Karena dikhianati, aku trauma terhadap wanita. Ditambah anakku yang masih bayi membutuhkan bantuan seorang 'ibu'. Apa boleh buat, kusewa saja seorang Babysitter. masalahnya... baby sitterku ini memiliki kehidupan yang lumayan kompleks. Sementara anakku bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jangan Jatuh Cinta
Makan siang di jam 16:00, benar-benar waktu yang tidak sesuai.
Kulihat beberapa karyawan mulai berjalan melewati restoran kami untuk pulang ke rumah masing-masing, beberapa lainnya berjalan berkelompok sambil merencanakan mau hang-out ke mana setelah ini.
Tapi satu hal yang pasti.
Semua menatap kami sebelum pulang.
Beberapa bahkan mengabadikan kami dengan ponsel mereka.
Kami berdua bahkan tidak peduli.
Kami saling menatap sambil menunggu pesanan datang. Tidak melakukan apa-apa, hanya saling bertatapan.
Kusadari, kami mengenal belum seminggu yang lalu.
Kenapa rasa ini datang begitu cepat?!
Padahal trauma yang kami lalui cukup tinggi.
Apakah sebenarnya, bertahun-tahun lamanya kami saling merindukan kasih sayang, sesuatu yang tidak kami dapatkan dari pasangan kami, dan kini semuanya meledak keluar begitu saja, di saat kami berdua telah bebas dari belenggu?
Semua yang kubutuhkan dari seorang wanita ada dalam diri Kayla, dan mungkinkah yang Kayla butuhkan dari laki-laki ada padaku?
Dan kini kami sama-sama tahu, kami saling tertarik.
Apakah perlu kulanjutkan hubungan ini? Tapi aku tak ingin hanya aku yang maju. Aku sudah pernah begitu terhadap Reina dan hasilnya tidak baik. Malah merugikanku habis-habisan.
Makanan kami datang, kami makan dalam diam. Ia tampak memain-mainkan makanannya, ia mengunyah lama sekali. 10 menit pertama aku malah sudah menghabiskan makananku.
“Kenapa? Tidak enak? Atau tidak sesuai selera?” tanyaku.
Kayla menggeleng.
“Lalu? Kenapa kamu makan dengan lambat?”
“Karena...” ia meletakkan sendoknya setelah beberapa suapan. Setahuku dia pintar masak. Aku sampai menghabiskan sepanci sup daging buatannya. Cake-nya juga enak. Kalau Aram jadi anak kami, ia pasti tidak akan jajan di luar lagi karena ibunya sudah menyediakan segala yang enak-enak dibanding jajanan luar. Tapi saat seseorang pintar memasak, belum tentu orang itu gemar makan.
“Mungkin karena perut saya butuh penyesuaian.” Katanya.
Ia lagi-lagi memakai panggilan baku. Sampai tadi ia memanggil dirinya dengan ‘Aku’ kini berubah lagi jadi ‘saya’.
Perjanjian kami sudah berakhir, misi kami sudah tuntas. Talitha mundur, cewek lain tak mendekatiku. Jadi wajar kalau ia merasa hubungan kami sudah berubah lagi menjadi hubungan profesional.
Sudahlah, masih banyak waktuku untuk mencoba mendekatinya lagi.
“Perut kamu butuh penyesuaian?” tanyaku meminta kejelasan sambil menyesap kopi pahitku.
“Saya jarang makan banyak.” Katanya.
“Kamu tidak suka makan, kamu pemilih, atau memang asupan kamu dibatasi seseorang?”
Ia menatapku dengan getir. “Kami tidak selalu punya uang.” Katanya.
“Bukan itu masalahnya kan?” tebakku.
Ia membuang muka ke samping. Perkataanku tepat sasaran.
“Kayla... kamu tahu kamu bisa mendiskusikan apa pun ke saya. Apa pun.” Kataku.
“Demi kepentingan Aram?” tanyanya. “Karena kalau terjadi sesuatu pada saya, Aram akan terancam.”
Ya, aku pernah bicara begitu padanya.
Sebelum aku mengenalnya.
Sebelum kehidupannya terpampang di depanku.
“Kali ini demi kepentingan kamu.” Kataku.
“Kenapa kali ini demi kepentingan saya?”
Aku hanya menatapnya.
Dia pasti tahu jawabannya.
Tidak mungkin tidak tahu. Kami baru saja melakukan ‘banyak hal’ berdua.
Kayla menarik nafas panjang, “Pak Zaki ingat pemilik franchise minimarket yang terakhir menyatakan cinta pada saya?” tanyanya.
“Iya.”
“Dia berakhir di rumah sakit dalam keadaan lumpuh. Dipukuli oleh Angga dan teman-temannya.”
Yahh... aku sih tidak kaget.
“Jadi, tolong jangan jatuh cinta pada saya.” Katanya.
Sialan kamu Angga...
