Riin tak pernah menyangka kesalahan fatal di tempat kerjanya akan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar yang merugikan perusahaan. Ia pun dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kehilangan pekerjaannya, atau menerima tawaran pernikahan kontrak dari CEO dingin dan perfeksionis, Cho Jae Hyun.
Jae Hyun, pewaris perusahaan penerbitan ternama, tengah dikejar-kejar keluarganya untuk segera menikah. Alih-alih menerima perjodohan yang telah diatur, ia memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan Riin. Dengan menikah secara kontrak, Jae Hyun bisa menghindari tekanan keluarganya, dan Riin dapat melunasi kesalahannya.
Namun, hidup bersama sebagai suami istri palsu tidaklah mudah. Perbedaan sifat mereka—Riin yang ceria dan ceroboh, serta Jae Hyun yang tegas dan penuh perhitungan—memicu konflik sekaligus momen-momen tak terduga. Tapi, ketika masa kontrak berakhir, apakah hubungan mereka akan tetap sekedar kesepakatan bisnis, atau ada sesuatu yang lebih dalam diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Shattered Mornings
Paginya, ketika cahaya matahari mulai menyusup masuk melalui sela-sela tirai kamar, Riin terbangun dengan kepala yang terasa berdenyut-denyut. Rasa sakit itu menjalar ke seluruh tubuhnya, seperti bekas luka yang belum sembuh sempurna. Jantungnya berdetak kencang saat matanya terbuka dan menangkap sosok Jae Hyun yang masih tertidur di sampingnya. Ia menahan napas, mulutnya nyaris mengeluarkan jeritan, tetapi tangannya reflek membekap mulut sendiri.
Kengerian menjalar di sekujur tubuhnya. Matanya melebar saat menyadari sesuatu: tubuh mereka, yang telanjang, tersembunyi di balik selimut yang sama. Kilasan-kilasan kejadian semalam berputar di kepalanya seperti fragmen film yang tidak ingin ia tonton lagi. Riin menggigit bibir bawahnya, berusaha keras menenangkan diri, tetapi usahanya sia-sia. Tubuhnya terasa dingin, hampir gemetar. Dengan tangan yang bergetar, ia mengintip ke bawah selimut, berharap menemukan bahwa ini semua hanyalah kesalahpahaman. Namun, harapan itu musnah seketika ketika ia mendapati bercak kemerahan di sana.
Air mata mengalir tanpa bisa ia kendalikan. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis tersedu-sedu. "Astaga, apa yang telah aku lakukan?" suaranya terdengar parau dan penuh sesal. Ia mengutuk kebodohannya semalam_tidak seharusnya ia membiarkan dirinya kehilangan kendali seperti itu.
Di sebelahnya, Jae Hyun menggeliat pelan, terganggu oleh suara isak tangis yang memecah kesunyian pagi. Ia membuka matanya perlahan, mencoba menyesuaikan diri dengan terang yang menusuk dari jendela. Momen itu seperti pukulan keras yang mengingatkan ia akan kenyataan pahit. Ia menoleh dan melihat Riin duduk di ujung ranjang, tubuhnya membeku di bawah selimut, menangis tanpa henti.
"Riin~a" Suaranya rendah, terdengar hati-hati. Ia tahu betapa rapuhnya situasi ini. "Soal semalam..."
Namun, sebelum kata-katanya selesai, sebuah bantal melayang ke arahnya. Bukan sekali. Berkali-kali. Riin melampiaskan kemarahannya, sekaligus rasa malu dan frustasinya, melalui benda ringan itu.
"Kenapa kau melakukan ini, Cho Jae Hyun?!" isak Riin, nadanya pecah di tengah air mata yang terus mengalir. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" Tangannya gemetar saat ia melemparkan pertanyaan-pertanyaan itu. "Bagaimana dengan kontrak kita? Dan bagaimana... bagaimana kalau aku hamil?" Suaranya semakin kecil, nyaris tak terdengar.
Jae Hyun menahan napas, mencoba meredam kekacauan di hatinya sendiri. Ia tahu ia bersalah. Sangat bersalah. Ia menyesali apa yang terjadi semalam, tetapi kata-kata tidak pernah cukup untuk memperbaiki semuanya. Dengan lembut, ia menangkap kedua tangan Riin, menghentikan serangan bantalnya.
"Dengarkan aku dulu," ucapnya pelan, menatap gadis itu dengan ekspresi serius. "Aku akan bertanggung jawab. Kita bisa mempercepat pernikahan. Bukankah kita memang sudah sepakat untuk menikah?"
