Andara Mayra terpaksa menerima perjodohan dengan seorang pria yang sudah dipilihkan oleh ayahnya.
Namun dibalik perjodohan yang ia terima itu ternyata ia sudah memiliki kesepakatan sebelumnya dengan sang calon suami. kesepakatan jika setelah satu tahun pernikahan, mereka akan bercerai.
akankah mereka benar-benar teguh pada kesepakatan mereka? atau malah saling jatuh cinta dan melupakan kesepakatan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wiwit rthnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sebatas wanita cadangan
"Mayra!" Suara seseorang membuat tubuhku menegang. Aku mengalihkan pandanganku pada sumber suara.
"Mas Bara." Aku terkejut saat melihat mas Bara sudah berada tak jauh dariku. Dengan langkah besarnya ia menghampiriku.
"Ayo pulang." Ia menarik tanganku kasar.
"Lepas mas. Aku gak mau." Kurasa perhatian beberapa orang mulai mengarah padaku.
"Tunggu Bar. Siapa elo harus paksa-paksa Mayra seperti itu?" Kak Satria mencoba menghentikan mas Bara. Sepertinya mereka saling kenal.
"Gue suaminya. Jadi berhenti loe deketin istri gue." Mas Bara menatap tajam pada kak Satria.
"Ayo." Dia kembali menarik tanganku dengan kasar, tak ingin menimbulkan keributan akhirnya aku menurut. Dan mengikuti langkahnya.
"Masuk." Mas Bara memaksaku masuk kedalam mobilnya.
"Aku bawa mobil sendiri."
"Aku bilang masuk." Dia memaksaku duduk didalam mobilnya dan langsung memasangkan seatbelt padaku.
Melihat wajahnya aku sedikit ngeri. Aku tahu dia sedang marah padaku.
[Maaf ya kak aku meninggalkanmu. Aku takut terjadi keributan disana andai aku menolaknya.] Aku segera mengirimkan pesan pada kak Satria.
Belum sempat mendapatkan balasan mas Bara sudah mengambil ponselku dan melemparnya kebelakang jok mobil.
Aku hanya bisa diam mencoba menahan kesalku. Aku tak mau mati muda hanya gara-gara bertengkar denganya dan membuat kami kecelakaan mobil saat ini.
Tak ada kata yang keluar dari bibir kami, hingga mobil pun sampai dihalaman rumah dengan selamat.
Mas Bara membukakan pintu mobil untukku.
"Turun!" Suaranya pelan namun mematikan.
Dengan ragu aku turun. Heels yang tinggi membuatku tak seimbang.
"Awh." Sepertinya aku terkilir. Namun mas Bara kembali menarikku dengan kasar.
"Mas kakiku sakit mas." Langkahnya berhenti, ia membalik tubuhnya dan langsung memanggul tubuhku layaknya karung beras.
"Mas lepas mas." Aku mencoba memukul punggungnya. Namun ia tak bereaksi apapun, ia terus meLangkah dengan langkah besar.
Bugh.
Mas bara melemparku keatas ranjang miliknya. Ia bahkan mengunci pintu kamarnya dan membuang kunci itu sembarang.
"Puas kamu? Sekarang puas?" Ia berteriak didepanku.
"Sudah pernah kukatakan bukan jika aku tidak suka jika ada yang menyentuhmu selain aku. Lalu kenapa kamu malah membiarkan pria lain menyentuhmu hah? Kenapa?" Aku benar-benar takut saat ini. Aku seperti tak mengenal mas Bara yang ada dihadapanku saat ini.
Ia membuka satu persatu kancing kemejanya.
"Mmm mas Bara mau apa?" Dengan gugup aku memundurkan posisiku.
"Terserah aku mau apa. Kamu istriku. Hanya aku yang boleh menyentuhmu karena kamu hanya milikku." Mas bara memegang kakiku, ia langsung mengungkung tubuhku di bawahnya dengan tangan yang ia kunci disamping kepalaku. Ia mencium bibirku dengan buas. Tak ada kelembutan saat ini. Hingga airmataku kembali jatuh. Sebegitu rendah kah aku dimatamu mas? sampai kamu tega melakukan ini.
Gerakkannya perlahan melembut. Seolah tahu jika perbuatannya telah menyakitiku, ciumannya mulai melembut. Kulihat matanya memerah, ada genangan air mata disana. Ia kembali mencumbui leherku dan menyesapnya kuat.
Sentuhan demi sentuhan terus ia berikan padaku. Hingga tubuhku mulai tak sejalan dengan pikiranku.
"Kamu milikku May. Selamanya akan menjadi milikku." Dengan suara parau ia kembali menyatukan dirinya dengan diriku.
Penyatuan kami malam ini tak seperti sebelumnya. Kulihat mas Bara pun tak menikmati seperti biasanya. Ia seperti menyimpan sesuatu, sesuatu yang begitu berat sehingga ia terlihat lemah karenanya.