Gara-gara kamu.
**
Hari demi hari Kayla menghindariku.
Benar-benar menghindariku.
Dia masih mau berbicara padaku demi kepentingan Aram, tapi untuk menjawab hal lainnya ia melengos dan masuk kamarnya.
Lalu menguncinya dari dalam.
Aku masih bisa mengamati kegiatannya dari cctv, tapi masa kegiatan ini harus kubiarkan berlarut-larut?! Dia kan tidak mungkin di kamar seharian, dapur ada di luar.
“Kayla...” panggilku sambil mengetuk kamarnya. Tak ada jawaban dari dalam, walau pun aku tahu dia sedang apa. “Saya mau pulang ke rumah orang tua. Di buffet ada alat survival. Kamu bawa kemana-mana kalau kamu keluar dari unit ya. Dan tolong gelangnya dipakai, di dalamnya ada alat tracking... buat kucing sih, tapi saya rasa cukup buat dipakai di kaki kamu kok.” Kataku.
Belum ada jawaban.
Kutinggalkan saja dia. Toh apartemen ini cukup aman dengan penjagaan maksimal.
Jadi karena ingin memberi kucingku... eh, Kayla ruang untuk berpikir, dan waktu untuk menikmati hidup, aku pun akhirnya tinggal di rumahku.
Rumah orang tuaku, lebih tepatnya.
Ayah dan ibuku secara agama sudah berpisah. Ayah mengucapkan talak untuk ibuku, tapi karena ibuku seorang artis dan ayahku pengusaha, jadi mereka tetap tinggal serumah demi nama baik.
Tapi mereka sudah enggan tidur sekamar. Kalau secara negara, mereka tidak pernah mengajukan gugatan. Jadi ya kuterima saja apa adanya.
Mereka orang tua yang baik, tapi juga orang tua yang buruk. Manusia tidak ada yang sempurna kan? Tapi yang pasti aku menyayangi mereka, apa pun yang mereka lakukan.
“Zaki, Ya Ampuuuun,” desis Ibuku. “Kamu nggak pulang sudah seminggu loh Nak, mana Aram?”
“Di apartemen.” Jawabku.
“Apartemen?! Kamu tinggalkan dia dengan siapa?!”
“Pacarku.” Desisku sambil tersenyum.
“Pacar kamu?”
Ibuku loading agak lama memikirkan kalimatku barusan. Kubiarkan saja dulu, aku mengambil makan siang yang terhidang di meja.
Ibuku tak pernah memasak, tapi ART tukang masak di rumahku siudah mengabdi selama 40 tahun lamanya dan aku cocok-cocok saja dengan masakannya.
Bik Ningrum datang sambil membawakanku Jus Alpukat dan ia menepuk-nepuk punggungku. “Eling Leee, kemana saja kamuu!” omelnya.
“Pacaran Bik.” Kekehku.
“Bagooos, daripada kamu diam saja tanpa calon istri.” Kata Bik Ningrum. “Mana Tuan Muda?”
“Siapa Tuan Muda?” tanyaku.
“Ya Aram lah Mas Zakiii,” desisnya sebal.
“Di apartemen sama pacarku.”
Mata Bik Ningrum terbuka lebar, “Hah? Sama pacarmu?! Kok tega kamu?! Gimana sih Le!!”
“Kalau aku tega, aku akan menitipkannya ke Bibik. Aku kasih duit kok ke pacarku untuk segala keperluan Aram.” Kataku.
“Ya mendingan titip ke bibik lah! Lebih jelas Le! Pacar kamu siapa? Biodatanya mana? Backgroundnya gimana? Anak siapa?! Kan kasihan Aram! Kalau kenapa-napa gimana?!” sahut bik Ningrum langsung heboh.
Terakhir dia kutitipi Aram, darah tingginya naik jadi 200/100 mmHg dan dia dilarikan ke rumah sakit. Aku tidak akan mengulang kembali hal-hal yang membuatku mencelakai orang lain.
“Sini, Bik...” aku melambaikan tangan padanya. Dia mendekat, aku memperlihatkan layar ponselku.
Ada tayangan cctv secara live kegiatan di dalam apartemen, di sana Aram sedang bercanda dengan Kayla sambil tertawa terbahak-bahak. Kayla sedang membenamkan wajahnya ke perut Aram lalu menggelitiknya dengan hidung.
Berikutnya Kayla berdiri dan joget-joget, Aram langsung tergelak senang.
“Aman ya Bik?!” tanyaku puas.
“Woh! Sopo iki?! Ayu tenan!!” seru Bik Ningrum.
“Halah...” gumamku sambil mencibir.
Ayahku datang dari paviliun di belakang dan bergabung denganku di meja makan.
“Apa kabar Nak? Zulfikar menelepon ayah minggu lalu.” Ayahku tidak suka basa-basi. Setelah ia tahu Ibuku berselingkuh dengan berondong, ia langsung menjatuhkan talak secara lisan. Secara agama itu sudah sah.
