NovelToon NovelToon
Bumiku

Bumiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Spiritual / Kutukan / Kumpulan Cerita Horror
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: LiliPuy

bumi yang indah dan tenang seketika berubah menjadi zona tidak layak huni.
semua bermula dari 200 tahun lalu saat terjadi perang dunia ke II, tempat tersebut sering dijadikan tempat uji coba bom atom, sehingga masih terdapat radiasi yang tersisa.

selain radiasi ternyata itu mengundang mahluk dari luar tata Surya Kita yang tertarik akan radiasi tersebut, karena mahluk tersebut hidup dengan memakan radiasi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kesombongan yang berujung malapetaka

Matahari tergelincir di balik pepohonan, membuka tirai malam yang kelam. Saya melangkah melewati gerbang kotak yang mewakili Kamp Tentara Kota Reksa. Suara derap sepatu kaku berkumpul dengan aroma besi dan keringat yang menyengat. Soldiers berlarian, wajah mereka tegang, seakan-akan mereka dikejar oleh bayangan ketakutan.

Di tengah hiruk-pikuk itu, Jenderal Hendra berdiri tegak dengan ekspresi tegas. Tangan kanannya memegang sebuah peta, dan tangannya yang lain menggerakkan jari-jari agar semua orang mendengarkan. Dari sudut mata, saya melihat Allan berdiri sedikit menjauh, mengamati, tetapi tidak terlibat.

“Dengarkan!” Jenderal Hendra memukul meja dengan telapak tangan yang besar. “Kita tidak butuh pendapat dari seorang peneliti. Kita butuh tindakan!”

“Apa yang kau harapkan dari kami?” seru salah satu tentara dengan nada skeptis. “Kita tak tahu siapa yang atau apa yang ada di danau itu!”

“Berita baiknya,” Jenderal Hendra menyeringai, “kita bisa mencari tahu. Maka dari itu, kita akan menyusun tim kemarin malam untuk menyelidiki. Kebangkitan makhluk aneh di danau tidak bisa dianggap sepele!”

“Allan tahu lebih banyak tentang itu daripada siapapun, Jenderal.” Suara Toni berpadu tegas. Dia melangkah maju, wajahnya berkerut. “Kita harus membawanya.”

“Menyuruh peneliti yang hanya menghabiskan waktu di laboratorium? Itu tidak mungkin!” Jenderal Hendra melotot, menatap Toni seolah baru saja mengucapkan kata-kata konyol.

“Tapi dia punya data!” Toni menghentakkan kaki. “Datanya mungkin bisa mencegah bencana lebih besar! Apa kau tidak mengerti?”

Patuh, tentara di sekeliling saling berpandangan, menunggu jawaban. Namun Hendra menggelengkan kepala.

“Kerugian akan ditanggung oleh tim. Kita tidak perlu membuang waktu untuk pertimbangan konyol.”

Dari tempatnya, Allan menegakkan bahu, menatap Jenderal. Muka Allan cenderung dingin; saya tahu betapa konsentrasinya tentang penelitiannya. Ia buka mulut untuk berbicara, tetapi Toni lebih cepat.

“Dia mungkin tahu sesuatu yang kita tidak, Jenderal.” Tanya Toni menggigit. “Apa kau memang siap menghadapi risiko memiliki musuh yang tidak kita ketahui?”

“Bukan musuh! Ini bisa menjadi ancaman, dan kita perlu memitigasinya!”

“Dia tidak akan membantu jika kau tidak memberinya kesempatan,” saya menambahkan, bersuara lebih keras dari yang saya inginkan.

Sejenak, kami bertiga menanti reaksi Hendra. Suara hiruk-pikuk di sekitar mereda, menunggu ketukan bibir jenderal.

“Baik. Saya akan memberi kesempatan, tetapi jika dia gagal, konsekuensinya akan sangat nyata.”

Ketika Hendra mengizinkan kami, saya menoleh ke arah Allan. Ia tersenyum samar, tetapi rahangannya mengencang.

