah kewajiban, bukan pilihan yang diinginkan oleh Damian.
Ia menatap keluar jendela kamar, memandangi langit malam yang gelap. Di sana, ia berbisik pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Aku kuat, kan, Mbak? Kamu percaya aku bisa, kan?” Tapi, hanya sunyi yang menjawabnya.
Setelah beberapa saat, Annisa menyandarkan diri, mencoba tidur dengan harapan bisa menghilangkan kesedihan yang selalu menghantuinya. Meskipun ia tahu, esok pagi, ia harus kembali menjalani hari yang sama, dengan harapan yang terus ia simpan dalam diam.
•••
Pagi itu di kantor, Annisa duduk di meja kerjanya dengan tatapan kosong. Wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya, dan senyumnya yang hangat tampak lenyap, digantikan oleh ekspresi murung dan tak bersemangat. Rekan-rekan kerjanya memperhatikan, namun hanya satu orang yang benar-benar menyadari ada sesuatu yang salah.
Robert, yang duduk tak jauh dari meja Annisa, menatapnya dengan dahi berkerut. Ia sudah lama memperhatikan setiap detail kebiasaan Annisa sejak pertama kali mereka bekerja bersama, meskipun ia jarang mengungkapkan hal itu. Ia melirik kalender kecil di mejanya dan berpikir sejenak.
“Hari ini bukan jadwal datang bulannya,” gumam Robert lirih, sambil menggeleng ragu. Ia menyadari bahwa ada hal lain yang tampaknya lebih dalam, yang membuat Annisa tampak berbeda.
Setelah mengumpulkan keberanian, Robert berdiri dan berjalan mendekati meja Annisa dengan segelas kopi di tangannya. “Annisa,” panggilnya lembut.
Annisa tersentak sedikit dan menoleh ke arahnya, berusaha tersenyum meskipun ekspresinya tetap tampak lelah. “Oh, pagi, Robert.”
Robert mengulurkan gelas kopi itu padanya. “Aku buatkan kopi. Kamu terlihat lelah… semuanya baik-baik saja?”
Annisa menerima kopi itu dengan tangan gemetar, lalu tersenyum tipis. “Terima kasih, Robert. Aku… aku baik-baik saja, cuma mungkin kurang tidur.”
Robert memandangnya dengan tatapan penuh perhatian. “Kalau ada yang kamu ingin bicarakan, atau butuh istirahat sebentar, aku ada di sini, ya?”
Annisa hanya mengangguk, merasa terhibur dengan kebaikan Robert. “Makasih, Robert. Kamu baik banget.” Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa masalahnya lebih rumit dari sekadar kurang tidur.
Robert kembali ke mejanya, tak bisa menghilangkan kekhawatirannya. Ia diam-diam bertekad untuk memperhatikan Annisa lebih lagi, berharap suatu saat ia bisa membantu dan mungkin mengetahui apa yang benar-benar terjadi di balik wajah muramnya pagi ini.
Sebenarnya, sudah lama Robert memendam perasaannya pada Annisa. Ia jatuh hati pada gadis itu bukan hanya karena parasnya yang cantik, tetapi juga karena kepintaran dan pembawaan Annisa yang begitu tenang dan anggun. Berbeda dari wanita lain yang pernah ia kenal, ada keistimewaan dalam diri Annisa yang membuatnya terpikat. Meskipun Annisa mengenakan hijab, yang biasanya bukan hal yang menarik perhatian Robert, entah mengapa ia justru semakin terpesona oleh ketulusan dan keanggunan yang terpancar darinya.
Namun, Robert juga sadar akan jarak yang membentang di antara mereka—keyakinan yang berbeda membuatnya ragu untuk menunjukkan perasaannya. Bukan hanya karena ia khawatir akan penolakan, tapi karena ia merasa perasaan itu mungkin hanya akan membuat situasi di antara mereka lebih sulit.
Annisa adalah muslim yang taat. Begitu juga dengan Robert. Meskipun dirinya tidak begitu sering ke rumah Tuhan. Tetapi Robert percaya dengan keyakinannya.
Sambil menatap Annisa dari mejanya, Robert berpikir sejenak, bertanya-tanya apakah ada kesempatan untuk menunjukkan perhatiannya tanpa harus mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Hanya dengan melihat Annisa yang begitu mempesona di balik kesederhanaannya, ia merasa sudah cukup senang, meski jauh di dalam hatinya ia berharap suatu saat bisa lebih dekat dengannya.
“Jatuh cinta diam-diam memang seperti ini ya?” batin Robert sedikit nelangsa.