Karie yang ingin menjadi Sikerei kesatria Maya demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik semua halangan ia lewati, namun kakaknya selalu menghalangi jalannya dalam Menjadi Sikerei pilihan merelakan atau menggapainya akan memberikan bayaran yang berbeda, jalan mana yang ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Io Ahmad, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang terpendam.
Karie tiba-tiba menatap kearah ransel yang ia isi dengan bekal dan beberapa gulungan kertas yang berdebu, bibirnya bergetar saat ia mengucapkan kata-kata itu. “Mereka sudah tiada… Hani dan keluarganya?” Suaranya hampir tak terdengar, tenggelam dalam keheningan yang menyelimuti mereka.
Elinalis, dalam cermin, menghela napas panjang. “Tidak ada alasan untuk kembali ke Aisir,” katanya dengan nada tegas namun lembut. “Aku sarankan untuk mencoba masuk menjadi pasukan kekaisaran Elinalis.”
Karie mengangkat kepalanya, matanya bertemu dengan pantulan Elinalis di cermin. “Setelah keluar dari sini, kamu pandai menggunakan Mayakan? Itu akan membantu kita mencari informasi tentang kakak mu.”
Di sepertiga malam, ketika langit masih gelap dan hanya suara angin yang berbisik di antara pepohonan, Karie mengintip dari balik selimutnya. Anak-anak lain terlelap dalam tidur, napas mereka teratur dan tenang. Dengan hati-hati, Karie menyelinap keluar dari tempat tidurnya, kakinya menyentuh lantai dingin tanpa suara.
Namun, dalam gelapnya ruangan, kakinya menginjak mainan balok kecil. Rasa sakit yang tiba-tiba membuatnya mengerang, dan seketika ia menutup mulutnya dengan tangan. Suara itu cukup untuk membangunkan Aileen, teman sekamarnya.
“Erhu, itu kamu?” Aileen bergumam, setengah terjaga menyadari Karie hanya mematung. “Kamu mau kemana?”
Di sepertiga malam, ketika langit masih gelap dan hanya suara angin yang berbisik di antara pepohonan, Karie mengintip dari balik selimutnya. Anak-anak lain terlelap dalam tidur, napas mereka teratur dan tenang. Dengan hati-hati, Karie menyelinap keluar dari tempat tidurnya, kakinya menyentuh lantai dingin tanpa suara.
Namun, dalam gelapnya ruangan, kakinya menginjak mainan balok kecil. Rasa sakit yang tiba-tiba membuatnya mengerang, dan seketika ia menutup mulutnya dengan tangan. Suara itu cukup untuk membangunkan Aileen, teman sekamarnya.
“Erhu, itu kamu?” Aileen bergumam, setengah terjaga. “Kamu baik-baik saja?”
Karie mendekat dan berbisik, “Aileen, aku mau keluar sebentar. Mau ikut? Tapi jangan bilang siapa-siapa ya?” Aileen mengangguk, masih setengah mengantuk. Karie menuntunnya ke gudang yang penuh dengan barang rongsokan. Dengan cekatan, Karie menggali tumpukan rongsokan, membuka sebuah lubang yang membawa mereka keluar dari penampungan.
Di luar, dengan lentera kecil menjadi penuntun mereka udara dingin menusuk kulit mereka. Aileen menggigil sedikit, “Ini di luar penampungan. Kemana kita akan pergi?”
Karie tersenyum kecil, “Aku selalu berlatih Seni Maya saat yang lain masih tertidur, karena dari pagi hingga sore kita sibuk, bukan?” Dia memberikan selimut kecil kepada Aileen untuk menghangatkan tubuhnya.
Mereka tiba di daerah dengan banyak bebatuan kecil dan beberapa pilar yang tergerus angin. Karie menyalakan api unggun dan membakar beberapa kentang di bawahnya. “Aileen, tunggu di sini ya. Ini tidak lama, aku hanya akan latihan rutin saja dengan Elementalist-ku.”
Sambil menunggu, Karie mengeluarkan sebuah buku catatan dengan tulisan khusus. “Supaya tidak bosan, aku sudah menulis ulang lanjutan cerita yang kamu suka.”