“Jendral kita terlalu percaya diri,” Allan berbicara pelan, matanya memeriksa seluruh kamp. “Dia tidak tahu apa yang sebenarnya akan kami hadapi.”

“Dan kita bisa memanfaatkannya,” jawabku, bersemangat. “Mari kita buktikan pada mereka.”

Malam mulai merambat, dan pergerakan tentara makin sporadis; mereka bersiap-siap untuk misi malam. Bola api di langit mulai berpendar merah, seolah meramalkan kekacauan mendatang.

“Beritahu kami apa yang harus dilakukan,” pinta Toni. “Ini adalah kesempatan kita.”

“Coba kita pelajari lebih dalam, bagaimana kondisi danau sekarang,” Allan memberi instruksi sambil menatap layar tablet kecil di tangannya. “Radiasi di sana sudah meningkat. Itu artinya kita memasuki area berbahaya.”

Tentara berkumpul di sekitar kami, memperhatikan dengan seksama.

“Framed or burned?” tanya seorang tentara dengan nada serius.

“Framed. Kita harus beroperasi dalam kelompok kecil,” jawab Allan tanpa ragu. “Penting untuk tetap terorganisir.”

“Lalu bagaimana jika kami terpisah?” ungkap seorang tentara, ragu.

“Berkomunikasi via radio, itu satu-satunya cara,” jawab Allan.

Ketika kami bersiap, peluh memercik dari dahi saya. Perasaan cemas menyerang saat kami berencana pergi ke danau di malam yang gelap. Saya menginginkan kejelasan, tetapi kegelapan hanya menawarkan kesunyian.

Kepala saya dipenuhi asumsi. Apakah makhluk itu benar-benar ada atau hanya khayalan dari kekacauan? Dalam sekejap, kami semua masuk ke jeep tentara, bergerak cepat menuju danau elips.

Toni jelas berusaha menenangkan ketegangan diantara kami.

“Ini pasti hanya reaksi berlebihan, kan?” dia mengedipkan mata padaku. “Mungkin musuh kita hanya angin malam. Ya, bukan?”

Allan bersandar di jendela, mendengarkan suara gemercik air yang pelan.

“Kalau hanya angin, kita akan bersyukur. Tapi kita tidak membicarakan angin saat membahas danau ini.”

Saat perjalanan dimulai, isi kendaraan kami dipenuhi ketegangan.

“Dengan keadaan seperti ini, kita perlu lebih bersiap,” Allan menyatakan.

Jendela terbuka, membiarkan aroma malam hijau menyusup ke dalam. Kegelapan tiba-tiba membuat semuanya terlihat menakutkan. Tanpa memandang, Toni meraih tangan saya.

“Jangan lupakan apa yang terjadi sebelumnya!” dia mengingatkan. “Kita masih bisa selamat!”

Di depan, pohon-pohon yang menaungi danau mulai bergetar.

“Hentikan!” teriak Allan. “Tunggu! Apa itu?”

Semua mata tertuju pada gelap yang membentang di depan. Angin berdesir dengan kencang, dan suara gemuruh menggelegar membuat perut terasa mual.

“Dia… sudah kembali.” Allan berbisik, menahan nafsu tak tenang.

Pemandangan dari danau begitu suram. Permukaan air tampak bergetar gelisah seolah sesuatu menunggu di dalam kedalaman. Tentara bersiap, bersiaga dengan senjata mereka.

“Persiapkan diri kalian!” teriak Jenderal Hendra. “Kita hadapi ketidakpastian ini sekarang!”

Dalam balutan kegelapan, danau langsung menyajikan misteri yang penuh tanda tanya. Saya menahan napas, menunggu sesuatu menyeruak keluar dari kegelapan. Setiap detak jantung menggema, sampai akhirnya...

Bunyi dentuman terdengar keras, seperti suara bola raksasa jatuh ke permukaan air. Hampir semua orang terkejut dan bersiap.

“Allan! Apa itu?” Toni berdesis, wajahnya pucat.

