Rehan, seorang sarjana Fisika, tinggal di Jakarta dan mengandalkan logika dalam segala hal. Suatu malam hujan, ia berteduh di sebuah warkop dan bertemu Dinda, seorang pelayan yang cantik dan ramah. Rehan merasa ada sesuatu yang berbeda, tetapi ia tidak percaya pada perasaannya. Untuk membuktikan apakah perasaan itu nyata, Rehan memutuskan untuk melakukan eksperimen ilmiah tentang cinta, menggunakan prinsip-prinsip sains yang ia kuasai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arifu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menghadapi ketidakpastian
Bayu merasa jantungnya berdebar saat ia melangkah ke dalam ruang seminar. Semua orang sudah duduk di tempat masing-masing, dan suasana tampak lebih formal dari yang ia bayangkan. Namun, satu hal yang membuatnya berbeda dari yang lain adalah kehadiran Rara yang sudah berada di depan, berbicara dengan penuh semangat.
"Ini seminar psikologi pertama gue, jadi gue masih agak gugup," pikir Bayu sambil menyesuaikan diri dengan kursinya. Ia mencari tempat duduk yang agak jauh dari Rara, berharap bisa tetap menjaga jarak emosional. Meskipun ia tahu Rara tidak akan menghakimi, tetapi perasaan canggung tetap datang begitu saja.
Bayu memutuskan untuk duduk di bangku belakang, tempat yang menurutnya paling aman. Ia melirik ke arah Rara yang terlihat sangat percaya diri, berbicara dengan orang-orang sekitar. Rara benar-benar terlihat berbeda, jauh lebih matang dan penuh percaya diri daripada saat mereka terakhir bertemu. Bayu menarik napas panjang dan mencoba untuk tidak terlalu banyak berpikir.
Seminar dimulai, dan Bayu mencoba untuk fokus pada materi yang dibahas. Namun, pikirannya selalu kembali pada Rara. Setiap kali ia mendengar suara Rara tertawa atau berbicara dengan orang lain, hatinya terasa sesak. Bagaimana bisa seseorang sepercaya itu bisa begitu dekat dengannya?
“Bayu, lo ngapain?” Tiba-tiba suara Dimas mengganggu konsentrasinya. Dimas duduk di sebelahnya, dengan ekspresi bingung.
“Gue… nggak tahu, Dim. Gue nggak ngerti soal psikologi, jadi gue cuma berusaha bertahan,” jawab Bayu sambil mencoba mengikuti penjelasan dari pembicara yang ada di depan.
Dimas tertawa kecil. “Gue rasa lo nggak cuma mikirin seminar doang, kan? Lo kelihatan mikirin hal lain, nih.”
Bayu terdiam, mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa menyembunyikan perasaan yang sedang membingungkannya. “Gue… nggak tahu, Dim. Rara itu, dia… Dia beda banget sekarang. Gue cuma… bingung.”
Dimas menatapnya dengan penuh perhatian. “Lo emang masih bingung soal Rara? Gua rasa lo udah mulai sadar kan? Dia suka sama lo, Bayu. Lo jangan terus-terusan lari dari perasaan itu. Coba deh, lebih jujur sama diri sendiri.”
Bayu merasa dirinya semakin terpojok. Kalimat itu terdengar benar, tapi entah kenapa ia merasa ketakutan untuk menghadapinya. “Tapi gue nggak ngerti perasaan ini, Dim. Gue nggak ngerti cinta. Gue cuma… bingung.”
Dimas hanya mengangguk pelan. “Yaudah, lo harus nyari jawaban sendiri. Gue cuma ngasih saran, tapi yang mau lo lakuin, ya itu keputusan lo.”
Bayu terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Dimas. Perasaannya semakin rumit. Ia tidak bisa menghindari perasaan yang muncul setiap kali bertemu dengan Rara, tetapi ia juga takut untuk terjun ke dalamnya.
Seminar berlanjut, dan Bayu berusaha untuk fokus pada materi yang diberikan. Namun, matanya tak bisa lepas dari Rara yang duduk di depan, terlihat sangat serius mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh pembicara. Bayu merasa ada sesuatu yang berbeda tentang dirinya—sesuatu yang sepertinya menariknya untuk terus memperhatikan Rara. Dan semakin lama, perasaan itu semakin sulit untuk diabaikan.
Setelah seminar selesai, semua orang mulai beranjak dari kursi. Rara berjalan ke arah Bayu dengan senyum lebar di wajahnya. Bayu merasa sedikit cemas, tetapi ia mencoba untuk tetap tenang.
“Gimana, Bayu? Seminar ini menarik banget, kan?” tanya Rara sambil duduk di sebelahnya.
Bayu tersenyum canggung, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Iya, menarik sih. Cuma gue nggak ngerti banyak tentang psikologi, jadi agak susah paham.”
Rara tertawa pelan. “Nggak apa-apa, kok. Gue bisa jelasin kalau lo mau. Tapi, gue senang lo akhirnya ikut seminar ini. Itu langkah kecil yang bagus.”
Bayu merasa sedikit lega mendengar itu. “Iya, makasih, Rara. Gue cuma nggak tahu harus ngapain.”
Rara menatap Bayu dengan serius. “Bayu, jangan terus-terusan bingung. Kalau lo mau, kita bisa bicara lebih banyak tentang ini. Tapi, lo harus lebih terbuka sama perasaan lo.”
Bayu merasa seolah-olah ada yang menekan dadanya. Ia ingin berkata sesuatu, tetapi mulutnya terasa terkunci. Perasaan yang selama ini ia coba hindari semakin kuat, dan ia tidak tahu bagaimana harus menghadapinya.
Rara tampak menunggu jawabannya, tetapi Bayu hanya terdiam. Akhirnya, Rara mengangguk pelan. “Gak apa-apa, Bayu. Gue ngerti. Tapi lo harus tahu, gue di sini nggak cuma sebagai teman. Kalau lo mau, gue bakal ada buat lo.”
Bayu merasa tersentuh mendengar kata-kata itu. Namun, ia juga merasa takut untuk menerima perasaan itu. Ia tahu bahwa ia bisa saja membuat Rara kecewa jika ia tidak bisa memberikan jawaban yang diharapkan.
Setelah beberapa saat, Rara berdiri dan memberikan Bayu senyum hangat. “Gue harus pergi dulu, Bayu. Nanti kita bicara lagi, ya?”
Bayu mengangguk perlahan, masih merasa bingung dengan perasaannya sendiri. Rara berjalan pergi, meninggalkan Bayu yang hanya bisa diam.
Ketika Bayu berjalan kembali menuju ruangannya, Dimas menghampirinya dengan senyum lebar di wajahnya. “Gimana, Bayu? Lo ngomong apa sama Rara?”
Bayu menggelengkan kepala. “Gue nggak tahu, Dim. Gue nggak bisa ngomong apa-apa.”
Dimas tertawa kecil. “Gue rasa lo udah mulai ngerti kan, Bayu? Lo udah mulai peduli sama Rara, kan?”
Bayu tidak menjawab, hanya terdiam. Perasaan yang terus berkembang di dalam dirinya terasa semakin kuat. Ia merasa terjebak antara perasaan yang ia coba hindari dan kenyataan bahwa ia mungkin mulai menyukai Rara.