“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 05
“Bagaimana kau tidak tahu, Dek? Kalau ada paku sebesar ini?” tanya Zikri kepada Dhien.
“Aku bukan adikmu!” sanggah Dhien kesal.
Tawa Zikri pun membahana, dia paling suka menggoda Dhien. Ada rasa senang bila melihat wajah berkulit kuning langsat teman masa kecilnya ini menjadi memerah, tentu saja dikarenakan menahan kesal.
“Naikkan motornya, Zikri!” titah Agam, dia sudah terlebih dahulu membuka pintu bagian bak pickup nya. Agam pun memilih abai akan sikap temannya yang suka menjahili Dhien, lagipula masih di batas wajar.
“Dek, bantulah sini! Mana mungkin Abang sanggup mengangkut sendirian motor mu yang berat ini!” Zikri memasang tampang memelas.
Dhien bertambah kesal, tentu dia tahu semua itu hanya akal-akalan si Zikri. Padahal sudah ada dua buah papan dijadikan satu seperti anak tangga yang menjulang ke tanah agar memudahkan menaikkan motor ke dalam bak. Namun, Dhien tetap berdiri hendak membantu, meninggalkan Amala sendirian.
Rasanya kepala Amala bertambah berat saja. belum juga dia berhasil mengatasi rasa sakit hatinya, kini harus menghadapi seseorang yang paling ia hindari.
“Kenakan ini!”
“Hah ….?” Amala mendongak, menatap sosok Agam yang tinggi menjulang berdiri di hadapannya, keningnya mengernyit melihat kain sarung hitam bergaris benang berwarna emas.
“Kau sedang kedatangan tamu bulanan, bukan? Kenakan sarung ini!” ekspresi Agam masih sama, datar. Dia mendekatkan kain terlipat rapi itu pada sosok yang masih setia duduk sambil memeluk kedua lutut.
Tadi saat memeriksa motor Dhien, tangan Agam terasa lengket kala memegang alas tempat duduk bagian belakang. Dari sanalah dia tahu kalau Amala sedang menstruasi, tanpa sepengetahuan lainnya. Agam mengelap noda di atas jok menggunakan handuk kecil yang terlebih dahulu dibasahi.
‘Bagaimana Bang Agam bisa tahu? Ini benar-benar memalukan. Aku ingin menangis kencang.’
Amala menelan air ludahnya, wajahnya bertambah merah menahan malu. Dia masih menatap tangan Agam yang memegang kain, jelas itu sarung bersih yang bisa jadi digunakan untuk sholat.
“Terima kasih, Bang. Tapi, saya tidak bisa menerimanya. Nanti kain sarung nya menjadi kotor,” gumamnya sangat lirih.
Agam yang memiliki pendengaran tajam, tentu dapat mendengar perkataan Amala.
“Saya ikhlas kain ini menjadi kotor, asal bisa menyelamatkanmu dari rasa malu.”
Setitik air mata jatuh begitu saja. Entah mengapa ucapan bang Agam begitu menyentuh relung hatinya. Jemari Amala bergetar saat meraih kain sarung. Dia tidak berani menatap mata si pemiliknya. “Terima kasih, Bang.”
Amala mengangkat dagunya, dia melihat ketiga orang berdiri membelakangi dirinya. Lagi, buliran bening membasahi pipi. Mala bergegas memakai dan menyimpul kuat ujung sarung di pinggangnya. Bersamaan dengan itu terdengar suara anak-anak berlarian.
“Kami dapat banyak buah jambunya!” Teriak salah satu dari mereka.
“Lihat, Kak, Bang! Buah jambu nya besar-besar dan rasanya sangat manis.” Salah satu dari mereka mengeluarkan buah dari dalam kaos singlet nya. Kemeja sekolah mereka sudah ditanggalkan.
“Aku nggak mau buah jambu yang kau sembunyikan di perut gendut mu itu. Pasti sudah bercampur dengan keringat, bawa kesini kantong kreseknya!” titah Dhien, suaranya terdengar galak.
“Udah minta, maksa pula! Keringat kami tak lah berbau bangkai, palingan cuma bau masam!”
Salah satu dari mereka protes sambil tertawa lebar, dia cepat-cepat memberikan plastik hitam, ngeri melihat tatapan menyeramkan kak Dhien.
Mobil pun melaju. Amala dan Dhien duduk dibelakang bersama anak-anak yang melemparkan candaan sambil mengunyah buah jambu. Amala sendiri duduk bersandar pada sisi mobil, dagunya dia tumpukan di lengannya. Sepanjang jalan Amala lebih banyak melamun, sampai dia tidak menyadari kalau Agam memperhatikan dirinya lewat kaca spion.
