Andhira baru saja kehilangan suami dan harus melahirkan bayinya yang masih prematur akibat kecelakaan lalulintas. Dia diminta untuk menikah dengan Argani, kakak iparnya yang sudah lama menduda.
Penolakan Andhira tidak digubris oleh keluarganya, Wiratama. Dia harus tetap menjadi bagian dari keluarga Atmadja.
Akankah dia menemukan kebahagiaan dalam rumah tangganya kali ini, sementara Argani merupakan seorang laki-laki dingin yang impoten?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Kisah Masa Lalu (1)
Bab 28
Argani dan Andhira pulang keesokan harinya setelah menghabiskan waktu melihat matahari terbit. Wanita itu masih mencoba menyatukan puzzle potongan memorinya. Namun, hal ini malah membuatnya sakit kepala.
"Saputangan merah itu ada di mana, ya?" batin Andhira.
Wanita itu melihat ke arah jendela melihat gumpalan awan yang berwarna putih. Tiba-tiba sekelebat ada ingatan dia sewaktu masih kecil naik pesawat bersama kedua orang tuanya. Dia terlihat sangat bahagia. Kedua orang tuanya juga tertawa bahagia.
"Aku naik pesawat sama papa dan mama waktu kecil itu mau pergi ke mana, ya?" Andhira masih bertanya-tanya dalam hatinya.
Andhira melirik ke arah Argani. Suaminya tertidur karena semalam tidak tidur. Dia tidak tahu kalau semalam terus mengigau dan tidak bisa dibangunkan. Takut menambah beban pikiran, Argani tidak membahas hal ini dahulu, apalagi ada kejadian kemarin.
Andhira mencoba memejamkan mata. Pikiran dia masih dipenuhi banyak pertanyaan. Setelah diingat-ingat lagi, baru sadar kalau dia tidak memiliki ingatan ketika mulai masuk sekolah. Dia ingat ketika masuk sekolah TK dan teman-temannya.
Dengan muka pucat, Andhira terbangun. Dia benar-benar tidak punya ingatan ketika mulai masuk sekolah. Dia bisa ingat sewaktu kelas lima SD.
"Ke mana ingatan aku dari kelas satu sampai kelas empat? Apa yang sebenarnya terjadi kepadaku?" Andhira memegang kepalanya yang kembali terasa sakit.
Sekujur tubuh Andhira bergetar dan mengeluarkan keringat dingin. Dia pun memeluk Argani, setidaknya itu membuat dia merasa nyaman.
"Ini di mana? Kenapa gelap?"
Tiba-tiba ada suara keras seperti pintu dibuka. Andhira tidak bisa melihat apa-apa.
"Bawa anak itu!" Terdengar suara laki-laki yang bicara dengan nada tinggi. "Jangan sampai terluka!"
"Baik, Tuan."
Andhira merasa lengannya ditarik. Dia baru sadar kalau kedua tangannya diikat ke belakang dan mulutnya di tutup. Dia mencoba berontak, tetapi tidak bisa, tenaganya kalah.
"Tolong aku! Mas Gani, tolong!" Andhira berusaha berteriak.
"Dhira, awas!"
Mata Andhira mendadak terbuka. Dia melihat keadaan sekeliling, masih berada di dalam pesawat.
"Siapa? Suara siapa itu? Itu bukan suara mama. Tapi, suara siapa? Kenapa rasanya aku merindukan suara itu?"
Lagi-lagi dia mendengar suara seorang wanita. Sama seperti kemarin ketika akan ada motor yang akan menabrakkan.
Andhira mengambil air minum dan menghabiskan dalam sekali napas. Dia sampai ngos-ngosan.
"Ada apa, Sayang?" tanya Argani yang ikut terbangun karena pergerakan sang istri yang tiba-tiba.
"Aku sepertinya mimpi, tapi terasa nyata," jawab Andhira.
Argani menarik Andhira ke dalam pelukannya. Dia merasa ada sesuatu yang terjadi kepada wanita itu. Saat ini baik dia maupun istrinya belum tahu apa yang terjadi sebenarnya. Hanya satu hal yang membuat Argani yakin, kalau Andhira memiliki sebuah trauma yang membuat wanita itu sampai tidak sadar akan apa yang menjadi ketakutannya karena mengalami hilang ingatan.
"Banyak-banyak berdoa agar hati dan pikiranmu merasa tenang," ucap Argani mengembalikan kata-kata Andhira yang sering dikatakan kepadanya.
Andhira merasa lebih tenang setelah banyak-banyak berdoa, sampai tujuan. Mereka pulang ke rumah Papa Anwar terlebih dahulu karena Arya ada di sana.
Kepulangan Andhira dan Argani disambut isak tangis Mama Aini. Wanita paruh baya itu tidak henti-hentinya mengkhawatirkan dan memikirkan menantunya. Dia memeluk Andhira dengan sangat erat.
"Dhira, kamu tidak terluka parah, 'kan?" tanya Mama Aini sambil terisak.
"Cuma luka ringan dan sekarang juga sudah kering, Ma," jawab Andhira tersenyum tipis. Dia tidak ingin membuat ibu mertuanya semakin khawatir.
"Pa ..., Ma ..., sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan sama kalian," kata Argani.
"Apa itu?" tanya Papa Anwar.
"Sudah berapa lama kalian kenal dengan keluarga Andhira?" tanya Argani yang melihat ke arah kedua orang tuanya secara bergantian.