Tak bisa kupungkiri, meski otakku menolak. Tapi tubuhku merespon baik dengan apa yang ia lakukan. Bahkan bibirku tak kuasa menahan desahan karena permainannya.
"Ahh ahh ahh." Mas Bara mempercepat hentakkannya membuat sesuatu itu hendak kembali meledak.
"Agh May. Aku mencintaimu Mayra..." aku menggelepar bersamaan dengan semburan hangat yang memenuhi ruang rahimku. Mas Bara ambruk di atasku. Apa katanya, dia mencintaiku? Aku benci kata-kata itu. Aku segera mendorong tubuhnya dari atas tubuhku.
Aku bangkit dengan melilitkan selimut pada tubuhku yang polos. Tatapanku kosong.
"May tunggu." Mas Bara memegang tanganku.
"Lepas mas." Air mataku kembali berjatuhan.
"May tolong maafkan aku."
"Tak ada yang perlu di maafkan."
"May aku tak bermaksud menyakitimu. Aku hanya-"
"Hanya apa? Sudahlah mas. Toh aku sudah terbiasa hanya menjadi wanita pemuas nafsumu." Aku melepas cekalan tangannya dan berjalan mengambil kunci yang sempat mas Bara buang tadi.
Grep
Saat aku memasukkan kunci dan membukanya. Mas Bara memelukku dari belakang.
"Aku mencintaimu May. Aku sangat mencintaimu. Aku tak ingin kehilanganmu." Kudengar suaranya begitu parau.
"Stop mas. stop mengatakan jika kamu mencintaiku. Kamu pikir aku akan percaya? Setelah meniduriku kamu mengatakan kalau kamu mencintaiku. Dan besok setelah kamu bertemu mbak ana kamu berubah pikiran. Tidak mas. Kamu tidak mencintaiku. Yang kamu cintai hanya mbak Ana. Aku sadar diri jika aku ini hanya sebatas wanita cadangan untukmu. Jadi tolong lepaskan aku."
"Tidak May, aku benar-benar mencintaimu. Please May dengarkan penjelasanku."
"Stop mas. Aku tidak ingin mendengar apapun lagi. Semuanya sudah jelas. Kita hanya perlu menunggu dua bulan lagi. Dan semuanya akan kembali pada rencana kita sebelumnya." Aku melepas pelukannya dan membuka pintu kamarnya untuk keluar.
Sesak. Apa yang kuucapkan terasa sangat menyesakkan.
Di dalam kamar, aku kembali luruh. Ternyata sudah sedalam ini aku jatuh pada dirinya. Tidak. Ayo May, lupakan dia. Restart kembali otakmu May. Takkan ada Bara, yang akan ada hanya Satria.
Aku segera membersihkan diri. Dan bergegas tidur.
Pagi hari kulihat mobil kak Satria sudah terparkir di depan gerbang rumahku. Aku segera berlari menemuinya.
"Kak, kakak kenapa kesini?" Ku tengok kanan dan kiri takut jika mas Bara melihat ini.
"Kamu gak papa kan? Dia gak ngapa-ngapain kamu kan? Aku khawatir banget. Mana ponsel kamu gak aktif." Ia meneliti seluruh tubuhku dengan khawatir.
"Aku gak papa kok kak. Maaf ponselku lowbat." Sepertinya sekarang aku mulai jago berbohong.
"Kak Satria tenang aja. Mas Bara juga gak ngapa-ngapain aku. Ia cuma marah aja karena aku gegabah udah makan malam romantis sama kamu. Keluarga dia kan keluarga terpandang, takut-takut ada paparazi yang diam-diam foto dan memviralkannya , itu pasti takkan baik buat image keluarga."
"Agh syukurlah. Aku benar-benar takut. Kamu mau berangkat ke kantor kan?"
"Iya."
"Ya udah bareng aku aja yuk? Mobil kamu masih di restaurant kan?" Aku sedikit bingung mau menerima tawarannya atau tidak.
"Eh iya, aku lupa. Hari ini aku disuruh ke rumah papa dulu. Udah kak Satria duluan aja. Kak Satria juga baru masuk kerja kan? Nanti telat lagi. Gak enak kan."
"Bener kamu gak mau berangkat bareng aku?"
"Iya. Biar aku naik taksi aja, sekalian ambil mobil nanti."
"Oke deh. Hati-hati ya." Ia mengelus rambutku.
"Iya. Kak Satria juga hati-hati ya."
Sebelum ke kantor, kusempatkan untuk mengambil mobilku dulu di restaurant. Akupun kebali bekerja dengan otak yang masih setengah berfungsi.
Tak sengaja kulihat mbak ana datang dengan membawa rantang makanan di tangannya. Ah dia memang istri yang sempurna. Iapun masuk kedalam ruangan mas Bara tanpa permisi. Kuyakin mereka pasti akan makan siang bersama didalam sana. Tak berapa lama kulihat asisten lie buru-buru masuk. Tumben mereka makan siang mengajak asisten lie. Ah terserah.