Aileen tersenyum lemah, “Maaf aku malah merepotkanmu lagi, Erhu.”
Karie mengerutkan kening, “Kenapa jadi lesu begitu, Kak Aileen?”
Karie duduk di samping Aileen, menatap api unggun yang mulai menyala terang. Dia meraih tangan Aileen dengan lembut. “Kak Aileen, jangan dengarkan mereka. Aku tahu Kakak tidak seperti itu. Kita saling membantu, bukan memanfaatkan.”
Aileen menunduk, suaranya bergetar. “Tapi kadang aku merasa mereka benar. Aku takut aku hanya membebanimu.”
Karie menggeleng, menatap Aileen dengan penuh kasih. “Kak, kamu tidak pernah membebani aku. Kita bertiga keluarga, dan keluarga saling mendukung.”
Sekali Aileen tersenyum lemah, merasa sedikit lebih baik. “Terima kasih, Erhu.”
Setelah beberapa saat, Karie berdiri dan mulai berlatih. Dengan beberapa syair dan segel tangan, dia memperkuat elemen Airnya, mengulang semua seni yang telah ia kuasai sebelumnya. Air di sekitarnya mulai bergerak mengikuti gerakan tangannya, membentuk pola-pola indah di udara.
Aileen merasakan butiran air melewatinya dan tersenyum kagum. “Kamu bisa memanipulasi elemen air, itu keren. Tapi terakhir kali yang ku tahu, elemenmu itu petir dan sifat Maya itu kaca yang digunakan untuk mengintip orang dulu. Apa kamu tidak melatih itu juga?”
Karie berhenti sejenak, menatap Aileen. “Apa aku menguasai semua itu sebelumnya?”
Aileen mengangguk. “Mungkin kamu lupa karena saat koma beberapa bulan terakhir.”
“Eh, benarkah? Biar aku coba,” kata Karie sambil mengambil ancang-ancang supaya petir yang akan ia keluarkan tidak melukai Aileen. “Petir, yang aku tahu, harus mengorbankan perasaan marah atau rasa jengkel, tapi apa ya, saat ini perasaanku sedang bagus.” Namun, wajah Hagetz terlintas di pikirannya. “Wahai guntur cambuk langit, tunjukkan sedikit dari besarnya kekuatanmu.”
Aliran petir menyelimuti tubuh Karie, namun saat ia mengarahkan ke sebuah pilar, kilatan petir malah menyambar ransel yang ia bawa dan membuat hangus semua barang bawaannya. Karie terkejut dan segera memadamkan petirnya.
Aileen tertawa kecil, “Sepertinya kamu masih perlu latihan lagi, Erhu.”
Melihat ranselnya tidak terselamatkan, Karie menghela napas dan berkata, “Lupakan hal itu. Sifat Mayaku kaca, bagaimana cara mengeluarkannya?” Dia kebingungan, segel tangan dan syair yang ia buat tidak kunjung memvisualisasikannya.
Aileen berpikir sejenak, “Mungkin kamu perlu fokus pada ketenangan dan kejernihan pikiran. Kaca itu transparan dan reflektif, mungkin kamu harus merasa tenang dan jernih juga.”
Itu jenius,” kata Karie, matanya berbinar. “Mungkin aku harus mengorbankan perasaan tenang dan keinginan untuk seperti orang lain.”
Karie menutup mata, menarik napas dalam-dalam, dan mulai mengucapkan syair dengan lembut. Ia mencoba menenangkan pikirannya, membiarkan semua kekhawatiran dan keinginan untuk menjadi seperti orang lain menghilang. Perlahan, bayangan kaca mulai terbentuk di udara di depannya, memantulkan cahaya api unggun.
“Itu benar-benar berhasil, aku bisa menggunakan sifat Mayaku. Akhirnya,” kata Karie dengan gembira. Dia memberikan kaca berbentuk kristal hijau kecil itu pada Aileen. “Ini benar-benar kaca, sebagai hadiah karena aku berhasil menguasainya.”
Aileen mengeluarkan kalung yang sudah kehilangan matanya. “Ini tidak apa-apa buatku, bukannya barang berharga milik Kak Aileen?”