Riin memandangnya dengan mata penuh air mata, tetapi tatapannya tajam. "Bertanggung jawab? Dengan cara apa? Kau pikir aku akan percaya begitu saja? Kau tahu aturan dalam kontrak kita, kan? Kalau hal seperti ini terjadi, kontrak kita otomatis berakhir, dan kau tetap harus membayar kompensasi. Tapi apa gunanya itu sekarang?" Ia menundukkan kepala, membiarkan rambutnya yang acak-acakan menutupi wajahnya. "Aku tidak pernah berpikir ini akan terjadi... Tidak pernah."
Jae Hyun merasakan hatinya seperti diremas. Bukan hanya karena rasa bersalah, tetapi juga karena keputusasaan yang terpancar dari setiap kata Riin. Ia mengusap wajahnya, mencoba mengatur napas. "Baiklah," katanya akhirnya, dengan nada yang penuh tekad. "Aku akan kabulkan semuanya. Jika itu yang kau inginkan, kita batalkan kontraknya, hutangmu lunas, dan kau dapat kompensasi sesuai kesepakatan awal."
Riin mendongak, menatapnya dengan sorot mata bingung. "Ja-jadi... kontrak berakhir?" tanyanya, suaranya bergetar. "Dan... kita menikah sungguhan? Kau serius?"
"Ya," jawab Jae Hyun mantap. "Jika itu yang diperlukan untuk memperbaiki semuanya, aku bersedia menikahimu. Bukan karena kontrak, tapi karena aku tidak akan membiarkanmu menanggung beban ini sendirian. Terlebih lagi, jika memang kau... hamil," tambahnya, suaranya melirih pada kata terakhir.
Hening. Riin menggigit bibirnya, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Jae Hyun. "Kau benar-benar berpikir itu solusi terbaik?" tanyanya dengan nada getir. "Bagaimana bisa kita hidup bersama kalau kita bahkan tidak saling mencintai? Aku tidak mau terjebak seumur hidup bersama seseorang yang hanya menikahiku karena rasa bersalah."
"Aku tahu ini tidak ideal," jawab Jae Hyun, suaranya rendah tetapi tegas. "Tapi aku tidak akan meninggalkanmu begitu saja. Aku mungkin tidak bisa memberimu cinta seperti yang kau inginkan, tapi aku bisa berjanji untuk selalu ada. Untuk mendukungmu, untuk anak kita_jika memang ada."
Riin merasa dadanya sesak. Kata-kata Jae Hyun mungkin terdengar tulus, tetapi itu tidak cukup untuk menghilangkan rasa sakit dan malu yang terus menghantui pikirannya. Ia memeluk selimut lebih erat, seolah-olah itu bisa melindunginya dari kenyataan pahit ini. "Aku benci ini," bisiknya, lebih pada dirinya sendiri.
Melihat Riin yang masih gemetar, Jae Hyun berdiri dari tempat tidur, mengenakan pakaian yang tercecer di lantai. Ia kemudian mengambil hoodie milik Riin yang terlipat di kursi dekat ranjang, lalu menyerahkannya pada gadis itu. "Kenakan ini dulu. Kau tidak perlu ke kantor hari ini. Aku akan menyuruh Ah Ri mengurus izinnya untukmu," katanya lembut. "Tetap di sini sampai aku kembali. Kita bicarakan lagi nanti."
Riin hanya mengangguk pelan, tanpa mengatakan apa-apa. Di dalam hatinya, ia masih berusaha mencari jawaban.
***
Matahari sudah tinggi, tetapi suasana di apartemen Jae Hyun tetap sunyi. Dapur kecil di sudut ruangan menjadi satu-satunya tempat yang memancarkan kehidupan. Wangi roti panggang dan aroma kopi menyebar perlahan, mencoba mengisi kekosongan.
Jae Hyun berdiri di depan kompor, tangannya sibuk mengoleskan mentega pada roti yang baru saja diangkat dari toaster. Gerakannya terlihat kaku, seperti seseorang yang berusaha mengalihkan pikirannya dari sesuatu yang menghantuinya. Namun, pikirannya justru terus melayang pada kejadian semalam.
Riin duduk di meja makan, mengenakan sweater oversized milik Jae Hyun. Ia terlihat rapuh. Pandangannya terpaku pada meja, menolak untuk mengangkat kepala. Jae Hyun bisa merasakan bahwa setiap helaan napasnya mengandung kemarahan, kekecewaan, dan kebingungan.
Setelah beberapa menit, Jae Hyun membawa piring ke meja makan. Sepiring roti panggang dan telur mata sapi yang masih mengepul diletakkannya dengan hati-hati di depan Riin. Ia juga menyodorkan secangkir kopi panas. "Makanlah," ucapnya pelan. Tidak ada nada paksaan, hanya kepedulian yang canggung.
