Felicia, seorang mahasiswi, terpaksa menjadi jaminan hutang keluarganya kepada Pak Rangga, seorang pengusaha kaya dan kejam. Dia harus bekerja keras untuk melunasi hutang tersebut, menghadapi tekanan moral dan keuangan, serta mencari jalan keluar dari situasi sulit ini. Hubungannya dengan Pak Rangga pun menjadi kompleks, menimbulkan pertanyaan tentang kebenaran, kekuasaan, dan keberanian.
Felicia berjuang untuk menyelamatkan keluarganya dan menemukan kebebasan, tetapi tantangan besar menanti di depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi'rhmta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- Bayang-Bayang Hutang
Mentari pagi menyapa Kota Bandung dengan hangatnya. Sinar matahari menembus jendela kamar Lusi, menerangi wajahnya yang masih terlelap dalam mimpi indah.
Rambutnya yang hitam panjang terurai di atas bantal putih bersih. Di meja belajarnya, tertata rapi buku-buku teks dan catatan kuliah, bukti keseriusannya dalam mengejar cita-cita sebagai desainer interior. Lusi, mahasiswi berprestasi di Institut Teknologi Bandung (ITB), hidup dalam keluarga yang harmonis.
Suara Ibu Ani, ibunya, memecah kesunyian pagi.
"Lusi, sayang, bangun! Sarapan sudah siap." Suaranya lembut, penuh kasih sayang.
Lusi bangun, menguap kecil, dan berjalan menuju ruang makan. Di sana, Pak Budi, ayahnya, sudah duduk manis, menikmati secangkir kopi hangat. Aroma sedap masakan Ibu Ani memenuhi ruangan. Suasana pagi itu begitu hangat dan damai.
"Pagi, Papa! Pagi, Mama!" sapa Lusi, mencium pipi kedua orang tuanya.
"Pagi, sayangku," balas Pak Budi, tersenyum lebar. "Kau terlihat segar sekali pagi ini."
"Tentu saja, Pa. Tidurku nyenyak sekali." Lusi mengambil tempat duduk di meja makan, menikmati sarapan yang terdiri dari nasi goreng spesial buatan Ibu Ani.
"Bagaimana kuliahmu kemarin, Lusi?" tanya Ibu Ani, sambil menuangkan teh hangat ke dalam cangkir Lusi.
"Lumayan, Ma. Tugas akhirku sudah hampir selesai. Tinggal sedikit lagi revisi," jawab Lusi, semangatnya terlihat jelas. Ia bercerita tentang ide desain terbarunya, sebuah kafe bernuansa modern minimalis yang terinspirasi dari arsitektur tradisional Sunda.
Pak Budi dan Ibu Ani mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberikan masukan dan pujian.
Namun, di tengah keceriaan itu, tersirat sedikit kekhawatiran di wajah Pak Budi. Ia beberapa kali melirik jam tangannya, tampak gelisah. Lusi memperhatikannya, sedikit penasaran.
"Papa, ada apa? Kau terlihat gelisah sekali," tanya Lusi, suaranya lembut.
Pak Budi menghela napas panjang. "Tidak apa-apa, sayang. Hanya sedikit masalah di kantor." Ia berusaha menyembunyikan kekhawatirannya, namun Lusi tetap merasa ada yang disembunyikan.
Setelah sarapan, Lusi kembali ke kamarnya untuk menyelesaikan tugas kuliahnya. Ia masih memikirkan gelisah yang terlihat di wajah ayahnya. Ia mencoba menghubungi Pak Budi, namun teleponnya tidak diangkat. Perasaan khawatir mulai menghampiri Lusi.
Sementara itu, di sebuah gedung pencakar langit di pusat kota Jakarta, Rangga, seorang pengusaha sukses di bidang properti, sedang memimpin rapat.
Wajahnya dingin dan tegas, tatapan matanya tajam dan penuh otoritas. Ia dikenal sebagai sosok yang disiplin dan tidak kenal kompromi. Suaranya berwibawa menggema di ruangan rapat.
"Saya ingin proyek ini selesai tepat waktu. Tidak ada toleransi untuk keterlambatan. Saya tidak ingin mendengar alasan apapun," tegas Rangga, suaranya bergetar dengan otoritas.
Para karyawan yang hadir terlihat tegang, mengerjakan tugas masing-masing dengan penuh konsentrasi. Suasana rapat begitu menegangkan.
Setelah rapat, Rangga menerima telepon dari salah satu kliennya, yang ternyata adalah Pak Budi. Suasana di seberang telepon terdengar panik. Rangga mendengarkan dengan sabar, sesekali menyela dengan pertanyaan yang tajam dan lugas. Ekspresi wajahnya tetap dingin dan tanpa ekspresi.
"Saya mengerti situasinya sulit, Pak Budi. Namun, saya tidak bisa mentoleransi keterlambatan pembayaran. Anda sudah terlambat dua bulan," kata Rangga, suaranya datar. Ia menjelaskan konsekuensi dari keterlambatan pembayaran tersebut, suaranya tegas dan tanpa ampun.
Pak Budi terdengar semakin panik. Ia memohon kepada Rangga untuk memberikan sedikit kelonggaran waktu. Namun, Rangga tetap bersikeras. Percakapan mereka berakhir dengan nada yang menegangkan. Rangga memutuskan untuk mengambil tindakan tegas.
Di Bandung, telepon berdering nyaring, memecah kesunyian di rumah Lusi. Pak Budi terlihat pucat dan gelisah saat menerima telepon tersebut. Setelah menutup telepon, wajahnya semakin pucat. Ia terlihat sangat tertekan. Ibu Ani mendekat, menanyakan apa yang terjadi.
Pak Budi hanya menggelengkan kepala, tak mampu berkata-kata. Suasana di rumah Lusi berubah menjadi mencekam. Lusi, yang memperhatikan dari kejauhan, merasakan ada sesuatu yang sangat buruk telah terjadi. Telepon dari bank, yang memberitahukan tentang masalah keuangan yang serius, telah mengubah suasana pagi yang ceria menjadi suram dan penuh kekhawatiran.
Bayangan masalah keuangan yang besar mulai membayangi keluarga kecil yang sebelumnya harmonis itu. Kehidupan Lusi yang tadinya penuh keceriaan kini diliputi oleh awan gelap ketidakpastian.