“Sudah, pakai saja untuk mengenang kebangkitan ini,” jawab Aileen dengan senyum hangat.
Karie memanipulasi kaca tersebut, mengubah bentuknya agar pas dengan kalung Aileen. Dengan hati-hati, dia memasukkan kristal hijau itu ke dalam kalung, membuatnya tampak seperti baru lagi.
Karie memeluk Aileen sebagai ucapan terimakasih nya, saat itu ia mulai melihat fajar mulai menyingsing dari timur menandakan mereka harus kembali ke penampungan.
***
Sintra terbangun dengan perasaan aneh. Dua anggota kelompoknya tidak ada di tempat tidur mereka. Suara samar-samar terdengar, seperti memanggilnya. “Sintra, bangun,” suara seorang gadis berambut biru gradasi nya terdengar, diikuti dengan lemparan bantal yang mengenai tubuhnya. Namun, Sintra tetap terlelap. Gadis itu, dengan kesal, melempar kaos kakinya tepat ke wajah Sintra.
Sintra terkejut, langsung duduk dan mengusap wajahnya. “Apa-apaan ini, Mishka?” suaranya serak.
Mishka berdiri dengan tangan di pinggang. “Boss-mu memanggilmu di reruntuhan,” katanya dengan nada mendesak.
Sintra mengeluh, masih setengah mengantuk. “Tidak bisa nanti saja?”
Mishka menggeleng, matanya serius. “Ini penting katanya.”
Sintra menghela napas berat, merasa beban di pundaknya semakin berat. “Apa yang orang serakah itu mau lagi dari ku?”
Dengan enggan, Sintra bangkit dari tempat tidurnya dan mengenakan jaketnya. Dia mengikuti Mishka keluar dari tenda, angin pagi yang dingin menyambut mereka. Mereka berjalan dalam keheningan, hanya ditemani oleh suara angin yang berhembus lembut.
Sintra mendorong pintu kayu yang hampir lepas dari engselnya, memasuki bangunan penampungan yang rusak. Di dalam, cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah atap menerangi sosok perempuan dengan rambut disanggul. Qisqa sudah menunggunya, ekspresi serius terpampang di wajahnya.
“Apa maumu, Boss?” Sintra bertanya, nada suaranya penuh kekesalan.
Qisqa menyeringai, mengangkat pedangnya dengan satu tangan sementara tangan lainnya tetap di saku. “Masih kesal kalah bermain poker di Sentral? Kapan kamu mau bayar hutangmu? Sekarang sudah musim semi dan bulan muda. Harusnya uangmu sudah bersemi juga, kan?”
Sintra menghela napas panjang, berusaha menahan amarah yang mendidih. “Jika sudah ada, aku akan membayarnya. Banyak kebutuhan yang harus aku beli. Lagipula, hutangku juga tidak besar.”
Qisqa mengeluarkan selembar kertas dari sakunya dan menyerahkannya kepada Sintra. Mata Sintra membelalak saat melihat angka yang tertera. “300 koin emas? Sebanyak ini? Bukannya aku menang sekali waktu itu?”
Qisqa mengangguk, matanya berkilat tajam. “Ya, kamu menang sekali, tapi keberuntunganmu habis saat mencoba menggandakan kemenanganmu.”
Qisqa merangkul Mishka yang berdiri di sampingnya, tatapannya tidak lepas dari Sintra. “Jangan bilang kamu nggak punya uang. Informanku tahu kamu punya simpanan, kan?”
Wajah Sintra memucat, rahasianya terbongkar. “Bagaimana bisa… Ini pasti ulahnya lagi,” gumamnya, menatap marah ke arah Mishka.
Qisqa tersenyum tipis. “Jadi, kapan kamu akan membayarnya?”
Sintra menghela napas, berusaha menenangkan diri. “Segera setelah urusanku selesai,” katanya, melangkah keluar dengan langkah berat, mencari orang yang ia maksud.
Qisqa mengangguk, senyum masih menghiasi wajahnya. “Jangan lama-lama. Kami juga ingin bersenang-senang seperti kamu.”