Dan sudah bukan rahasia umum, kalau ayahku juga sering menyewa LC untuk masuk ke dalam kamar hotelnya saat dinas keluar kota.
Dulu aku marah.
Tapi saat aku dewasa... ya tetap marah tapi aku sudah bisa menahan diri. Rumah tanggaku juga berantakan, lalu aku harus bilang apa?!
“Aku sudah mendamprat keponakannya, awas aja sampai tuh cewek mendekatiku lagi, kuusir keluar gedung!” geramku.
Ayahku diam sebentar, lalu ia menunduk sambil mencebik.
Aku sudah tahu ujungnya ke mana. Pasti aku mau dijodohin lagi. Dan kali ini bisa jadi aku akan dijodohkan dengan Talitha.
Mungkin itu kejadian sebelum meeting kami. Pak Zulfikar sudah minta maaf padaku, kuanggap sudah tidak ada yang perlu dibahas mengenai Talitha.
Ibuku datang dengan terburu-buru.
“Zaki, siapa wanita itu? Siapa pacar kamu?! Jangan asal cari cewek dong pikirkan kebutuhan Aram! Juga jangan sampai kamu pacaran sama cewek nggak jelas yang banyak masalah, apalagi yang dari keluarga miskin! Bisa hancur nama baik ibu! Mereka itu cuma ingin harta kita, Zaki! Nanti keluarganya datang ganggu kamu, minta dibeliin ini itu, keluarga jauhnya datang, keluarga yang lainnya datang juga, ah! Ribet nanti urusannya!! Kamu harus cari istri yang bisa menambah penghasilan kamu!” seru ibuku panik.
“Bu, Reina masa pulang ke Indonesia. Terus dia nusuk aku pakai pisau steak, dan dia ngaku kalau dia dibuang gadunnya karena kena HIV.” Aku menunjuk perban di lenganku sambil berlagak mengadu.
Semua langsung diam.
Reina adalah wanita yang dikenalkan ayah dan ibuku, kami dijodohkan, ayah Reina adalah rekan bisnis ayahku.
Aku ingin menunjukkan, status tidak bisa dijadikan patokan keburukan seseorang. Buktinya, Reina dari kalangan terhormat, tapi tingkahnya kayak ODGJ lepas dari ikatan kursi listrik.
Aku santai saja menikmati makan siangku, Bik Ningrum sudah mesem-mesem dari tadi.
“Jadi, Pak, Bu,” aku bicara sambil makan. “Aku mau melamar seseorang.”
“Uhuk!!” ibuku tersedak teh nya.
Ayahku hanya menghela nafas tanda siap menerima masalah dariku lagi. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi lalu melipat kedua tangan di dadanya.
“Siapa?” katanya.
“Namanya Kayla Binti... hm...” aku memicingkan mata membaca tulisan kecil di akta kelahiran Kayla yang sudah disimpan di ponsel dalam bentuk pdf. “Kayla Binti Asmadi.”
“Tidak pakai nama belakang, itu pasti orang kampung terpencil, kan?!” desis ibuku sewot.
“Begitulah. Orang sukabumi, Desa terpencil di Gunungguruh.”
Ibuku terpekik kaget. “Zaki! Bisa-bisanya kamu-“
“Aku alergi sama cewek kaya tak tahu diri yang tiap hari cuma bisa ngen** dan dandan. Dan semua itu dia lakukan untuk orang lain bukan untukku. Terakhir dia jual anaknya karena ngebet beli Tas Hermes. Kalau di berita jual anak buat hutang judol, yang ini lebih tolol lagi! Aku berani bertaruh dia dapet HIV karena main sama beberapa gadun demi tas konyol itu! Terus kalo udah dapet tasnya mau apa? Otaknya isinya sampah kali ya!” omelku.
“Ssssh Zaki... Ayah nggak tahan sama lidah kamu. Lebih sopan sedikit kenapa sih?!“
Aku mengangkat bahuku sambil melanjutkan makanku.
“Pacarku... baik sama Aram. Dia sekarang jadi ibu susunya. Ayah ibu tahu kan Aram alergi sufor? Berkat Kayla, Aram membaik. Sangat membaik, berat badannya naik, dan dia sudah bisa tertawa.” Kataku sambil menusuk cumi asam manis di piringku.
“Ayah dan ibu punya anak, pasti tahu kan sepenting apa hal ini bagiku?” kataku sambil menutup pembicaraan.
pokoknya, aku akan menikahi Kayla.
Tidak peduli persetujuan orang tuaku ada atau tidak. Yang penting aku tak kehilangan Kayla. Kecuali... dia menolak lamaranku.
Kini, waktunya membereskan urusan lain.
maaf y Thor bacanya maraton tp untuk like dan komen ngak pernah absen kog 😁😁😁,,,,