“Saya tidak tahu,” Allan membalas, meneliti cuaca dan keadaan sekitar. “Kita tunggu dan lihat!”

“Jika ini tema dari misi kita, sebaiknya kita pergi!” cetus salah satu tentara, melihat ke arah Jenderal.

“Tidak! Kita akan tetap di sini!” Jendral memaksa, sementara wajahnya tidak menunjukkan rasa takut.

Awan gelap bergerak penuh misteri, dan genangan air berkilau berbahaya. Di antara kami, satu perasaan menguat; menghadapi sesuatu yang lebih besar dari diri kami sendiri.

Dan kegelapan malam baru saja meraba.

Rasa tegang mengisi udara. Suara air bergetar, dan kami semua seolah terdiam dalam ketidakpastian. Cahaya bulan menyinari permukaan danau yang berkilau, menyembunyikan apa yang tersembunyi di bawahnya.

“Allan, kita harus bersiap!” Toni berbisik, matanya berpindah-pindah mencermati lingkungannya. “Ini bukan hanya tentang kita.”

Dia menarik napas, mengangguk ke arah danau. Serangkaian gelombang pecah, membawa sesuatu naik ke permukaan.

“Itu… apa itu?” Seorang tentara menunjuk, suaranya bergetar.

Seutas cahaya berpendar membuat tumpahan air bercahaya. Perlahan, bentuk yang aneh mulai tampak dari kedalaman, tidak berbentuk hewan, tetapi lebih mirip struktur yang terbuat dari cahaya. Semuanya menegangkan.

“Bentuk aneh,” Allan menambahkan, catatan meluncur di matanya meski ketakutan mengendap di wajahnya. “Tetapi dari mana asalnya?”

“Saya tak menginginkannya dekat!” Seorang prajurit berteriak, mundur selangkah. “Apa jika itu yang telah kita dengar? Yang keluar dari dalam danau?”

“Tenang! Jaga posisi kalian,” Jenderal Hendra berteriak tegas, berusaha mengendalikan suasana.

Gelombang semakin kencang, suara mendesing menyeruak, menciptakan gelombang lain yang berlarian menuju daratan. Solunya adalah menunggu. Namun, menunggu dalam ketegangan itu sangat menakutkan.

“Di luar dugaan,” Allan mencamkan kata-katanya, matanya terus mengikuti pergerakan cahaya. “Kita harus mengumpulkan informasi. Ini berharga.”

“Informasi? Sebelum kita jadi umpan?” tanya seorang tentara dengan nada skeptis.

“Di luar itu, kita bisa menemukan cara untuk mempertahankan diri jika tindakan kita wrong. Kita bisa meminimalkan risiko,” Allan menjelaskan dengan suara datar.

“Tidak, kita harus mundur. Apa kita mau mengorbankan nyawa hanya untuk sesuatu yang belum kita ketahui?” kata tentara itu lagi, kegelisahan menyelimuti suaranya.

“Bertahan di sini, merespon ancaman. Itu perintah!” Jenderal Hendra kembali menegaskan, suaranya menggelegar. “Semua areal diperingatkan untuk bersiap!”

Tiba-tiba, suara keras keluar dari dalam air, dan sesosok bayangan meluncur ke permukaan dengan cepat. Itulah saatnya. Umpan di depan kami.

Saya menarik napas, dan sudah jelas, apa pun yang sedang terjadi bisa mengubah segalanya.

“Letakkan senjata kalian,” perintah Hendra tegas, memperdalam suasana tegang di ladang ini. “Kita harus menghadapi.”

“Dia bisa menjadi ancaman, kita tidak yakin! Apa jika—” saya menghentikan kata-kata

1
mous
lanjut thor
Hikaru Ichijyo
Alur yang kuat dan tak terduga membuat saya terpukau.
Mưa buồn
Kalau lagi suntuk atau gabut tinggal buka cerita ini, mood langsung membaik. (❤️)
Jelosi James
Sukses selalu untukmu, terus kembangkan bakat menulismu thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!