Begitu sampai di depan rumah Dhien, yang jaraknya 200 meter dari gubuk Amala, wanita bersarung hitam itu undur diri setelah berulang kali mengucapkan terima kasih. Amala berjalan cepat, dia mengambil pakaiannya yang masih terjemur di tali tambang belakang rumah, lalu pergi ke sumur untuk membersihkan badan.
Amala mengambil air menggunakan timba bertali panjang. Tanpa menggunakan gayung, dia langsung membasuh seluruh tubuhnya, dinginnya air tidak mampu menyejukkan hatinya. Air matanya kembali berderai. Bayangan di rumah orang tua Yasir, berputar-putar dalam kepalanya.
Pengkhianatan ini sungguh menyakitkan! Harga dirinya diinjak-injak sedemikian rupa, kehormatan keluarganya dianggap lelucon semata. Yang lebih membuat hatinya tersayat dan sulit untuk menerima, adiknya ada di komplotan pemberi luka itu.
Sementara di tempat lain.
“Kasihan kali lah ku lihat si Amala, gadis sebaik dia ditikam oleh adik kandungnya sendiri,” ucap Zikri.
Tadi sewaktu di kota kecamatan, dia melihat Yasir yang tengah menggandeng tangan Nirma. Sepertinya pasangan zina itu habis berbelanja. Siapapun pasti dapat menyimpulkan hubungan terlarang mereka.
“Jangan ikut campur urusan orang lain. Itu bukan hak kita,” tandas Agam.
“Bukannya mau ikut campur. Hanya saja ini sangat keterlaluan, Bang! Kita semua tahu bagaimana perjuangan Mala, demi membiayai adiknya berkuliah. Penantian panjangnya menunggu Yasir menyelesaikan pendidikannya. Namun, setelah mereka mencapai tujuan, malah Amala yang dicampakkan,” dengus Zikri, hatinya ikutan meradang memikirkan nasib malang Amala.
“Gadis sesempurna itu tidak pantas diperlakukan hina,” sambungnya lagi.
“Tidak ada manusia yang sempurna di muka bumi ini! Dan Allah, tidak akan menguji hamba-Nya diluar batas kemampuan mereka.” Agam berlalu dari hadapan Zikri, dia masuk ke dalam rumahnya.
Tatapan mata Agam menyimpan sesuatu, dan hanya dia sendiri yang tahu.
***
Malam hari selepas sholat isya.
Tok.
Tok.
Pintu rumah Mak Syam diketuk dari luar.
“Siapa yang bertamu malam-malam?” tanya Mak Syam, saat tidak ada tanggapan dari Amala yang dari tadi sore menjadi sangat pendiam. Mak Syam berjalan ke arah pintu guna melihat siapa yang bertamu.
Begitu daun pintu baru dibuka separuh, tubuh Mak Syam langsung didekap erat.
“Mamak!”
“Nirma, Yasir. Kalian …?” wajah Mak Syam terlihat begitu bingung.
“Kau kenapa pulang, Nak? Terus, mengapa bisa bersama calon kakak iparmu?” tanyanya lagi masih belum bisa menerka situasi mendadak ini. Apalagi mendengar tangisan lirih Nirma, yang sedari tadi mendekap erat badannya. Posisi mereka masih di ambang pintu rumah.
“Mamak, maafkan Nirma.” Nirma masih saja memeluk erat tubuh ringkih sang ibu, dia sedikitpun tidak mau melepaskannya.
Mak Syam yang belum tahu apa-apa, membelai lembut punggung anak bungsunya.
“Masuk dulu, Nak. Angin sedang bertiup kencang, nanti kau masuk angin.”
Di luar memang sedang hujan gerimis campur angin.
Yasir, Nirma, dan Mak Syam, masuk kedalam rumah. Pintu pun sudah ditutup rapat.
Amala tidak berkeinginan menyambut apalagi beramah tamah. Dia tetap duduk tenang di kursi kayu berlapiskan busa tipis. Tatapannya begitu lekat memandang sang adik yang bergelayut manja di lengan sang ibu.
Rumah berukuran tak seberapa luas itu menjadi hening, hanya terdengar suara gerimis hujan, gesekan dedaunan tertiup angin, suara Kodok bangkong saling bersahutan.
Yasir masih diam seribu bahasa, laki-laki berumur 26 tahun itu mengenakan kemeja dan celana bahan, rambutnya berbelah tengah. Parasnya biasa saja, dia hanya menang berkulit bersih. Sebab pekerjaannya di dalam ruangan bukannya berpanas-panasan di bawah teriknya sinar matahari.
“Saya yang bercerita, atau kalian yang bersuara …?”
.
.
Bersambung.
Harap bersabar membaca setiap Bab- nya ya, agar bisa menyelami alur ceritanya 🙏😊
Terima kasih banyak semuanya 🌹
bu bidan mati kutu