Sikerei
Dalam kapal yang perlahan menjauh dari dermaga, cahaya dari menara Suar yang termakan oleh kabut malam yang diterangi rembulan. Suasana hening, hingga terdengar suara tangis gadis kecil memecah keheningan malam.
Seketika orang sekitar menyorot tajam dengan tatapan nya. Gadis lainnya dengan perawakan yang tak jauh berbeda menghampiri nya. “Jangan menangis, Karie. Usap air matamu itu. Jika ibu melihatmu berlinang air mata, itu hanya akan membuat ibu sedih,” kata Erin dengan lembut, mencoba menenangkan adiknya yang masih terisak. “Tapi kenapa ibu tidak ikut bersama kita, Kak Erin?” tanya Karie, suaranya bergetar sambil memegang erat sebuah lukisan yang menggambarkan kenangan indah mereka bersama ibu.
Erin menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosinya sendiri. “Ibu bilang ada hal yang harus ia lakukan,” jawabnya sambil menghapus air mata adiknya dengan lengan bajunya. “Mulai saat ini, kita akan selalu bersama. Padang rumput yang luas dengan hamparan bunga yang kamu gambar itu, mari kita cari. Karie akan aman selama bersama kakak.”
Di dalam kapal yang bergoyang membelah deburan ombak di malam yang sunyi, orang-orang tidur di lantai kapal dengan helaian kain sebagai alas. Bagi mereka yang tidak memiliki uang lebih, kenyamanan bukanlah prioritas. Selama bisa berbaring dan memejamkan mata, itu sudah cukup.
Karie memandang sekeliling, melihat wajah-wajah lelah yang terlelap di bawah cahaya remang-remang. Kebanyakan orang tidak bisa tidur di tempat yang baru mereka tempati, dan itu yang terjadi pada Karie. Ia masih terjaga di larutnya malam, pikirannya dipenuhi kekhawatiran dan kerinduan.
Saat dahaga Erin tak tertahankan, ia menyadari bahwa adiknya masih belum memejamkan mata. Erin meraih tempat minumnya dan menyodorkannya kepada Karie. “Apa kamu masih gelisah, Karie?” tanya Erin dengan suara lembut.
Karie mengangguk pelan, menerima tempat minum dari kakaknya. “Untuk mengisi malam yang panjang, kamu mau mendengarkan cerita?” tawar Erin, mencoba mengalihkan perhatian adiknya dari kesedihan.
Karie mengangguk lagi, duduk di samping kakaknya dalam pelukan selimut, berlindung dari dinginnya malam. Erin membuka cerita dengan menunjuk bintang berekor di langit yang gelap.
“Jauh sebelum tanah ini dapat dihuni, Sang Maha Pengasih menjatuhkan tiga bintang berekor. Yang pertama membawa air, sehingga terciptalah kehidupan. Yang kedua membawa logam, dengan itu peradaban dimulai. Yang terakhir membawa Maya sebagai pelindung dari rasa takut. Saat itu, manusia belum ada,” Erin bercerita dengan suara yang tenang dan menenangkan.
Karie memandang bintang-bintang dengan mata yang penuh rasa ingin tahu. “Bagaimana kita bisa ada di dunia ini, Kak?” tanya Karie sambil erat memegang tangan Erin, mencari kenyamanan dalam cerita kakaknya.
“Sang Maha Pencipta menciptakan kita dari segenggam tanah dan mengembang dari segumpal darah di dunia. Atas pilihan nenek moyang kita, mereka berakhir di tanah persimpangan ini. Sebuah pohon menghasut ras pertama, yaitu Insani, untuk melanggar perintah. Mereka terus mengikuti ke mana pun Insani pergi untuk membuktikan bahwa menjadikan Insani pemimpin di tanah persimpangan ini adalah sebuah kesalahan, memperlihatkan keburukan sifat manusia yang membuat kerusakan dan menumpahkan darah,” Erin melanjutkan ceritanya, suaranya penuh dengan kehangatan dan kebijaksanaan.
Karie mengerutkan kening, mencoba memahami cerita yang disampaikan kakaknya. “Kakak, yang aku tahu bukannya ras manusia itu ada lima ya?” tanya Karie, penasaran.
Generasi demi generasi, manusia taat pada petunjuk Sang Maha Pencipta. Namun, permusuhan mulai terlihat di antara mereka, dan sebuah pohon ajaib menyadari kesempatan untuk memanfaatkan keadaan tersebut.