Riin mengangkat pandangannya sekilas, cukup untuk melihat piring di hadapannya, tetapi segera menunduk lagi. "Aku tidak lapar," katanya singkat, suaranya hampir tenggelam di tengah keheningan.
Jae Hyun menghela napas pelan, lalu duduk di kursi seberangnya. Ia menatap piringnya sendiri, tetapi tidak benar-benar makan. Tangannya memegang garpu, tetapi tidak bergerak. Ia hanya diam di sana, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan, tetapi setiap kalimat yang terlintas di benaknya terasa salah.
Hening. Keheningan yang menyiksa. Satu-satunya suara yang terdengar adalah denting kecil garpu yang menyentuh piring dan detak jam dinding. Setiap detik terasa seperti tikaman kecil yang memperdalam jurang di antara mereka.
Jae Hyun, yang sudah terlalu lelah dengan diamnya Riin, akhirnya memberanikan diri untuk memecah kesunyian. "Riin, tentang semalam..."
Riin segera memotong. "Aku tidak ingin membicarakannya." Suaranya dingin, tetapi ada sedikit getar yang memperlihatkan bahwa ia sedang berjuang keras menahan perasaannya.
"Tapi kita tidak bisa terus begini," Jae Hyun mendesah, mencoba menyusun kalimatnya dengan hati-hati. "Aku tahu aku salah. Aku tahu aku telah melampaui batas, tapi aku ingin memperbaikinya. Bukankah sudah ku katakan kalau aku akan bertanggung jawab sepenuhnya?"
Riin mendongak, akhirnya menatap Jae Hyun dengan mata yang masih sembab. Tatapan itu penuh dengan amarah, tetapi juga terluka. "Kau pikir dengan mengatakan itu semuanya akan selesai? Kau pikir aku bisa melupakan apa yang terjadi begitu saja?"
Jae Hyun terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya menatap Riin dengan ekspresi penuh penyesalan.
"Lagipula," Riin melanjutkan, suaranya bergetar. "Semalam itu... bukan hanya tentang kau melampaui batas. Itu juga... tentang aku yang kehilangan kendali atas diriku sendiri. Aku tidak tahu bagaimana menghadapi ini. Aku merasa seperti kehilangan bagian dari diriku." Air mata kembali mengalir di pipinya, dan ia buru-buru menyeka dengan punggung tangannya.
Jae Hyun merasa hatinya remuk melihat Riin seperti itu. "Aku mengerti," katanya akhirnya, meskipun ia tahu kata-kata itu tidak akan cukup. "Aku tahu aku tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Tapi aku ingin bertanggung jawab."
Riin terdiam. Kata-kata Jae Hyun menggema di kepalanya, tetapi ia tidak tahu apakah ia bisa menerima kenyataan itu. Ia merasakan campuran emosi yang begitu rumit_kemarahan, kesedihan, dan kelelahan. Di satu sisi, ia ingin membenci Jae Hyun, tetapi di sisi lain, ia tahu pria itu juga terjebak dalam situasi ini.
Jae Hyun menggeser piringnya ke samping, lalu bersandar ke kursi. "Dengar," katanya, nadanya melembut. "Aku harus pergi ke kantor sekarang. Tapi nanti, kita harus bicara lagi. Kita tidak bisa terus-menerus seperti ini."
Riin tidak menjawab. Ia hanya menunduk, membiarkan air matanya menetes tanpa suara ke piring yang tidak tersentuh.
Jae Hyun berdiri, merapikan jasnya, lalu berjalan ke pintu. Sebelum pergi, ia menoleh sekali lagi ke arah Riin. Ia ingin mengatakan sesuatu, mungkin permintaan maaf yang lebih tulus, atau janji bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi kata-kata itu tetap tertahan di tenggorokannya. Ia hanya mengangguk pelan sebelum melangkah keluar, meninggalkan Riin sendirian di apartemen yang terasa lebih dingin dari sebelumnya.
Saat pintu tertutup, Riin akhirnya mendongak. Apartemen itu begitu sepi hingga ia bisa mendengar napasnya sendiri. Suara mesin kopi yang masih berdengung terasa seperti ejekan. Ia menatap roti panggang yang kini sudah dingin di hadapannya, tetapi rasa lapar tetap tidak muncul. Yang ia rasakan hanyalah kekosongan.
"Bagaimana aku bisa menjalani ini?" bisiknya pelan, berbicara pada dirinya sendiri.
***