Papa Anwar dan Mama Aini saling melirik. Tentu saja keduanya merasa heran kenapa Argani tiba-tiba saja bertanya seperti ini.
"Kenapa kamu bertanya seperti itu?" tanya Papa Anwar.
"Sepertinya aku melupakan beberapa ingatan sewaktu masih kecil." Bukan Argani yang menjawab melainkan Andhira.
"Apa?" Semua orang yang ada di ruang keluarga itu terkejut.
"Aku sepertinya banyak melupakan hal sewaktu kecil. Aku juga sering mendengar suara seorang wanita, itu bukan suara mamaku, tetapi suara itu tidak asing bagiku," jelas Andhira.
Terlihat Mama Aini melirik kepada Papa Anwar. Laki-laki paruh baya itu mengangguk kepadanya.
"Mamamu yang bernama Agni adalah sahabat baik mama dan juga adik mama yang bernama Ainun. Usia kita memang berbeda sekitar tiga tahunan. Mama yang paling tua, lalu Agni, dan yang paling muda itu Ainun," ucap Mama Aini.
Wajah Andhira mengisyaratkan keterkejutan. Sementara Argani mengerutkan kening karena teringat dengan sosok tantenya.
"Kita selalu bermain bersama sejak kecil karena rumah kita masih di satu komplek. Sampai besar kita juga masih bersama, sekolah di tempat yang sama dan pergi liburan bersama. Kami sudah seperti saudara kandung. Banyak orang menyangka kalau kita ini saudara kandung karena selalu bersama. Agni itu anak tunggal, tetapi memiliki beberapa saudara angkat," lanjut wanita berbaju daster batik itu dengan wajah sendu karena mengingat kisah masa lalu.
"Kita berpisah setelah mama menikah karena ikut sama Papa. Agni mulai kerja, dan Ainun kuliah ke luar negeri. Kita hilang komunikasi sampai mama mendapat kartu undangan pernikahan Agni. Kita pun menghadiri pesta pernikahan kedua orang tuamu. Ainun kebetulan baru pulang setelah menyelesaikan pendidikan di bangku kuliah. Kita pun dekat kembali," kata Mama Aini sambil menyeka air mata yang kini membasahi pipinya.
"Mama dan Papamu tidak langsung diberi karunia anak. Mereka berjuang untuk me dapatkan kamu. Setelah empat tahun pernikahan baru Agni hamil di waktu yang bersamaan Ainun yang baru beberapa bulan menikah juga hamil. Namun, sayang Ainun harus kehilangan calon bayi bersama suaminya karena kecelakaan. Hanya Ainun yang selamat, tetapi dia mengalami kerusakan pada wajahnya, sehingga membuat dia minder dan mengurung diri. Operasi plastik yang dijalaninya juga gagal."
"Agni sering membawa kamu untuk menghibur Ainun. Berbeda dengan Gani dan Dhika yang takut kepada tantenya sendiri, kamu justru merasa senang ketika bersama Ainun. Aku merasa sangat bersyukur karena kedua orang tuamu mengizinkan Ainun mengasuh dirimu dan mengembalikan semangat hidup Ainun."
"Sampai suatu waktu kamu yang lagi main di halaman rumah diculik, Ainun ikut mencari keberadaan kamu. Kamu memang berhasil diselamatkan, tetapi Ainun kehilangan sebelah tangannya ketika menghalau golok yang hendak diayunkan kepadamu."
Tubuh Andhira mendadak kaku dan berkeringat dingin. Dia bisa membayangkan apa yang diceritakan oleh Mama Aini.
"Penculikan itu terjadi karena seorang karyawan yang bekerja di perusahaan keluarga kamu tidak terima dipecat dengan tidak hormat dan diblacklist oleh semua perusahaan yang bekerjasama dengan Bagas."
Andhira tidak begitu ingat dengan kejadian ini. Dalam potongan ingatannya dia merasa sedang berada di sekolah.
"Sebenarnya aku berapa kali mengalami penculikan?" tanya Andhira.
"Lebih dari belasan kali," jawab Papa Anwar dan itu membuat Andhira terkejut.
"Banyak orang yang kehilangan nyawa ketika terjadinya kejahatan yang menimpa dirimu. Maafkan kami yang selama ini tidak tahu kejadian itu. Kecuali ketika Ainun terluka parah dan meninggal karena melindungi kamu yang akan ditabrak oleh mobil," lanjut Papa Anwar dengan tatapan sendu.
Andhira memegang kepalanya ketika tiba-tiba saja dia melihat seorang wanita yang memiliki satu lengan mendorong tubuhnya kuat sampai terguling di jalanan beraspal dan tubuh wanita itu terpental jauh dan bersimbah darah.
"Kyaaaaa!" Andhira berteriak keras sambil memegangi kepalanya.
Sementara Argani terdiam. Dia teringat dengan kejadian di mana tantenya tertabrak mobil yang melaju kencang. Dia sebelumnya sudah berteriak kencang memberi peringatan ada mobil.
***
Biar mudah dipahami konfliknya jadi harus dirunut pelan-pelan. Sebenarnya di bab awal sudah dikasih clue sedikit-sedikit tentang permasalahan yang menimpa mereka. Tinggal diperjelas.
Aku baru sadar susah salah salah nama tokoh. Puspa jadi Putri, Mama Aini jadi Mama Aina. Kadang tertukar dengan nama tokoh di cerita satunya. Mohon di maklumi, ya, karena mengerjakan 3 cerita sekaligus.