Kerajaan Eden dan Elinalis adalah dua kerajaan pertama yang tercatat dalam sejarah. Alarik dan Tharik adalah pewaris kerajaan Eden. Namun, keputusan ayah mereka untuk menjadikan Tharik sebagai pewaris tunggal tanpa membagi kerajaan membuat Alarik marah. Alarik dan pengikutnya pergi, bersumpah untuk merebut kembali apa yang seharusnya menjadi miliknya. Mereka mendirikan kerajaan baru di tempat matahari terbenam, yang dinamai Elinalis, sesuai nama istri Alarik.
Kerajaan Elinalis selalu kalah dalam perang, dan rasa putus asa menghantui Alarik. Suatu hari, ia bertemu dengan pohon ajaib yang keindahannya tak terlukiskan. Pohon itu bisa berbicara dan mengetahui masalah Alarik. Pohon tersebut menawarkan kemenangan dengan syarat Alarik harus mengorbankan tubuh orang yang paling ia cintai. Istrinya, Elinalis, rela berkorban demi suaminya dan kerajaan mereka. Pohon itu menghilang bersama Elinalis, meninggalkan tulisan di sebuah batu.
Kerajaan Eden memutuskan untuk menyerang Elinalis dengan kekuatan penuh, menghukum setiap darah yang ada di kerajaan tersebut karena dianggap menyimpang dari ajaran. Alarik, dalam keputusasaan, pergi ke sungai di Eden dan merapalkan syair yang diberikan oleh pohon itu, merobek isi perutnya sendiri sambil bersumpah, “Untuk rakyat, tujuan, dan keturunanku, aku akan melakukan apapun!”
Tahun berlalu, dan sebuah peristiwa yang dianggap berkah terjadi. Mereka melahirkan manusia dengan rupa indah dan kekuatan Maya yang sangat bersifat menghidupan di Eden. Mereka adalah manusia dari ras Peri dan Elf. Namun, mereka yang terlahir sebagai Siluman dan Nagha dianggap sebagai kutukan dengan kekuatan mereka yang sulit dikendalikan, menyerukan perintah dari Kerajaan Eden untuk setiap orang tua mereka harus membunuh anak-anak tersebut. Kecewa dengan tidak ada usaha membantu mengembalikan wujud Insani mereka yang terlahir menjadi Siluman dan Nagha serta memikirkan jalan keluar lainnya, Ketidakadilan ini menyebabkan perpecahan di kerajaan Eden, yang perlahan hancur.
Pangeran Elinalis pertama akhirnya menyadari bahwa ancaman dari Eden tidak pernah terwujud. Pengorbanan ayahnya ternyata tidak sia-sia. Dengan tekad yang bulat, mereka mengumpulkan pasukan besar dan bersiap untuk menyerang Eden.
Pasukan Elinalis menang dengan gemilang, namun kemenangan ini membawa mereka pada keputusan yang kelam. Untuk mengakhiri lingkaran kebencian yang telah berlangsung selama berabad-abad, mereka memutuskan untuk membunuh semua manusia yang tersisa di Eden, tanpa memandang laki-laki atau wanita. Namun, upaya ini gagal karena sebagian besar manusia berhasil melarikan diri, meninggalkan Eden yang mereka tahu akan segera hancur.
Di tengah kekacauan ini, setiap ras mulai menyadari akar masalah dari perang abadi mereka. Mereka mendengar tentang keajaiban dari legenda pohon Ajaib dahulu, dan berlomba-lomba mencari keturunan dari ras pohon tersebut, yang konon disebut ras Floral.
Setelah menceritakan kisah panjang lebar ini, Erin menutup cerita dengan sepenggal kalimat yang penuh makna, “Setiap harapan selalu diiringi dengan pengorbanan sebagai bayaran.” Dengan matahari yang mulai muncul dari ufuk, Karie yang sudah merasa lebih baik memejamkan mata di pangkuan Erin.
Seorang remaja menghampiri Erin dengan lembaran kertas di tangannya, “Aku sudah mengumpulkan semua yang kita perlukan. Apa selanjutnya? Dan kemana kapal ini membawa kita?”
Erin memberinya sebuah selimut, “Beristirahatlah selagi sempat, Hagetz. Kita akan menuju Elinalis, tempat dimana semuanya akan dimulai kembali.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments