Vincent tanpa sengaja bertemu dengan Valeska di sebuah bar. Niat awalnya hanya untuk menyelamatkan Val yang diganggu laki-laki, namun akhirnya malah mereka melakukan 'one night stand'.
Dan ketika paginya, Vincent baru sadar kalau gadis yang dia ambil keperawanannya tadi malam adalah seorang siswi SMA!
***
IG: @Ontelicious
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon agen neptunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26: Bos Mulai Posesif?
“Megan!” bentak Vincent, suaranya menggema di seluruh ruang tamu penthouse. Otot rahangnya mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Kesabarannya sudah habis. “Lo beneran keterlaluan, ya!”
Megan mendadak terlonjak. Wajahnya memucat ketika mendengar Vincent menggunakan kata lo-gue, sinyal kalau dia sudah benar-benar murka. “Vin? Kok kamu …”
“Kalau gue bilang pulang, ya berarti pulang!” Vincent memotong, nadanya penuh tekanan. “Lo tau kan, gue paling nggak suka privacy gue dicampuri? Apa susahnya sih dengerin gue?!”
Megan terkesiap. Dia tidak pernah melihat Vincent semarah ini. Bibirnya mulai bergetar, seperti anak kecil yang baru dimarahi habis-habisan. Mata cokelatnya berkaca-kaca, tapi Vincent terlalu emosi untuk peduli.
“Aku kan cuma—” Megan mencoba menjelaskan dengan suara kecil.
“CUKUP!” bentaknya lagi, lebih keras kali ini. Dia memijat pelipisnya, mencoba meredam rasa frustasi yang menggulung di dadanya. “Lo pulang sekarang. Gue nggak mau sampe gue harus nyeret lo keluar.”
Megan mematung. “Vin, kamu tega ngusir aku?” bisiknya, matanya sudah dipenuhi air mata.
“Pergi, Megan,” ucap Vincent lebih pelan, tapi tegas. Matanya menusuk seperti belati. “Gue udah bilang baik-baik.”
Megan menggigit bibir bawahnya, menahan tangis. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia berdiri dan berjalan ke pintu. Kali ini, Vincent memastikan dia benar-benar keluar. Begitu Megan melewati pintu, Vincent langsung mengunci. Suara klik dari pintu otomatis itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya bisa bernapas lega lagi.
“Hhh… sial,” desahnya sambil bersandar ke pintu. Tangannya mengusap wajahnya yang sudah memerah karena emosi. Dia tahu betul, Megan pasti akan mengadu ke ibunya. Siap-siap saja telepon marah-marah dari wanita yang tidak pernah membela dirinya.
Tapi sekarang, itu urusan nanti. Dia punya prioritas lain. “Valeska,” gumamnya, mengingat gadis itu masih ada di kamar utama. Rasa cemas langsung menyergap. Apakah Valeska mendengar semua keributan tadi?
Dia berjalan cepat menuju pintu kamar utama dan mengaktifkan perintah suara. “Buka pintu kamar utama.”
Klik. Pintu terbuka, dan Vincent melangkah masuk dengan hati-hati. Di dalam, ia menemukan Valeska. Gadis itu duduk di depan aquascape besar, matanya terpaku pada ikan-ikan kecil yang berenang dengan tenang di antara tanaman hijau air.
Vincent menghela napas panjang. Syukurlah. Valeska terlihat tenang, seolah tak peduli apa yang baru saja terjadi di luar. Tapi, benarkah begitu?
“Val?” panggil Vincent dengan ragu.
“Hm?” Valeska menoleh dengan senyum tipis. “Ikan-ikannya lucu, ya, Pak? Kelihatannya damai banget."
Vincent mendekat, duduk di sampingnya. Ia diam sebentar, membiarkan suara gelembung dari aquascape menjadi satu-satunya pengisi ruang.
Vincent mengernyit, alisnya terangkat sedikit. “Lo … denger gak tadi di luar Megan ngomong apa?” tanyanya pelan.
“Megan?” ulang Valeska, tampak clueless seperti biasa.
“Ya,” jawab Vincent singkat.
Valeska memiringkan kepala, tatapannya berubah sedikit menuduh. “Jadi, Pak Vincent nyembunyiin saya dari pacarnya?” tanyanya, ekspresi wajahnya mulai cemberut. “Kayak saya ini selingkuhan aja, sampe harus disembunyiin segala.”
Vincent tercekat. Bahasa tubuh Valeska yang santai memberi petunjuk kalau dia benar-benar nggak mendengar apa-apa. Tapi tetap saja, rasa ragu itu ada.
“Lo beneran nggak denger apa-apa?” tanyanya lagi, hanya untuk memastikan.
Valeska menggeleng dengan ekspresi polos tanpa dosa. “Emangnya tadi kalian ngomongin apa sih?”
Vincent mengembuskan napas lega—untuk kesekian kali hari ini. Untung saja kamar ini kedap suara. Kalau tidak, masalah besar bakal muncul.
“Gapapa, lupain aja,” kata Vincent sambil mengibaskan tangannya seolah masalah ini nggak penting.
Valeska menyipitkan mata, jelas nggak percaya. “Tadi yang datang pacar Pak Vincent, ya?” tanyanya dengan nada menekan.
Vincent mendekat, kedua tangannya masuk ke saku celana. “Entahlah,” jawabnya santai. “Gue juga bingung statusnya apa.”
“Kok bisa?”
Vincent memutar bola mata sebelum ikut menatap ikan-ikan kecil di aquascape, mencoba terlihat setenang mungkin. “Gue sama Megan dijodohin sama nyokap.”
“Ooooh.” Valeska mengangguk-angguk seolah semua jadi masuk akal. “Terus, kenapa Pak Vincent keliatannya … nggak bahagia?”
Vincent tertawa kecil, getir. “Lo pikir siapa yang bakal bahagia kalau dijodohin?"
Valeska tertawa pendek mendengar analoginya. “Iya juga sih. Tapi, Pak Vincent bisa menolak kan?"
"Complicated."
Valeska mengangguk. "Kalau nolak, berarti gak bakalan dapat warisan dong, Pak?" tebaknya seraya terkekeh pelan.
"Tepat sekali! Klise memang, tapi ... Begitulah faktanya."
"Hmm ... masalah orang kaya memang begitu kali ya?"
Vincent tertawa pelan. "Sekarang lo tau permasalahan kami kan? Bahkan untuk jodoh aja gak bisa milih sendiri."
"Meskipun gak suka sama sekali? Meskipun gak ada cinta?"
"Ya ... Ironisnya begitu, Val."
Valeska menatap wajah Vincent yang mendadak sendu. Seketika dia merasa menjadi orang kaya itu nggak selalu enak. Mungkin, justru mereka lah yang lebih banyak menderita.
Obrolan mereka terhenti karena HP di saku celana Valeska tiba-tiba bergetar. Dia mengeluarkannya dan membaca nama yang muncul di layar.
Sam.
Senyum lebar langsung menghiasi wajahnya, membuat Vincent yang berdiri di samping hanya bisa mendengus.
“Eh, sebentar, Pak. Saya angkat telepon dulu, ya?” ujar Valeska sambil mengangkat HP-nya, sudah siap menjawab.
Vincent menyipitkan mata. Oh, dia nggak suka ini. Sama sekali nggak suka. “Nggak boleh,” jawabnya santai, tapi tegas.
“Hah?” Valeska terhenti, senyumnya memudar. “Nggak boleh?” ulangnya memastikan.
Vincent berbalik, kini berdiri menghadapnya dengan tangan masih di saku. “Iya, nggak boleh.”
“Kenapa?” tanya Valeska, nada suaranya pelan dan penasaran.
“Karena saat ini lo lagi sama gue.”
“Tapi—”
“Cukup patuh aja. Nggak usah pakai tapi,” potong Vincent dengan nada lebih dalam, matanya menatap langsung ke Valeska.
Valeska menelan ludah. Tatapan itu … tajam, serius, dan sedikit mendominasi. Dia akhirnya hanya bisa mengangguk kecil. “Ba–baiklah,” jawabnya pelan, setengah gugup.
Vincent tersenyum, mengubah suasana dalam sekejap. Tangannya terulur, mengusap lembut kepala Valeska seperti sedang menenangkan anak kecil. “Good girl,” katanya, suara lembutnya penuh arti. “Ayo, kita lanjut ke dapur sekarang. Banyak yang mesti diberesin.”
“Iya, Pak.” Valeska mengangguk, mengikuti Vincent yang sudah berbalik menuju dapur. Tapi di dalam hatinya, dia nggak bisa menahan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul. Apakah Vincent … posesif? Tapi dia buru-buru menepis pikiran itu. Mungkin ini cuma soal etika kerja, dia kan lagi di jam tugas.
Setelah menarik napas panjang, Valeska memasukkan HP-nya kembali ke saku dan berjalan menghampiri Vincent.
Namun, ada satu hal yang tidak Valeska sadari. Di dalam kamar Vincent, sebuah kalung dengan liontin kupu-kupu kecil menggantung di sudut bingkai foto yang ada di nakas samping tempat tidur. Itu bukan milik Vincent. Itu milik Valeska, yang ditemukan Vincent di toilet bar. Dan ... Itu adalah petunjuk kuat atas apa yang terjadi malam itu.
...****************...
inget,Val!! jngan mudah melunaak 😎
udah lah Val emang paling bener tuh mnyendiri dulu,sembuhin dulu semuanya smpe bner" bs brdamai dg keadaan tp engga dg manusianya😊💪
bpak mau daftar??🙂